Jadikan Aku Pilihanmu

Sumber: google.com

Cinta itu malam
Cinta itu gelap
Cinta itu seharusnya menerangkan

'Puteri. Ayo sudahi menulisnya. Sudah malam. Tutup bukumu' sahut Ibu dari depan pintu kamar duduk di kursi rodanya.

'Iya, Bu'.

Aku menutup buku, menaruh pulpen, menarik selimut, membaca doa, kemudian tidur sembari memeluk guling kesayangan. Lampu kubiarkan tetap menyala untuk menemani gelap malamku. Jendela kubiarkan terbuka agar kamarku sama sejuknya seperti kesejukkan di luar.

Keesokannya, seperti biasa, setiap hari rumahku kedatangan lelaki yang ingin melamar. Aku terbangun oleh kebisingan yang ditimbulkan dari sapaan Ayah kepada sang tamu. Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Menyeimbangkan pandangan melihat lampu kamar yang bercahaya terang cukup menyilaukan. Kemudian, kuhirup dalam-dalam udara segar agar paruku sehat. Seperti biasa pula, aku beranjak dari kasur untuk menguping pembicaraan orang tua dan sang tamu. Aku duduk bersandar di balik pintu cokelat kamarku.

'Jadi kau datang kemari ingin melamar anakku?' tanya Ayah, suaranya terdengar sampai kamar. Ruang tamu dengan kamarku berdampingan, jadi aku dapat mendengar percakapan dengan jelas.

'Iya, Pak' jawab sang tamu yang tak kutahu seperti apa dia dan siapa namanya.

'Sekarang kau sudah kerja apa?' Ayahku bertanya lagi.

Ayah memang sosok lelaki yang to the point. Ia pun tidak bertele-tele. Kebiasaan ayah ya seperti itu menanyakan sang tamu yang ingin melamarku sudah mapan atau belum. Ayah hanya tak ingin anak satu-satunya ini hidup makan batu. Maklum, kami hidup di jaman yang mulai serba mahal. Bila aku mendapatkan lelaki yang tak memiliki pendidikan tinggi dan belum mapan, aku ingin diberi makan pakai apa. Ayah sering berkata seperti itu padaku.

'Aku sudah S2, Pak' jawab sang tamu.

'Waaaah..'. 

Pasti itu suara Ibuku, kataku dalam hati tersenyum mendengarnya.

'S2 lulusan apa kau? Sekarang kerja apa?'.

'Saya lulusan arsitektur, Pak. Sekarang kerja di kantor multinasional, sekaligus melanjutkan S3 di sini'.

Setelah beberapa menit Ayah menanyakan tentang kualitas diri dari sang tamu yang ingin melamarku, kini mulailah mereka bercerita tentang aku. Entah mengapa orang tuaku selalu menceritakan tentang aku yang aneh-aneh kepada sang tamu. Dari hari-hari sebelumnya, mayoritas di sinilah sang tamu menarik kembali keinginannya melamar aku.

'Sekarang, Bapak akan ceritakan tentang perawakan Puteri, anak kami' Ayah berhenti sejenak. 'Tapi apa kau sudah pernah dengar tentang Puteri?'.

'Sudah, Pak'.

'Seperti apa?'. 

Aku masih menikmati percakapan mereka dari balik pintu.

'Saya dengar anak Bapak itu cantik, senyumnya manis, baik, pintar, rajin beribadah, suka membaca buku, dan fashionable'.

'Itu saja?'.

'Hmm.. Anak Bapak matanya indah, kulitnya bersih putih terawat, dan jago menari'.

'Itu saja?' Ayah mengulangi pertanyaannya. Ini sama dengan apa yang dilakukan Ayah kepada sang tamu kemarin. Selalu begitu.

'Iya, Pak'.

'Kamu sudah pernah bertemu anakku?'.

'Belum, Pak'.

'Haha..' Ayah tertawa sedikit. Aku malah tertular tertawa di sini. 'Bagaimana kau tahu anakku, tapi kau sendiri belum pernah melihatnya. Yang kau tahu itu hanya dari dengar-dengar saja kan?'.

'Iya, Pak'.

'Anakku itu tuli, kedua matanya buta, dan kakinya tak bisa untuk berjalan'.

'Iya' Ibu ikut menimpal.

'Serius itu, Pak, Bu?' tanya sang tamu, suaranya terdengar meninggi seperti tercengang.

'Iya' Ayah dan Ibu menjawab bersamaan.

Beberapa menit kemudian, pertemuan dengan sang tamu selesai. Seperti biasa, sebelum Ayah dan Ibu masuk ke dalam kamar, aku bergegas kembali duduk di kasur membaca buku. 

