Sumber: google.com
Quin, satu-satunya wanita yang belum menikah di desa Vilee terlihat sedang istirahat siang berbaring di antara dua rel yang membentang. Aku yang sering tak sengaja melihatnya seperti itu berulangkali bertanya-tanya sendiri, apakah dia nyaman tidur dengan posisi badan seperti itu?
Padahal, aku tahu di rumahnya, disediakan kamar pribadi dengan kasur berbahan dasar lateks terbaik dunia yang membuatnya tidur dengan sangat nyaman. Terdapat pula kolam renang di samping kanan rumah yang memungkinkannya berenang bercengkrama diri dengan air. Serta pepohonan tumbuh di taman belakang yang sepanjang waktu siap menyejukkan pikiran dia yang jenuh. Bagiku, dia sudah hidup sangat nyaman sekali. Bila aku menjadi dirinya, tentu aku tidak akan memilih tidur di rel itu.
Padahal, aku tahu di rumahnya, disediakan kamar pribadi dengan kasur berbahan dasar lateks terbaik dunia yang membuatnya tidur dengan sangat nyaman. Terdapat pula kolam renang di samping kanan rumah yang memungkinkannya berenang bercengkrama diri dengan air. Serta pepohonan tumbuh di taman belakang yang sepanjang waktu siap menyejukkan pikiran dia yang jenuh. Bagiku, dia sudah hidup sangat nyaman sekali. Bila aku menjadi dirinya, tentu aku tidak akan memilih tidur di rel itu.
Aku jadi ingat, suatu hari dia pernah bercerita, tidur di antara dua rel adalah kebiasaan sedari kecil. Kebiasaan yang diajarkan oleh ibunya yang kini aku tak tahu dimana. Ia menambahkan, kala itu pula, ayahnya tak pernah ingin pulang ke rumah. Ibunya pun begitu. Kini, Quin tinggal berdua bersama adik lelakinya di sebuah rumah yang jaraknya sekitar dua ratus meter dari sini. Kami bertiga sudah saling kenal sejak kecil. Bisa dibilang sudah seperti keluarga sendiri. Yang kurasa berbeda hanyalah, aku sudah menikah, sedangkan Quin belum.
Dari kejauhan, rona wajah teman dekatku itu terlihat datar menatap ke atas. Tidak murung, tidak senang, juga bukan sedih. Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Hanya dia yang tahu.
Aku coba menghampiri setelah beberapa lama memerhatikan dia dari balik pohon tua ini. Berharap tidak mengganggu istirahat siangnya.
'Hai, Quin' sahutku, duduk di atas rel samping kaki kirinya.
'Eh, hai!'. Dia terlihat kaget dengan kedatanganku. Gelagatnya aku memecahkan lamunan dia. Wanita berparas cantik itu bangkit dari posisi berebahan. Mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Sekarang kami saling berhadapan. Sama-sama duduk di rel kereta tua yang sudah tidak terpakai. 'Maaf, untung aku belum tidur siang. Ada apa, Rena?' tanya dia.
Aku bergumam. 'Tidak ada apa-apa kok, Quin'. Balasku tersenyum. 'Tapi ada yang ingin aku tanyakan padamu'.
'Apa? Wajahmu seperti ingin membahas sesuatu yang serius'.
'Aah..' aku tersenyum kecil. 'Aku mau tanya. Kenapa kamu...'.
'Tunggu sebentar' wanita berambut cokelat kehitaman itu memotong. 'Sepertinya aku tahu apa yang akan kamu tanyakan'.
Kedua alisku reflek mengangkat. Bibirku mengembang sedikit.
'Aku memang sering tidur siang di sini, Ren. Nyaman sekali'.
'Apa tidak sakit? Kenapa kamu tidak tidur saja di rumah. Di sana adalah istanamu. Aku merasa aneh saja kenapa hampir setiap siang aku melihatmu berbaring di tengah rel ini'.
Menurutku, Quin adalah wanita kuat luar biasa. Kuat menahan guncangan hidup. Dia tak seperti gunung yang mengeluarkan lava ketika terguncang yang lelehan panasnya membuat takut semua orang. Semua yang ada di sekitarnya. Namun, dia tidak seperti itu. Bahkan, di saat cacian dan fitnah menghampiri ke telinganya, ia dapat bersabar. Katanya, yang paling pedih adalah fitnah bahwa Quin terlahir di luar nikah dari orang tuanya. Sungguh fitnah yang keji. Aku yakin itu benar-benar fitnah. Aku tak percaya, meski aku sama sekali belum pernah melihat rupa kedua orang tuanya.
