Cintai Aku Sepenuh Hati

Ilustrasi - Sumber: allaboutancun.com

Sore ini aku diajak Pablo ke Marriott's Marbella Beach Resort yang berada di Marbella City. Cukup menghabiskan waktu satu jam dari Malaga menggunakan mobil berlogo kuda berdiri. Perjalanan satu jam itu tidak terasa karena kami larut dalam obrolan seru, mulai dari membahas klub sepak bola, perkuliahan, hingga yang paling menyenangkan, yaitu cinta. 

Lelaki dengan brewok tipis di dagu itu memang tipe cowok yang selalu asik diajak bicara tentang cinta. Segala pembahasan mengenai cinta selalu nyambung bersamanya. Selain itu, aku juga suka dengan sifatnya yang romantis. Ketika di parkiran saja ia masih menyempatkan diri mengecup keningku sebelum membuka pintu.

"Selamat datang ratuku, Adeline," ucapnya, lalu menutup pintu mobil bagianku. Ia terkekeh setelahnya.

Sekarang kami berada di hotel yang lokasinya berdampingan dengan pantai. "Buenas tardes. Bienvenido![1]," ucap salah satu pelayanan yang membukakan pintu untuk kami. Kami membalasnya dengan senyuman ramah.

Pablo menuntunku menuju restoran untuk mengisi kekosongan perut yang sedari tadi sudah mendecit. Tak lama melihat-lihat la carta[2] Kami memesan appetizer, gazpacho makanan yang disajikan dingin serta red wine. Appetizer ini adalah makanan utama di Andalusia yang komposisinya terdiri dari roti, minyak zaitun, dan vinegar-sup roti dingin. 

Tak lama kemudian, datang seorang waiters berambut klimis membawa makanan dan minuman pesanan kami. "Por favor[3]," katanya sembari menaruh pesanan kami di atas meja.

"Gracias[4]," balas kami berdua bersamaan. Kemudian, kami saling bertatapan menahan tawa.

Kedua sajian yang ada di depan mata kami ini terasa sempurna. Sup dingin yang diselimuti kehangatan saat wine diteguk menyelimuti perut kami.

"Semoga kau menikmati hari ini," katanya, sembari melahap sup. Aku sudah hapal dengan kebiasaan lelaki berkemeja abu-abu itu bila membuka percakapan. Hampir selalu diawali dengan kalimat yang menawan.

"Aku selalu menikmati hari-hariku bersamamu," balasku tersenyum.

Ketika menghabiskan sajian makanan, pandangan kami yang bertemu beberapa kali membuat sudut bibirku tersenyum. Kedua mata kami bertemu dan seakan ada aksara yang tersimpan di baliknya.

"Kau pernah melihat keindahan selain cinta?"

Aku bergumam, berpikir cepat. "Melihat keluarga."

"Itu sudah pasti," balasnya sembari tertawa kecil. Sepertinya aku tampak polos di matanya hingga ia perlu tertawa di tengah-tengah lahapan makanannya. "Selain itu?"

Aku memutar bola mata, berpikir lagi. "Apa?"

"Sekarang aku ingin mengajakmu ke luar restoran ini. Kita akan melihat surga dunia."

"Sungguh? Kau sedang tidak mengerjaiku 'kan?"

Ia mengelus pipi kiriku dengan jempolnya. Halus gerakan tangannya seakan ia sedang menstransfer kasih sayangnya padaku. "Kapan aku berbohong padamu?"

"Tidak pernah," jawabku menggeleng dengan senyuman.

---

Makanan sudah habis, yang tersisa tinggal wine yang sedang sama-sama dalam genggaman kami. Beberapa detik kemudian, ia menempelkan dahinya di dahiku. "Kau tahu berapa besar cintaku padamu?"

"Yang tahu itu hanya kau dan Tuhanmu," jawabku. "Pablo, jangan lakukan ini di depan umum. Aku malu."

"Kalau begitu aku akan tunjukkan melalui lukisan yang Tuhanku berikan."

Ia meneguuk cepat wine miliknya, lalu mengusap bibirnya menggunakan tisu yang tersedia di atas meja. Aku meletakkan wine yang sudah kosong. Kemudian, tanganku diraih olehnya dan aku diajak ke luar restoran.

