Sudah Terlalu Rindu

Sumber: google.com

'Bila ada kata yang derajatnya lebih tinggi dari rindu, detik ini juga akan kukatakan padamu'.

Itu adalah kalimat sakti Theo yang berhasil membuatku berubah menjadi burung merpati. Burung berbulu putih cantik nan suci yang dikenal sebagai salah satu hewan paling setia di dunia. Kesetiaan itu lekat pada diriku, wanita bernama Liza. Merpati itu adalah aku, yang kata banyak orang sebagai makhluk Tuhan paling cantik di kota Qleveo yang kini dilabeli sebagai kota teraneh. Bagaimana tak aneh, kota ini berisikan seluruh pria, tanpa wanita satupun.

'Sudah kukatakan, semua lelaki itu sama saja' ucap Atena, seorang wanita yang sudah berubah menjadi merpati juga.

'Sama saja bagaimana maksudmu?' tanyaku polos. Kami berdua bertengger di batang pohon di dalam Taman Merpati dan bercakap menggunakan bahasa merpati.

'Banyak bohongnya!' jawab Atena berapi-api sambil mengepakkan kedua sayap indahnya berkali-kali.

Aku berubah menjadi merpati karena menangis. Di kota ini, setiap orang yang menangis lebih dari tiga puluh menit pasti tubuhnya menciut, badan mulai ditumbuhi bulu halus berwarna putih, muncul sayap, dan paruh. Merpati di sini semuanya berjenis betina. Sedangkan orang yang menikmati keindahan kota adalah para lelaki. Kemudian, di benakku, lahir pertanyaan, apakah ini pertanda wanita adalah makhluk Tuhan yang mudah menangis? Lalu, apakah lelaki yang memiliki sifat romantis justru sering membuat wanita menangis? Entahlah.

---

Empat tahun berlalu. Aku melupakan kesepian. Juga semakin tak rindu dengan cinta pertamaku, Theo. Selama ini, semenjak menjadi merpati, aku tak pernah melihatnya lagi. Melihat satu helai rambutnya pun tidak. Theo seperti lenyap ditelan bumi.

Semakin lama kehidupan kota semakin asing. Aku merasa manusia di sini mulai terbiasa hidup tanpa cinta. Semua berjalan biasa dan sudah tak seperti dulu. Kota ini agaknya mulai mati. Berbeda dengan yang dahulu, semuanya dipenuhi cinta. Bayangkan, mana mungkin para lelaki bergandengan tangan dan saling berpeluk mesra. Itu aneh. Kini semuanya tak berpasangan.

Ini adalah akibat menumpuknya pengkhianatan dari para lelaki. Padahal, sang penguasa kota Qleveo sudah memperingatkan jangan sesekali mempermainkan cinta, apalagi menyakiti hati para wanita sampai menangis. Akibatnya, perlahan-lahan beberapa wanita berubah bentuk menjadi sosok bersayap. Kemudian, akulah wanita terakhir yang berubah menjadi merpati. Menyakitkan.

Kami, para merpati, hanya ingin dimengerti. Ketika menjadi manusia, kami memang makhluk yang mudah menangis. Aku akui. Akan tetapi, mudah menangis bukan berarti kami makhluk yang lemah. Mungkin, apa yang terjadi denganku, juga banyak terjadi dengan kawan-kawanku, yaitu patah hati.

Pagi ini, ketika embun masih membasahi dedaunan hijau di Taman Merpati, aku sudah bertengger di salah satu dahan pohon. Aku mengepakkan sayap berulang kali pertanda bahagia menyambut mentari yang berbinar cerah. Kawan-kawanku tak sedikit juga melakukan hal yang sama. Alangkah indahnya Tuhan menciptakan semesta bila kita lalui dengan ceria.

Tak lama kemudian, ketika menikmati kesendirian, ada merpati yang terbang mendekat. 'Hai'. Ia adalah Atena, merpati yang paling dekat denganku. Merpati yang selalu menampung curhat dan keluh kesahku. Oh iya, satu lagi, juga rindu.