Quin juga wanita penakluk kesedihan. Penakluk ketakutan. Pernah dia bercerita, hidup ini hampir sama layaknya kertas putih yang diwarnai. Kertas adalah hati kita. Yang mewarnai tentu diri kita sendiri. Orang lain yang berkomentar. Dia seringkali mengeluh kepadaku, mengapa orang di luar sana berkomentar mirip seperti gelas kosong. Ada bentuknya, namun tak berisi.
'Ahh.. Aku sudah biasa kok' jawab Quin. Aku kagum dengan wanita pengoleksi pashmina ini. Dia memang kuat. Selain doa dan teman-teman yang menghangatkan hidupnya, pashimina koleksinya juga menghangatkannya, begitulah salah satu gurauan dari dia yang masih kuingat. Aku kagum karena dia sama sekali tidak mengeluh kepadaku hidup tanpa orang tua. Dia bagaikan miniatur seorang ibu yang harus mengurusi adiknya. Seorang adik yang belum mengerti soal arti kehidupan.
'Kamu ingin tahu orang tuaku dimana?' tanya Quin.
Sampai saat ini tak ada seorangpun yang tahu dimana kedua orang tuanya, termasuknya adiknya sendiri. 'Dimana?' aku bertanya balik. Kedua mata ini jadi tengok kanan kiri. Penasaran.
Quin meraih tangan kananku. Kami bangkit dan berjalan bergandengan. Dia seperti menuntun ke arah lorong hitam gelap di depan. Aku menilik ke wajahnya, berkata lirih, 'Kita mau kemana?'.
'Ah sudah ikut saja dulu' jawab dia, santai.
Kami berjalan semakin dekat menuju lorong. Bebatuan yang terinjak seolah menghitung langkah dari awal kami berdiri. 'Kamu belum pernah masuk ke lorong itu kan?' tanya Quin tanpa melihat ke arahku.
'Quin! Jangan bilang kamu mengajak aku masuk ke dalam!' suaraku meninggi.
Dia hanya melepaskan senyuman.
Seketika kulepaskan genggaman tangan ini. Bukan kenapa-kenapa, tapi aku curiga. Aku berhenti berjalan, menyeru kepadanya, 'Di sana gelap! Aku takut!'.
Tarikan garis bibir kanan Quin melengkung. Entah apa artinya. 'Katanya kamu mau tahu dimana orang tuaku?'.
'Iya. Ta-tapi kenapa ke sana?'. Aku semakin tambah curiga, bingung sekaligus takut.
'Di sana ada orang tuaku. Aku sedang tidak bercanda Rena'.
'Masa ada di sana sih' keluhku sembari menghentakkan satu kaki ke bumi.
Keluhanku hanya angin lewat baginya. Tanganku direnggut dan kami berjalan kembali. Aku memberanikan diri tetap membuka mata. Rasanya, suasana di sini menantang aku untuk terus berjalan ke lorong. Sampai-sampai suara batu yang terinjak saja seperti jadi satu-satunya suara yang kudengar dari kedua telingaku. Saking heningnya.
Kami semakin dekat dengan lorong gelap setengah lingkaran setinggi empat meter itu. 'Nah ini' ucap Quin setelah kami hanya terpaut lima meter dengan lorong.
'Lalu?' kedua bahuku mengangkat. Bingung.
'Dengarkan ya' ia berbisik. Entah kenapa bulu kuduk di lengan terasa berdiri. Ujung-ujung jari tangan mulai terasa dingin. Ditambah angin yang berhembus perlahan melintas mesra di daguku. Sungguh ini tak lucu. Aku seperti ada di sebuah uji nyali, bedanya ini di siang bolong tepat matahari berada di atas kepala.
'Moooommiiiii' sahut Quin dengan keras hingga terdengar menggema di dalam. Aku ingat, Momi adalah panggilan untuk Ibunya.
Kemudian, ia teriak lagi. 'Pooooopiiiiii'. Panggilannya menggema kembali, lama-lama lenyap.