Kami melewati meja demi meja yang diisi oleh tamu-tamu di sini. Beberapa di antaranya ada yang melihat ke arah kami sembari berbisik-bisik tersenyum seperti melihat dua sejoli yang sedang syuting di hotel ini.

Setelah berjalan cepat, kami sampai di pantai berpasir putih keperakan. Pasir ini memantulkan cahaya senja yang dipancarkan dari matahari yang mulai karam di balik garis lurus lautan.

"Ini lukisan cintaku yang kau ragukan itu," ujar Pablo.

Aku menggenggam tangannya dan menoleh. "Aku sama sekali tidak ragu padamu."

Kusandarkan kepalaku di bahu kirinya. Ia mengelus-elus tanganku dengan lembut, kemudian merangkulku. Kami berdiri menatap matahari dari pinggir lautan yang menggulung ombak kecil seperti bernapas. Pohon pinus dan kelapa turut mengembuskan udara sejuk dengan melambai-lambaikan daunnya. Lambaian itu menyebarkan semerbak aroma ekstrak woody, vegetal, dan mineral dari parfum Terre d'Hermes yang menenangkan. Harum itu mengelus mesra hidungku.

Dari atas bahu yang nyaman ini aku dapat merasakan cinta yang ia berikan. Meski seringkali aku cerewet dan manja, Pablo adalah sosok lelaki yang tepat dikirim oleh Tuhan untukku. Ia bagai malaikat lelaki yang diutus surga agar selalu menjagaku.

"Suatu hari aku akan siap bersamamu," ucapnya. Ia mengeratkan rangkulannya di pinggangku.

"Siap untuk?"

"Menikahimu."

Aku mengangkat kapala dari bahunya. "Tapi keluarga aku belum menyetujuimu."

Ia menatapku, kedua matanya agak menyipit. "Cinta kita tidak akan sampai di sini hanya karena keluargamu belum menyetujui." Kata-katanya terhenti sejenak. "Kunci tidak akan tercipta bila tidak ada pintunya."

"Iya aku mengerti, tapi ini berbeda," balasku. "Orang tuaku bukan orang yang mudah mempercayai ucapan lelaki semenjak kejadian satu tahun lalu."

"Lelaki yang dulu pernah bersamamu itu bukan aku," katanya menegaskan. "Aku beda dengan lelaki lain. Aku menerima kamu apa adanya dan aku akan melindungimu, bukan menyakitimu."

Sekelibat dalam imajiku tergambar cuplikan kekerasan yang dilakukan kekasihku yang dulu. Terlihat jelas tamparan, pukulan, tendangan, dan perkosaan yang pernah terjadi padaku. Hingga akhirnya tindakan itu terlihat oleh Ibuku dan dilaporkan kepada Ayahku. Aku hanya dapat berlutut di hadapan orangtuaku dan meminta maaf karena telah salah memilih pasangan hati.

"Terima kasih." Masih terdapat serbuk-serbuk ingatan perih yang sepertinya baru saja kemarin terjadi. Aku membalas dengan suara yang turun satu oktaf. "Tapi seberapa besar kamu yakin dapat meluluhkan hati kedua orangtuaku?"

Lelaki bermata hitam cemerlang itu menengadah ke langit dan mengehela napas. Lalu menatapku kembali. "Sebesar-besarnya. Lebih besar dari langit dan lautan yang kami lihat sekarang ini."

Aku bergumam. "Kau ingat, bulan lalu pernah disuruh keluar dari rumah oleh Ayahku?" Dalam waktu beberapa detik aku tertunduk. "Orangtuaku sulit untuk diluluhkan kembali."

Ia memegang kedua pundakku seolah ada energi yang ia kirim ke tubuhku. "Itu tantangan untukku. Aku terpacu untuk membuktikan cintaku padamu. Orangtuamu bukan melarang aku untuk memilikimu, Adeline. Mereka hanya butuh pembuktian bahwa aku benar-benar akan menjagamu."

Aku tidak sengaja berdecak kepadanya. Pandanganku terasa kosong melihat wajahnya yang sedang serius. "Bagaimana kau bisa seyakin itu?"

"Kau tak perlu memikirkan itu. Aku akan buktikan pada mereka dan biar aku yang bergelut dengan usahaku sendiri." Ia berhenti sejenak. "Kau harus percaya bahwa aku mencintai kamu sepenuh hati."