'Apa kamu sudah menikmati hidup seperti ini?' tanyaku, wajah kami saling bertatap. Sedangkan badan kami tetap menghadap ke depan, tidak berubah. Seperti itulah cara merpati berkomunikasi.

'Hidup ini memang harus dinikmati, bukan?'.

'Iya' jawabku singkat.

Sayup-sayup angin berhembus menggoyangkan banyak bulu putihku di bagian sayap. Anginnya menggodaku untuk terbang seperti kawan-kawanku yang sedang beterbangan kesana-kemari. Ada yang mengambil ranting di atas rumput untuk dibuat sarang, maupun mencari makan. Mereka terlihat menikmati hidup ini walau semuanya berisikan betina.

Hembusan mesra ini membuatku termangu, tiba-tiba teringat Theo. Aku ingat senyum, tawa, dan senderutnya. Lengkap. Bagiku, empat tahun bukanlah waktu yang tidak sebentar. Artinya, Theo, kini dia sudah berumur dua puluh lima. Terpaut tiga tahun denganku. Aku pun ingat, inilah umur yang dijanjikan dia untuk menikahiku. Ah, sekarang semua itu sudah sirna. Apalah aku hanya seekor burung mustahil dinikahi seorang lelaki tampan dambaan banyak wanita yang kini telah berubah menjadi merpati.

'Kamu kok melamun?' tanya Atena memecahkan lamunanku.

'Eh, ti-tidak kok'. Aku berbohong. Seketika aku gagap. 'A-aku tidak melamun'.

'Ah, jangan bohong. Sejak kapan mata pemberian Sang Pencipta dapat berbohong'. Ia bergumam. 'Kamu melamunkan Theo ya? Kamu rindu dia?'.

'Ih siapa yang rindu dia. Kamu tau dari mana?' balasku tersipu malu.

'Sudah ku bilang, dari bahasa matamu itu'.

Aku tambah malu.

Kedua mataku menatap langit biru, kemudian memandang para lelaki yang berlalu lalang di jalan. 'Hmm.. Kamu tahu tidak, hari ini sebenarnya ada satu janji Theo yang harus dia tepati' kataku mulai berani bercerita tentang si lelaki penarik hati.

'Janji apa?'. Agaknya dia kaget.

'Menikahiku'. Rona wajahku berubah drastis menampakkan kemuramman. 'Mungkin hari ini dia menikahi wanita lain'.

Salah satu ketidakberuntungan menjadi merpati adalah tidak dapat memeluk atau dipeluk. Bila menjadi manusia, tentu keadaan seperti ini rasanya ingin dipeluk agar tenang.

'Kamu jangan menangis. Percuma saja kalau kamu menangis, ingin jadi apalagi? Kamu sudah berubah jadi merpati, tak mungkin lagi berubah jadi manusia'.

Iya dia benar, aku tidak mungkin jadi manusia. Ini pun memperkuat bahwa tak aku akan mungkin dinikahi Theo. 'Aku sudah tidak ada gunanya lagi'.

'Jangan berkata seperti itu!' ia terlihat berang.

'Maaf'. Aku tertunduk. 'Habisnya, apa manisnya hidup tanpa cinta?'.

Sayap kiri Atena menyenggol sayap kananku. 'Hidup ini seperti melihat bukit hijau yang penuh dengan bunga-bunga indah. Akan terasa indah bila kita bermain di sana'.

Aku terdiam sejenak. 'Tapi apakah seekor burung merpati bisa dinikahi oleh seorang manusia?'.

'Siapa tahu'.

Andai saja aku tidak menangis saat patah hati, mungkin enam tahun bukan waktu yang harus aku lewati. Semua sudah terlanjur. Siapa yang dapat mengira Theo main hati kala itu. Aku terbang meninggalkan Atena, mengepakkan sayap dengan cepat. 'Hei, kamu mau kemana?' samar-samar ia terdengar memanggil dari belakang, namun tak kuhiraukan.