'Puteri..' sahut Ayah, kemudian membuka pintu. Ayah duduk di pinggir kasur, sedangkan Ibu tetap bersama kursi rodanya. Aku mendekat, duduk di samping Ayah. 

'Kenapa, Yah? Bu?' tanyaku.

'Lelaki tadi tak jadi melamarmu' jawab Ayah.

Aku berpura tak tahu soal itu. 'Kenapa, Yah?'.

'Dia sama seperti lelaki yang kemarin, mencintaimu dari fisik. Ayah hanya tak ingin lelaki yang meminangmu mencintaimu dari fisik, bukan dari hati'.

Aku bergumam. 'Tapi, Yah, bukannya sebelum cinta dari hati itu harus melalui mata dahulu? Mata itu kan satu-satunya panca indera yang melihat fisik kita'.

'Iya kamu betul, tapi banyak lelaki yang menyukai barang cantik, tapi bila barang itu rusak, ia tak akan memperlakukan hal yang sama seperti dulu '.

'Seperti apa, Yah?'. Aku belum menangkap perkataan Ayah itu.

'Ayah beri contoh dari hidup Ayah saja ya?'.

Aku mengangguk.

'Ayah ingin yang meminangmu adalah lelaki seperti Ayah. Lelaki yang tetap setia pada pasangannya. Lihat Ibumu. Sekarang, ia sudah tak lagi bisa berdiri. Sudah berbeda, tapi Ayah tetap cinta. Ibumu sangat cantik, Puteri. Sangat cantik. Ayah beruntung bisa mendapatkan Ibumu'.

Ayah dan Ibu saling menggenggam tangan. Aku tersanjung melihat mereka. Ini romantis sekali.

'Aku mengerti Ayah' balasku, tersenyum kecil. 'Tapi mengapa Ayah berkata lain tentang aku kepada lelaki yang ingin melamarku?'.

'Oh, Ayah hanya mengetes mereka. Ayah ingin tahu alasan mereka ingin melamarmu, Puteri. Kebanyakan, mereka mengetahui kamu itu cantik, manis, dan lain sebagainya'.

Ibu tak mengeluarkan satu kata pun, ia asik mendengar sembari sesekali terlihat mengangguk.

Ayah mengelus rambutku, kemudian mencium keningku. 'Itu bukanlah jawaban yang Ayah inginkan, sayang. Ayah dan Ibu tak akan selamanya hidup. Ayah takut kalau kamu kenapa-kenapa. Bila suatu hari kamu seperti Ibu, amit-amit, Ayah hanya takut suamimu meninggalkan kamu karena kamu berbeda. Kalau sudah begitu siapa yang akan menjagamu?'.

'Ayah..' lantas aku memeluk Ayah dengan erat. Tak sengaja aku menitikan air mata membasahi baju bagian bahu kananya.

Setelah banyak berbincang, Ayah dan Ibu keluar dari kamar. Aku kembali meraih buku diary yang kuberi nama 'Cinta'. Aku mulai menulis.

Cinta itu sebuah pelukan
Cinta itu tetesan air mata
Cinta itu seharusnya membuat nyaman

---

Esoknya..

Lusa..

Esoknya lagi..

Satu minggu kemudian.. 

Hingga sekarang, para lelaki masih menarik lamarannya. Sama seperti hari-hari kemarin, di saat Ayah memberitahuku bahwa aku tuli, buta, dan tak bisa berjalan, mereka tak jadi melamar. Andai saja mereka tahu yang sebenarnya aku seperti apa. 

Siang ini pukul sebelas, terdengar ada suara mobil yang berhenti di depan rumahku. Kiranya akan ada lelaki yang ingin melamarku lagi. Ia membunyikan bel yang letaknya di samping pagar, kemudian terdengar mengucapkan salam. Dari dalam kamar, aku membalas salamnya

'Walaikumsalam' balas kedua orang tuaku. Ayah membuka pagar. Dari balik pintu kamar, aku ingin mengintip melihat lelaki yang datang, namun tidak diperbolehkan oleh Ibu. Aku kembali duduk di balik pintu mendengar percakapan lagi.

'Silakan duduk' ucap Ayah. 'Ada keperluan apa kemari anak muda?'.

'Saya ingin melamar anak Bapak' jawab sang tamu.

'Oh begitu. Kamu sudah tahu seperti apa anakku?'

'Tidak tahu, Pak'.

'Benar kamu tidak tahu?'

'Tidak, Pak'.

'Oke, kalau begitu'.

Baru kali ini aku mendengar ada lelaki yang tidak tahu tentang aku. Ia tidak berusaha mencari tentang aku. Berbeda dengan sebelumnya, hampir yang sudah-sudah kebanyakan tahu tentang aku, meskipun banyak yang menyimpang juga. Biarlah.