"Iya, lalu?"

"Aku akan datang ke rumahmu lagi dan memberikan bukti yang lebih kuat kepada mereka agar luluh menyetujui hubungan kita."

Ia menempelkan dahinya di dahiku. Napasnya yang hangat memisahkan keraguan dalam hatiku. Desiran angin yang berhembus menyejukkan udara di sekelilingku. Di atas pasir putih keperakan ini ia berdiri tegap meyakinkan aku kalimat demi kalimat. "Aku ingin kita bagai bulan dan bintang yang selalu berdampingan. Aku tak mau kau menjadi matahari yang bersinar sendirian," lanjutnya dengan suara yang mengalun pelan.

Alunan ombak seakan terdengar bagai latar nyanyian paduan suara yang menciptakan harmoni indah di telinga. Ia mendekatkan bibirnya ke bibirku. Kepalanya dimiringkan agak ke kanan dan maju perlahan-lahan. Daguku dinaikkan sedikit oleh jari telunjuknya. Kemudian, pipi kananku dielus mesra dengan jempolnya. Aku menutup mata dan dengan lembut ia mengecup bibirku yang ranum delima.

Beberapa saat kemudian, ia melepaskan kecupan ini. Aku sedikit tertunduk malu, sementara pipiku menampakkan warna merah jambu. Ia meminta aku membalikkan badan. Tentu aku tidak menolak karena sedang tenggelam dalam kesenangan. Baru saja membalikkan badan, aku terlonjak kaget melihat teman-teman Pablo berdiri membentangkan kain putih panjang bertuliskan: QUIERES CASARTE CONMINGO?[5]

Aku terdiam seribu bahasa. Bibirku seakan membeku sehabis dibekukan dengan kejutan terindah selama hidupku. Teman-temannya pun menampakkan senyum bahagia membentangkan kain putih itu.

"Me haces feliz[6]," ucapku tersenyum bahagia menatap kekasihku. Kedua kakiku seakan lemas dikejutkan dengan kejutan ini. Air mata tak dapat kutahan hingga membasahi pipiku. Aku tersedu-sedu.

Di bawah langit senja, rambut cokelat mudanya tampak berkilau. Senyumnya tampak lebih indah dari yang biasa. Desiran angin sejuk itu muncul kembali melayangkan harum tubuhnya ke arahku.

Ia menyelipkan sejumput rambutku yang jatuh di kening ke telinga kiri. Kemudian melingkari jari manisku dengan cincin pertunangan. Lantas aku memeluknya erat-erat. Di bawah langit senja ini jadi sejuk dan hangat.

"Te amo[7]," katanya, terdengar di telinga kiriku. "Aku akan buat orangtuamu luluh dan aku berjanji tidak akan menyakitimu. Aku pasti menjagamu. Kau percaya padaku?"

Aku mengangguk-angguk. Di atas bahunya aku menangis. Air mata seakan seperti aliran air yang mengucur dari keran yang dibuka. Aku terhanyut dalam suasana romantis yang diraciknya ini. Sekarang aku sangat yakin dengannya bahwa ia adalah lelaki yang lebih baik dari kekasihku sebelumnya. Kepercayaan itu kutanamkan padanya agar kita sama-sama berjuang untuk cinta yang sedang diukir ini.

Decitan burung mulai terdengar menghiasi telingaku. Aku menengadah ke atas dan aku melihat burung-burung hitam mungil terbang di langit mencicit manja seolah berkata kepadaku, "Cieee.. Selamat yaa.."

Reflek aku tersenyum ke burung-burung itu sembari mengahapus air mata yang berlinang di pipi ranumku.


[1] "Selamat sore. Selamat datang!" - dalam bahasa Spanyol
[2] Menu - dalam bahasa Spanyol
[3] "Silakan" - dalam bahasa Spanyol
[4] "Terima kasih" - dalam bahasa Spanyol
[5] Maukah kau menikah denganku? - dalam bahasa Spanyol
[6] Kau membuatku bahagia - dalam bahasa Spanyol
[7] "Aku cinta kamu" - dalam bahasa Spanyol

2 komentar:

  1. Keren banget.. Ada bahasa Spanyolnya.. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Beby. Iya, nulis sambil ngulik bahasa Spanyol, hhe.

      Hapus