Aku masih hapal alamat rumah Theo, lelaki yang kucintai dari dulu dan masih sampai sekarang. Aku terbang ke sana. Ia tinggal di sebuah rumah kecil, tapi memiliki taman yang amat luas. Di sana ada banyak pepohonan, air mancur, bangku taman, dan miniatur air terjun beserta danau kecilnya. Aku hinggap di atas pagar rumah yang memiliki tinggi lima meter. Aku menunggu dia datang.

Berjam-jam sudah kulewati, tanpa makan dan minum. Langit senja oranye-jingga mulai tampak. Matahari perlahan mulai sembunyi. Hingga pada akhirnya, aku melihat seorang lelaki berjalan kemari. Aku terbang sembunyi di balik pohon cemara. Ia tampak lebih tampan. Badannya lebih tegap berisi. Seingatku, yang berbeda kini dia berkacamata dan rambutnya berjambul. Itu saja. Ia membuka pagar. Masuk ke dalam.

Aku terbang ke depan pintu. Dari sini, terlihat dengan jelas apa saja yang ia lakukan. Kemudian, aku melihat ia memandangi foto yang baru saja diambil dari atas meja kerjanya. Ia berjalan keluar pintu. Aku sembunyi di balik pohon kecil samping air mancur. Ia duduk di pinggir lantai yang memisahkan antara rumah dengan taman. Masih memandangi foto. Rona wajahnya terlihat semakin sendu. Entah apakah ia bersedih karenaku atau wanita lain.

Lelaki berkacamata itu memandang langit yang sudah mulai menghitam dengan awan abu-abu yang melampiri. Kemudian menaruh foto berbingkai putih di atas kedua paha. Tangannya menahan beban tubuh sebagai penyangga punggung. Kedua kakinya direntangkan. Aku ingat, ini adalah posisi ternyaman Theo ketika sedang melamun. Sekarang aku tak mengerti bahasa lamunan itu. Tak mengerti pula siapa yang mengisi di dasar matanya.

Beberapa menit berlalu. Ia mulai beranjak dari duduk, meraih foto, dan masuk ke dalam. Aku mencoba mengekor agar dapat masuk, tapi tak berhasil, pintu terlebih dahulu ditutup. Lampu dalam rumah dimatikan. Yang menerangi rumahnya kini hanya lampu-lampu taman yang ada di setiap sudut dan satu lampu hias warna warni disko di atas kolam pancuran air. Aku terlalu naif, juga lugu untuk bertatap dengannya. Sesungguhnya aku ingin menagih janji dia untuk menikahiku hari ini, tapi hari semakin larut. Ini pasti tak akan terjadi.

Aku terbang kembali menuju Taman Merpati. Taman yang menjadi kawan untuk melahirkan kesenangan, tak melulu membahas kegalauan. 'Kamu habis dari mana?' tanya Atena setelah aku baru sampai di pohon cemara favorit kami berdua.

'Dari rumah Theo. Aku sudah lama tak mengunjunginya' jawabku, lemas.

'Sudahlah. Percaya denganku...' ia berhenti bicara.

Aku menoleh. 'Apa?'.

'Cinta tak akan kemana-mana' ucap dia seraya tersenyum yang membuyarkan seluruh pilu hatiku

---

Malam semakin pekat, sudah hampir pukul dua belas. Bulan telah melingkar gagah memamerkan kecantikannya. Bintang pun berbinar setia berkedip menghiasi langit. Di bawah keindahan itu, ada aku yang masih sulit tidur. Dari balik lobang pohon ini mataku menatap ke arah depan, tepatnya ke arah pintu masuk Taman Merpati. Bodohnya aku masih berharap Theo datang. Mana mungkin ada lelaki berkacamata hitam datang ke taman burung di malam seperti ini, keluhku. Murung.