'Kamu sudah kerja?' tanya Ayah.

'Sudah tidak, Pak'.

'Kok bisa? Kamu di-PHK? Dipecat?'.

'Bukan, tapi saya sudah memiliki perusahaan yang semuanya telah di-handle oleh karyawan saya'.

Seketika aku berdecak kagum. Aku bertanya-tanya, siapakah lelaki itu. Sedari tadi berhasil memikat hatiku. Sungguh aku terpesona dengan jawabannya.

Kemudian, pembahasan intinya baru dimulai. Ayah berkata, 'Anak saya, Puteri itu tuli, buta, dan tidak dapat berjalan'

'Lalu?'.

'Lalu..' Ayah terdengar berhenti bicara beberapa detik. Kemudian melanjutkan, 'Apa kau tetap berniat melamar anakku dengan keadaan seperti itu?'.

'Iya, Pak. Aku mau menerima anak Bapak apa adanya'.

'Kamu yakin?'.

'Sangat yakin'.

Jawaban lelaki itu luar biasa, ucapku pada diri sendiri. Aku menggit jari telunjuk, agak khawatir takut ia menarik niatnya melamar.

'Kamu janji tak akan meninggalkan anakku?' kali ini akhirnya Ibu bertanya.

'Janji, Bu. Aku tak akan meninggalkan anak Ibu dalam keadaan apapun' jawab lelaki yang berhasil menarik hatiku.

Aku senyum-senyum sendiri dari balik pintu ini. Pintu yang membatasi pertemuan antara aku dengan lelaki yang ingin melamarku. Rasanya ingin segera mendobrak untuk melihat dia.

'Ya sudah, Bapak panggil Puteri dulu ya'.

Aku yang menyadari Ayah ingin memanggilku, maka aku segera beranjak dari balik pintu. Aku duduk di pinggiran kasur dekat televisi sembari berpura membaca buku.

'Puteri..' sahut Ayah.

'Iya?'.

'Ada lelaki yang ingin bertemu denganmu' rona wajah Ayah terlihat bahagia. Ayah tak akan tahu anaknya sedang berbunga-bunga dengan lelaki yang ada di ruang tamu itu.

'Siapa, Yah?' tanyaku basa-basi, agar Ayah menyebut nama sang lelaki.

'Dia namanya Rian'. Ayah mengulurkan tangan. 'Yuk'.

Aku keluar kamar. Aku melihat wajah Rian dan ia melihat wajahku. Kedua bola mata kami saling bertemu. Aku duduk di samping Ayah sembari merangkulku.

Rian memakai kemeja batik, bercelana bahan hitam, dan memakai sepatu pantofel hitam. Ada jam tangan putih melingkar di tangan kirinya. Ia pun membawa banyak camilan yang terbungkus plastik cokelat di bawah meja. Wajahnya cukup menggambarkan bahwa ia orang yang baik.

'Ini anakku, Puteri' kata Ayah.

Ekspresi Rian seperti keheranan. 'Maaf, Pak. Katanya anak Bapak itu tuli, buta, dan tidak dapat berjalan?'.

'Iya' balas Ayah, tersenyum kecil. 'Anakku ini tuli, kuajari agar ia tak dapat dirayu lelaki. Buta, kuajari agar ia tak melihat lelaki dari fisik. Tidak dapat berjalan, kuajari agar ia tidak pergi berdua dengan lelaki'.

Rian tersenyum. Aku pun ikut tersenyum. Ayah ternyata tahu bagaimana cara menjaga anak perempuannya.

'Oh iya, Puteri..' akhirnya Rian memanggil namaku. Cukup membuat hati ini meleleh.

'Iya?'.

'Ini aku bawakan kamu syal biru. Aku tahu kamu amat menyukai warna biru'.

Aku meraih syal pemberiannya dan langsung aku balut ke leher.

'Ini juga ada buku untuk kamu. Buku tentang kesuksesan seseorang. Semoga bermanfaat ya'.

'Aduh, makasih Rian'.

'Eh iya, satu lagi. Ini cokelat untuk kamu'.

'Ahh ada cokelat'. Aku senang tak terkira. Kulemparkan senyuman terbaikku untuknya seraya berkata, 'Makasih banyak ya'.

'Iya sama-sama' balasnya melemparkan senyum padaku.

Aku minta izin masuk ke kamar dengan berdalih untuk menaruh semua pemberian Rian. Aku membuka buku 'Cinta' dan mengambil pulpen. Sambil tiduran di kasur aku menulis.

Cinta itu pertemuan dua insan
Cinta itu butuh kesabaran
Cinta seharusya dapat menyatukan