Tak lama kemudian, dari dalam lorong, terdengar suara jejak kaki terseok-seok seperti berjalan menuju luar lorong. 'Itu siapa yang kemari?' tanyaku sambil menggenggam erat tangan kiri Quin. Aku tambah takut.
'Momi.. Popi. Cukup sampai di situ saja'. Dua orang yang ada di dalam tiba-tiba berhenti melangkah. Quin seolah memerintahkan mereka untuk tidak keluar. Apakah dua orang itu orang tuanya? Setengah wajahku bersembunyi di balik bahu kiri Quin. Amat takut. Tak berani melihat secara keseluruhan dengan kedua bola mata. Hanya mata kiriku yang kurelakan untuk merekam keseraman ini.
'Momi. Popi. Ini temanku, Rena' ucap teman dekatku itu, melanjutkan.
Tak ada suara yang membalas dari dalam. Walau mereka tak terlihat dari sini, tetap saja aku ketakutan.
'Momi. Popi. Ini Rena. Dia bukan orang yang mengutuk kalian. Ini teman baikku. Dia sering menemani aku di waktu malam. Menemani aku kemana-kemana sedari kecil. Kami tumbuh bersama. Rena teman yang sangat baik'. Aku merekam momen ini hanya dengan mata kiriku. Sebelah lagi sembunyi di bahunya. Kedua telinga jadi saksi ucapan yang keluar dari bibir Quin.
Beberapa saat kemudian ada yang membalas dari dalam. 'Terima kasih Rena sudah menjaga anakku'. Suaranya terdengar berat. Dapat kupastikan itu adalah ayahnya.
'Itu ayahmu?' tanyaku berbisik.
'Bukan. Dia ibuku'.
'Hah?'.
Ini membuatku kian takut sekaligus bingung. Apa yang sedang terjadi, ucap pada diriku sendiri. Bangunkan aku sekarang juga bila ini hanya mimpi. PLAK! Quin menampar pipi kananku. 'Hei! Kamu sedang tidak bermimpi!' katanya, bernada tinggi. Tamparannya sungguh sakit.
'Popi. Ini teman baikku. Dia ingin dengar suaramu'. Quin tak acuh dengan rasa sakit di pipiku.
'Terima kasih sudah menemani anakku' balas lagi dari dalam. Kali ini suaranya tak berat seperti di awal. Suaranya lembut layaknya nada burung yang berkicau dengan indah ketika menyambut mentari pagi. Ini pasti suara wanita. Aku yakin. Namun, di sisi lain, aku juga berpikir, jangan-jangan ini ayahnya.
'Itu ibumu?'. Aku segera meralat pertanyaanku. 'Eh, maksudnya, itu ayahmu?'.
'Iya itu ayahku' jawabnya.
'Kok bisa?' tanyaku lagi seraya menggelengkan kepala.
'Kamu tidak percaya?'. Matanya menatap mataku dengan tajam. 'Apa kamu ingin benar-benar melihat kedua orang tuaku?'.
Aku mengangguk, masih memegang erat lengan kirinya. Jujur, anggukkanku adalah reflek yang tak sengaja tercipta.
'Kalau begitu aku ingin kamu lepaskan genggaman ini terlebih dahulu. Kamu jangan bersembunyi lagi di balik bahuku. Aku ingin kamu lihat mereka dengan kedua matamu. Melihat mereka dengan jelas lima detik saja'.
'Lima detik? Tapi kan itu...'.
'Kamu ingin melihatnya atau tidak?' suaranya meninggi, memotong.
Aku mengangguk. Membisu, namun mengiyakan.
Kulepaskan genggaman erat tanganku. Wajah ini tak lagi bersembunyi di balik bahunya. Aku berdiri lebih tegap di sampingnya. Aku dapat melihat lorong gelap itu dengan utuh. Sampai saat ini, di sana, tak tampak ada dua orang. Sama sekali tak ada.
'Momi. Popi. Kemari..' Quin memanggil mereka.
Perlahan ada dua orang berbadan yang tak wajar mulai samar-samar mendekat. Masih tidak jelas. Beberapa detik kemudian. 'ASTAGA!'. Sontak aku teriak dengan keras seolah memporak-porandakkan kesunyian ini.