Pandangan mataku tiba-tiba dihantui oleh sesuatu yang tidak biasa terjadi di taman ini. Sedari tadi terlihat merpati terbang berkelintaran di depan mata. Ia singgah dari satu sangkar ke sangkar lain. Ini sangat jarang sekali, mana ada merpati yang aktif di malam hari. Kami bukan seperti kalelawar yang dilabeli hewan nokturnal, apalagi mencari cinta di malam gelap.

Merpati itu masih berkelintaran. Aku curiga. Karena takut terjadi apa-apa, aku membangunkan Atena. Kuguncangkan tubuhnya dengan tenaga kedua sayap yang masih tersisa. Ia tak bangun. Maka kupatuk sayapnya menggunakan paruh. 'Aduh! Sakit!' ia terbangun sambil mengelus sayap kirinya. 'Kenapa kamu bangunkan aku tengah malam begini?'.

'Lihat keluar. Ada merpati yang mondar-mandir' sayapku menunjuk-nunjuk. 'Merpati itu'.

'Hm?'.

'Aku tak butuh gumammu. Itu siapa?'.

'Mungkin itu merpati yang tak bisa tidur'.

'Masa?'.

'Mungkin'. Kami masih melihat merpati itu mondar-mandir ke sana kemari. Singgah di sangkar yang berbeda-beda.

Hingga pada akhirnya, aku melihat merpati itu terbang ke arahku. Ia terlihat tersenyum, kemudian merangkul. 'Lho, merpati bisa merangkul?'. Pertanyaan Atena terdengar hingga ke telingaku.

'Hei lepaskan aku!'. Kedua sayap kubentangkan keras untuk melepaskan pelukan merpati yang ku tak tahu siapa dia. 'Untuk apa kamu memelukku?'.

'Liza. Ini aku' ucap merpati itu.

Aku mengernyitkan dahi. 'Bagaimana bisa kamu tahu namaku?'.

'Ini aku, Theo'.

Seketika aku terdiam. Namun, entah mengapa sayap kiriku tiba-tiba melayang kencang ke arah wajah merpati yang mengaku sebagai Theo. Menampar. 'Kamu pengkhianat!'. Aku tak bisa tenang meski Atena menenangkanku.

'Maafkan aku Liza. Waktu itu kamu salah paham'.

'Apa!'.

Merpati yang mengaku sebagai Theo itu menatap mataku dalam-dalam, berkata lirih, 'Wanita itu yang dulu kamu sebut selingkuhanku adalah teman lamaku yang mendonor jantungku hingga aku bisa bertahan hidup'.

'Bohong! Mengapa dia selalu ada di ruang kamar perawatanmu?'. Aku mulai geram, seolah melenyapkan perasaan cintaku pada Theo.

'Kata ibuku, dia menunggu perintah dari dokter setiap malam memastikan waktu yang tepat untuk mendonor jantungnya'.

Napasku beraroma dendam. Luka lama seolah terkelupas kembali. 'Kamu tak punya hati!' aku berteriak. 'Kemana saja kamu selama enam tahun ini! Kamu sama saja seperti lelaki lain! Pembohong!'.

'A-aku..'.

PLAK! Sayap kananku reflek melayang ke arah wajahnya. Menampar lagi. 'Pembohong!'.

'Aku bukan pembohong. Semenjak aku sembuh, aku mencarimu, tapi tak pernah ketemu. Aku terus mencarimu hingga ke kota seberang. Di sisi lain, aku yakin kamu berubah menjadi merpati karena...'.

'Patah hati!' aku memotong, masih geram. 'Apa buktinya kalau kamu ini Theo?'.

'Iya, ini aku Theo. Percayalah Liza' kedua sayapnya memegang kedua pundak sayapku. 'Aku setiap hari berusaha untuk menangis lebih dari tiga puluh menit, tapi tidak pernah bisa. Tidak ada sesuatu yang dapat membuatku menangis selama itu. Namun, aku ingat, hari ini adalah janjiku untuk menikahimu. Aku memandangi fotomu. Mematikan lampu rumah untuk berteman dengan sendu dan aku bisa menangis. Setelah tiga puluh menit lebih, tubuhku menciut seperti para wanita yang berubah menjadi merpati. Aku segera terbang mencarimu dan akhirnya...'.

