Mitos Ruang Rahasia

Ilustrasi - Sumber: @RyAzzura
Untuk mengikuti #RabuMenulis dari editor-editor Gagas Media. Ditulis dalam waktu 15 menit.

Tiga orang akhirnya memutuskan mengikuti ajakan Rowan untuk melihat ruang rahasia. Ruangan itu berada di lantai empat sekolah, tepatnya di atas langit-langit kamar mandi pria nomor lima. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa sekolah ini memiliki cerita yang kelam, sebab beberapa murid mati di sana secara misterius. 

Dengan yakin Rowan merayu mereka untuk membuktikan bahwa ruangan itu benar-benar ada dan ia tahu letaknya. Wildy, Rio, dan Made mengekor di belakang Rowan. Mereka naik ke langit-langit salah satu kamar mandi pria.

"Apakah benar tempatnya di sini?" tanya Wildy nada suaranya bergetar, persis dengan decak tapak kakinya yang melangkah menaiki anak tangga satu persatu. Ketiganya baru tahu di atap sekolah terdapat tangga yang menghubungkan mereka dengan satu ruangan rahasia.

"Aku baru tahu ada tempat seperti ini di sekolah," komentar Rio seusai mengedarkan pandangan ke anak tangga di belakangnya.

"Aku tidak percaya..."

Langkah kaki Rowan berhenti dan ia membalikkan badan. "Kalian cerewet sekali!" kata Rowan menyetop ucapan Made. "Lebih baik kalian diam dulu!"

Ketiganya menunduk dan kembali berjalan.

***

Saat Rowan membuka pintu, desiran udara bercampur bau amis tercium mengelus hidung keempatnya. Wildy, Rio, dan Made mengernyitkan hidung, sedangkan Rowan terlihat biasa saja seolah aroma ini sudah biasa ia cium.

Di dalam ruangan bercahaya redup ini samar-samar memerlihatkan permukaan lantai yang terbuat dari kayu vinyl. Di empat sudut langit-langitnya ada gulali membentuk jaring dengan laba-laba kecil yang menempel. Kesan usang ruangan ini semakin terlihat dari meja kayu dan sofa khas desain klasik eropa yang berdebu.

Rowan berdiri di tengah ruangan sambil menyilakan kedua tangan di dada, sedangkan tiga temannya berkeliling melihat-melihat ruang lain.

"Aku menemukan dapur!" kata Wildy bersuara lantang. "Piring, gelas, dan mangkuk sama sekali tidak ada yang berdebu. Siapa yang membersihkannya ya?"

"Waw!" ucap Rio. Suara tekanan kasur yang berulang-ulang terdengar hingga ke telinga Rowan. Ia sedang lompat-lompat di sana. "Kasur ini empuk sekali!"

"Di sini ada apa ya?" Made berhati-hati membuka pintu. Saat baru satu langkah maju, kakinya tidak sengaja menendang sebuah sepatu hijau dongker berukuran empat puluh. "Ups!"

Rowan menyunggingkan bibir melihat Made terkejut dengan dahi mengernyit.

"Aku menemukan satu sepatu!" Made terperanjat sambil mengambil sepatu itu. Aroma  bau darah yang membusuk membuat sepatu itu lepas dari genggaman dan menggelutuk di permukaan kayu. "Intu kan sepatu milik..."

Leher Made seketika dicengkram dari belakang oleh Rowan. "Hei, lepaskan! Apa-apaan ini?"

"Jangan ada yang bergerak!" Rowan memerintah. Wildy dan Rio langsung mematung.

"Kalian masih tidak percaya dengan kematian misterius Yona?" mata Rowan berubah memerah dan gigi taringnya memanjang. "Kematian itu bukan mitos, tapi nyata."

Wildy memeluk Rio dari belakang menyembunyikan tubuhnya di punggung lelaki itu.

"Lepaskan!" Made meronta-ronta.

Ia mencoba melepaskan genggaman tangan yang seakan membuat nyawanya ada di ambang tenggorokan, namun Rowan mengencangkan cengkramannya.

"Jangan bunuh dia!" teriak Rio akhirnya berhasil melawan rasa takutnya.

Rowan tersenyum tipis. "Aku hanya butuh darah!"

Made meludah ke permukaan lantai dengan keras. "Jadi ini yang namanya teman?"

"Rowan," sahut Wildy bersuara halus. Ia melangkah maju hingga terpaut dua langkah di hadapan lelaki berambut klimis itu. "Jangan bunuh dia. Kau boleh ambil nyawaku."

"Kau baik sekali manis," balas Rowan dengan alis kanan yang dinaikkan. Senyum tipisnya kembali terlihat, kini lebih menggoda Wildy untuk menyerahkan dirinya secepat mungkin. "Pasti darahmu lebih segar dari bocah ini!"

"Jangan banyak basa-basi! Lepaskan dia!"

Rowan melepaskan cengkramannya dari leher Made, namun sekarang Wildy di ambang kematian. Lelaki itu mendekatkan gigi taringnya ke leher Wildy. Tiga centi lagi giginya akan menusuk lemahnya kulit manusia, namun keempatnya mendengar ada jejak langkah yang sedang menaikki tangga ke ruangan ini.

"Hei! Kalian di sini?" tanya Loew, kepala sekolah Diena School. Ia berpakaian formal, tetapi sepatunya diganti dengan sandal murah yang dijual di warung-warung. "Pintar ya kalian sedang membersihkan ruangan ini." 

"Jangan memuji kami seperti itu, Pak. Sudah sepantasnya murid-murid di sini menjaga kebersihan," kata Wildy sambil mengelap meja.

Rio dan Made hanya mengangguk-angguk sambil menyapu.

"Ah, ruangan ini bukan ruang rahasia lagi untuk kalian," kata Loew sambil mengedarkan pandangan. "Saya pastikan nanti nilai UAS kalian akan dinaikkan pulus satu poin. Anggap saja sebagai tanda terima kasih dariku karena kalian sudah suka rela membersihan ruangan ini."

"Terima kasih, Pak," balas Rowan tersenyum sumeringah.

Loew mengernyit. Ia meraih sepatu usang yang ada di bawah kolong bangku di sudut kanan ruangan.

"Sepertinya aku pernah melihat sepatu ini di..."

Seketika mata Rowan memerah kembali dan gigi taringnya memanjang.

"AAAAAA!"

Wildy, Rio, dan Made berhasil melarikan diri. Mereka berlari ke ruang guru untuk memberitahu kabar. Saat sudah berada di hadapan belasan guru yang sedang duduk di bangku, Wildy mulai bicara. Air matanya pun tumpah.

"Ami meia auau!"

Seluruh guru mengernyit tidak mengerti bahawa yang diucapkan Wildy.

"Auau iuunu!" tambah Rio sambil menunjuk-nunjuk ke arah lokasi kamar mandi.

"Eaya ai auau iuunu!"

Sayang, mereka bertiga gagu permanen.

7 komentar:

  1. Sian amat akhirnya gagu permanen.......

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Bukan, karena melihat Rowan membunuh kepala sekolah. Rowan membuat tiga temannya gagu agar tidak bisa melaporkan dirinya yang membunuh :)

      Hapus
  3. Gagu permanen??? Kasian amat, yak.

    BalasHapus
  4. Si Rowan jahat banget.. :( Tapi kan temen-temen lainnya bisa nulis aja. Meskipun rasanya kalah cepet sih ketimbang ngomong langsung :'

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, biasanya kalau tergesa-gesa bisa bikin hal yang sederhana nggak kepikiran.

      Hapus