Aku langsung memegang erat kembali tangan kiri teman dekatku. Lebih erat. Semakin erat. Kali ini tubuhku benar-benar bersembunyi di balik punggungnya. Tak ada mata yang terbuka. 'ITU APA? ITU APA?.
Aku shock. Seketika napasku terangah-engah. Jantungku berdegub amat cepat. Kedua kakiku lemas. Bergetar. Sangat lemas.
'Sudah kuduga. Aku benci yang seperti ini'.
Kemudian hening sesaat.
Aku tak tahu apa yang sedang dilakuka mereka bertiga. Sungguh aku tak berani melihat. Tubuh Quin sama sekali tidak bergerak. Lagipula tak terdengar satu katapun. Yang terdengar hanya desahan daun yang saling bergesekan karena adanya angin yang tiba-tiba berhembus kencang. Anginnya turut meriuhkan suasana.
Kemudian, Quin memerintahkan aku untuk kembali membuka mata. Perintahnya tak kuacuhkan. Dia meminta sekali lagi. 'Mereka masih ada?' tanyaku memastikan dua orang itu sudah tidak ada dengan mata yang masih tertutup.
'Sudah tidak ada. Ayo bukalah matamu. Jangan jadi wanita penakut!'.
Perlahan aku membuka mata. Mengernyitkan dahi. Mulai berani melirik ke lorong dari balik bahunya. Sekarang, yang tampak hanya lorong gelap setengah lingkaran lagi. Tak ada lagi kedua orang tuanya. Aku berdiri di samping Quin.
Dia menoleh ke arahku, berkata, 'Janji kepadaku jangan bilang ini kepada siapapun, termasuk adikku'.
'Iya' balasku singkat. Napas ini masih terengah-engah.
'Sudah kuduga, bahkan teman dekatku sekalipun tak akan kuat melihat mereka'.
Aku membisu.
'Meski mereka sangat berbeda. Aku tetap sayang sama mereka. Bagaimanapun mereka tetap orang tuaku. Dua orang yang merawatku hingga seperti ini. Sekarang, aku yang harus merawat dia' lanjut Quin.
Aku masih berdiam diri, hanya mendengar perkataannya. Napasku belum kembali normal.
Tiba-tiba dari belakang samar-samar terdengar teriakan anak lelaki berulang memanggil 'Kakak.. Kakak..'. Teriakannya berasal dari area istana Quin. 'Itu adikku sudah pulang' ucapnya. Dia menggenggam tanganku. Kami sama-sama membalikkan badan.
'Ayo kita pulang' kata dia.
Kami melangkah pergi. Ini yang terakhir, aku menilik ke belakang ke lorong tersebut. Lorong tua yang di dalamnya tinggal dua orang yang bentuk tubuhnya... Ah, sudah aku sangat takut.
'Kamu ingin tahu orang tuaku dimana?' tanya Quin.
Sampai saat ini tak ada seorangpun yang tahu dimana kedua orang tuanya, termasuknya adiknya sendiri. 'Dimana?' aku bertanya balik. Kedua mata ini jadi tengok kanan kiri. Penasaran.
Quin meraih tangan kananku. Kami bangkit dan berjalan bergandengan. Dia seperti menuntun ke arah lorong hitam gelap di depan. Aku menilik ke wajahnya, berkata lirih, 'Kita mau kemana?'.
'Ah sudah ikut saja dulu' jawab dia, santai.
Kami berjalan semakin dekat menuju lorong. Bebatuan yang terinjak seolah menghitung langkah dari awal kami berdiri. 'Kamu belum pernah masuk ke lorong itu kan?' tanya Quin tanpa melihat ke arahku.
'Quin! Jangan bilang kamu mengajak aku masuk ke dalam!' suaraku meninggi.
Dia hanya melepaskan senyuman.
Seketika kulepaskan genggaman tangan ini. Bukan kenapa-kenapa, tapi aku curiga. Aku berhenti berjalan, menyeru kepadanya, 'Di sana gelap! Aku takut!'.
Tarikan garis bibir kanan Quin melengkung. Entah apa artinya. 'Katanya kamu mau tahu dimana orang tuaku?'.
'Iya. Ta-tapi kenapa ke sana?'. Aku semakin tambah curiga, bingung sekaligus takut.