'Apa?' balasku dengan suara yang layu.

'Aku menemukan kamu' ia tersenyum. 'Aku ingin buktikan kepadamu bahwa aku bukanlah pembohong seperti lelaki lainnya'.

'Bukti apa?'. Suara kami sama-sama mulai tenang.

'Kamu tahu, aku adalah lelaki kedua di kota ini yang berani berubah menjadi merpati jantan. Sekarang, aku ingin menepati janjiku' sejenak ia berhenti bicara. 'Maukah kamu menikah denganku?'.

Mata kami saling bertatap. Bibir kami sama-sama jadi membisu. Aku ingin menjawab rasanya tertahan karena bahagia yang tak terkira dan tak bisa diungkapkan kata-kata.

Hening.

Kemudian, aku menjawab sembari mengangguk, 'Iya aku mau'.

Mata Theo terlihat bahagia, begitupun denganku. Ia memelukku erat. Sangat erat. Pelukan hangat penuh cinta.

'Aku baru lihat. Ternyata, hanya merpati jantan yang dapat memeluk, tapi...' ucapan teman baikku terhenti.

Aku yang masih dipeluk erat Theo, bertanya, 'Tapi apa?'.

'Setelah jam dua belas lewat nanti kamu tak boleh menangis lagi' jawabnya, pelan.

Tak lama kemudian. TENG! TENG! TENG!

Denting lonceng Taman Merpati berbunyi dua belas kali pertanda berganti hari dan sudah lewat dari pukul dua belas malam. Badanku mendadak merasa pelukan Theo melemas, kemudian lepas. Theo yang berdiri di pinggir lobang sarang terjatuh ke bawah dengan kedua mata yang tertutup.

'Sayang!' aku teriak, memanggil. Lantas aku terbang berusaha menangkapnya. Terbang lebih cepat berharap Theo tidak jatuh ke atas permukaan tanah dari pohon yang sangat tinggi ini. Namun, sayang, BUKK! ia terjatuh. Debu tanah berhembus dari samping tubuhnya.

'Sayang, bangun!'. Aku mengguncangkan tubuhnya. Beberapa kali menekan-nekan dadanya berharap segera sadar.

'Dia...' Atena membuka suara dari sampingku.

'Kenapa? Theo kenapa?'. Aku panik. 'Katakan padaku bahwa Theo hanya pingsan!'.

'Theo mati'.

'Hah?'. Aku kembali mengguncang-guncang tubuhnya. Lebih keras. 'Sayang, bangun!'.

'Aku ingat, setiap lelaki yang berubah menjadi merpati hanya berkesempatan hidup hingga pukul dua belas malam di hari itu juga'.

Air mata mulai membasahi pipiku. Tak kuasa menahan.

'Itulah mengapa di kota ini tidak ada merpati jantan'. Atena mendengus. 'Cinta kita memang selalu berakhir seperti ini, menangis'.

Setetes demi setetes air mataku mulai membasahi wajah Theo, seorang lelaki yang telah lama kucintai. Aku mengusap-usap halus wajahnya. Memandangi kelopak mata yang menutup indah kedua bola matanya. Ia tidur tenang di pangkuanku. Kepergiannya begitu hangat membunuh dinginnya pekat malam. Kalau tahu begini, lebih baik ia tetap menjadi manusia. Begitupun aku, tetap mencintai dia meski berbalut luka.

Aku jadi teringat ucapan Theo, Bila ada kata yang derajatnya lebih tinggi dari rindu, aku janji akan kukatakan padamu detik ini juga. Sekarang, aku mengerti mengapa rindu adalah sesuatu yang sangat langka. Itu dapat terasa bila seseorang yang kita cintai telah tiada.