'Di sana ada orang tuaku. Aku sedang tidak bercanda Rena'.
'Masa ada di sana sih' keluhku sembari menghentakkan satu kaki ke bumi.
Keluhanku hanya angin lewat baginya. Tanganku direnggut dan kami berjalan kembali. Aku memberanikan diri tetap membuka mata. Rasanya, suasana di sini menantang aku untuk terus berjalan ke lorong. Sampai-sampai suara batu yang terinjak saja seperti jadi satu-satunya suara yang kudengar dari kedua telingaku. Saking heningnya.
Kami semakin dekat dengan lorong gelap setengah lingkaran setinggi empat meter itu. 'Nah ini' ucap Quin setelah kami hanya terpaut lima meter dengan lorong.
'Lalu?' kedua bahuku mengangkat. Bingung.
'Dengarkan ya' ia berbisik. Entah kenapa bulu kuduk di lengan terasa berdiri. Ujung-ujung jari tangan mulai terasa dingin. Ditambah angin yang berhembus perlahan melintas mesra di daguku. Sungguh ini tak lucu. Aku seperti ada di sebuah uji nyali, bedanya ini di siang bolong tepat matahari berada di atas kepala.
'Moooommiiiii' sahut Quin dengan keras hingga terdengar menggema di dalam. Aku ingat, Momi adalah panggilan untuk Ibunya.
Kemudian, ia teriak lagi. 'Pooooopiiiiii'. Panggilannya menggema kembali, lama-lama lenyap.
Tak lama kemudian, dari dalam lorong, terdengar suara jejak kaki terseok-seok seperti berjalan menuju luar lorong. 'Itu siapa yang kemari?' tanyaku sambil menggenggam erat tangan kiri Quin. Aku tambah takut.
'Momi.. Popi. Cukup sampai di situ saja'. Dua orang yang ada di dalam tiba-tiba berhenti melangkah. Quin seolah memerintahkan mereka untuk tidak keluar. Apakah dua orang itu orang tuanya? Setengah wajahku bersembunyi di balik bahu kiri Quin. Amat takut. Tak berani melihat secara keseluruhan dengan kedua bola mata. Hanya mata kiriku yang kurelakan untuk merekam keseraman ini.
'Momi. Popi. Ini temanku, Rena' ucap teman dekatku itu, melanjutkan.
Tak ada suara yang membalas dari dalam. Walau mereka tak terlihat dari sini, tetap saja aku ketakutan.
'Momi. Popi. Ini Rena. Dia bukan orang yang mengutuk kalian. Ini teman baikku. Dia sering menemani aku di waktu malam. Menemani aku kemana-kemana sedari kecil. Kami tumbuh bersama. Rena teman yang sangat baik'. Aku merekam momen ini hanya dengan mata kiriku. Sebelah lagi sembunyi di bahunya. Kedua telinga jadi saksi ucapan yang keluar dari bibir Quin.
Beberapa saat kemudian ada yang membalas dari dalam. 'Terima kasih Rena sudah menjaga anakku'. Suaranya terdengar berat. Dapat kupastikan itu adalah ayahnya.
'Itu ayahmu?' tanyaku berbisik.
'Bukan. Dia ibuku'.
'Hah?'.
Ini membuatku kian takut sekaligus bingung. Apa yang sedang terjadi, ucap pada diriku sendiri. Bangunkan aku sekarang juga bila ini hanya mimpi. PLAK! Quin menampar pipi kananku. 'Hei! Kamu sedang tidak bermimpi!' katanya, bernada tinggi. Tamparannya sungguh sakit.
'Popi. Ini teman baikku. Dia ingin dengar suaramu'. Quin tak acuh dengan rasa sakit di pipiku.
'Terima kasih sudah menemani anakku' balas lagi dari dalam. Kali ini suaranya tak berat seperti di awal. Suaranya lembut layaknya nada burung yang berkicau dengan indah ketika menyambut mentari pagi. Ini pasti suara wanita. Aku yakin. Namun, di sisi lain, aku juga berpikir, jangan-jangan ini ayahnya.
'Itu ibumu?'. Aku segera meralat pertanyaanku. 'Eh, maksudnya, itu ayahmu?'.
'Iya itu ayahku' jawabnya.
'Kok bisa?' tanyaku lagi seraya menggelengkan kepala.
'Kamu tidak percaya?'. Matanya menatap mataku dengan tajam. 'Apa kamu ingin benar-benar melihat kedua orang tuaku?'.
Aku mengangguk, masih memegang erat lengan kirinya. Jujur, anggukkanku adalah reflek yang tak sengaja tercipta.
'Kalau begitu aku ingin kamu lepaskan genggaman ini terlebih dahulu. Kamu jangan bersembunyi lagi di balik bahuku. Aku ingin kamu lihat mereka dengan kedua matamu. Melihat mereka dengan jelas lima detik saja'.
'Lima detik? Tapi kan itu...'.
'Kamu ingin melihatnya atau tidak?' suaranya meninggi, memotong.
Aku mengangguk. Membisu, namun mengiyakan.
Kulepaskan genggaman erat tanganku. Wajah ini tak lagi bersembunyi di balik bahunya. Aku berdiri lebih tegap di sampingnya. Aku dapat melihat lorong gelap itu dengan utuh. Sampai saat ini, di sana, tak tampak ada dua orang. Sama sekali tak ada.
'Momi. Popi. Kemari..' Quin memanggil mereka.
Perlahan ada dua orang berbadan yang tak wajar mulai samar-samar mendekat. Masih tidak jelas. Beberapa detik kemudian. 'ASTAGA!'. Sontak aku teriak dengan keras seolah memporak-porandakkan kesunyian ini.
Aku langsung memegang erat kembali tangan kiri teman dekatku. Lebih erat. Semakin erat. Kali ini tubuhku benar-benar bersembunyi di balik punggungnya. Tak ada mata yang terbuka. 'ITU APA? ITU APA?.
Aku shock. Seketika napasku terangah-engah. Jantungku berdegub amat cepat. Kedua kakiku lemas. Bergetar. Sangat lemas.
'Sudah kuduga. Aku benci yang seperti ini'.
Kemudian hening sesaat.
Aku tak tahu apa yang sedang dilakuka mereka bertiga. Sungguh aku tak berani melihat. Tubuh Quin sama sekali tidak bergerak. Lagipula tak terdengar satu katapun. Yang terdengar hanya desahan daun yang saling bergesekan karena adanya angin yang tiba-tiba berhembus kencang. Anginnya turut meriuhkan suasana.
Kemudian, Quin memerintahkan aku untuk kembali membuka mata. Perintahnya tak kuacuhkan. Dia meminta sekali lagi. 'Mereka masih ada?' tanyaku memastikan dua orang itu sudah tidak ada dengan mata yang masih tertutup.
'Sudah tidak ada. Ayo bukalah matamu. Jangan jadi wanita penakut!'.
Perlahan aku membuka mata. Mengernyitkan dahi. Mulai berani melirik ke lorong dari balik bahunya. Sekarang, yang tampak hanya lorong gelap setengah lingkaran lagi. Tak ada lagi kedua orang tuanya. Aku berdiri di samping Quin.
Dia menoleh ke arahku, berkata, 'Janji kepadaku jangan bilang ini kepada siapapun, termasuk adikku'.
'Iya' balasku singkat. Napas ini masih terengah-engah.
'Sudah kuduga, bahkan teman dekatku sekalipun tak akan kuat melihat mereka'.
Aku membisu.
'Meski mereka sangat berbeda. Aku tetap sayang sama mereka. Bagaimanapun mereka tetap orang tuaku. Dua orang yang merawatku hingga seperti ini. Sekarang, aku yang harus merawat dia' lanjut Quin.
Aku masih berdiam diri, hanya mendengar perkataannya. Napasku belum kembali normal.
Tiba-tiba dari belakang samar-samar terdengar teriakan anak lelaki berulang memanggil 'Kakak.. Kakak..'. Teriakannya berasal dari area istana Quin. 'Itu adikku sudah pulang' ucapnya. Dia menggenggam tanganku. Kami sama-sama membalikkan badan.
'Ayo kita pulang' kata dia.
Kami melangkah pergi. Ini yang terakhir, aku menilik ke belakang ke lorong tersebut. Lorong tua yang di dalamnya tinggal dua orang yang bentuk tubuhnya... Ah, sudah aku sangat takut.