Ilustrasi: skimbacolifestyle.com
Cerpen ini untuk mengikuti tantangan #FragmenKemarau dari @KampusFiksi
Setiap
pagi Luna menjelma menjadi jam beker yang berdering “bip-bip!”, selalu
membangunkan aku pukul enam lewat dua menit. Katanya, enam adalah urutan bulan
lahir, sedangkan dua merupakan waktu dini hari Luna dilahirkan. Filosofi yang
sedikit rumit bagiku.
“Bangun
kebo!” Suara nyaring Luna bak menyentuh digit hertz[1] tertinggi.
Gendang telingaku rasanya mau meledak.
[1] Satuan
getaran. Frekuensi suara yang dapat didengar manusia adalah sekitar
20 Hz sampai 20.000 Hz
“Bisa
nggak sih jangan teriak?” tanyaku menelan emosi.
"Iya,
maaf. Udah kebiasaan sih." Luna terkekeh di sana seakan tidak ada rasa bersalah.
“Lain
kali suaranya yang romantis dong. Kan lebih enak didengar.”
“Lho,
memang aku siapa kamu? Pacar saja bukan, malah minta dibangunin dengan suara
yang romantis.”
“Oke, fine!”
aku menyeringai. Bila sudah begini, rasanya ingin segera mencari alasan agar
aku dapat menyudahi percakapan konyol ini. “Sana mandi, bau tau!”
“Eh,
Yan tunggu sebentar,” embusan kencang dan suara benturan
sendok dengan cangkir berkali-kali terdengar di telingaku. “Mau kopi nggak?”
“Enggak
ah, takut sakit perut. Udah sana mandi, bau tau!”
“Sok
tahu ih. Kopi tuh bisa meningkatkan performa tubuh. Kamu nggak tahu kan?” Luna
diam sejenak, mungkin sedang menyesap kopi. “Aku udah mandi sejak subuh. Udah
wangi dan cantik. Kamu sana yang mandi, bau tau!
Tuut... Tuut... Tuut...
Kenapa
jadi dia yang menutup teleponnya? Sialan.
***
Seperti
biasa, setiap seminggu empat kali Luna mengajak aku main ke rumahnya. Seperti
biasa pula kami mengobrol, bercanda, dan tertawa bersama. Seakan dunia ini
asyik untuk kami nikmati berdua.
“Gimana
kalau kita nonton film yang ini?” melalui ponsel, aku menunjuk ke salah satu
judul film yang tengah menjadi buah bibir banyak orang.
“Nggak
mau. Aku kan sukanya film horror.”
Ingin
sekali rasanya aku mengambil ranting untuk mengancam sekaligus
menyadari otaknya bahwa perempuan secantik dia kurang pantas mencintai
film horror. Bahkan, bila menjadi ibu kandungnya, aku bersumpah tidak
akan memberikannya uang untuk menonton film favoritnya itu.
“Kalau
begitu kita nongkrong di kafe.” Sengaja tidak kuakhiri dengan tanda tanya agar
Luna tidak dapat menolak keinginanku.
“Kamu
mengidap amnesia?” Bak seorang dokter anak, Luna menempelkan punggung telapak
tangannya ke keningku. “Kamu udah gila ya? Aku tidak akan melangkah keluar
rumah. Apapun alasannya, aku tidak suka dengan sengat panas matahari.”
Spontan
tawaku menyembur. “Kita jadi teman dekat sudah tiga tahun lho, tapi kenapa ya
aku susah sekali mengajak kamu keluar rumah di bulan April, Mei, Juni…”
“Juli,
Agustus dan September,” Luna menimpal santai. “Memang kamu mau punya pacar
berkulit kusam tidak terawat?"
Bodoh,
aku nyaris mengangguk.
Hening.
Selagi
tidak ada bahan obrolan, kupandangi wajah Luna yang sedang diolesi krim khusus
kecantikan. Krim branded yang hanya dimiliki orang-orang
berdompet tebal. Luna menatapku heran. “Kenapa?” Sekarang wajah Luna sudah
terbalut krim berwarna putih susu. “Aku jelek ya?”
“Kamu
itu cantik, tapi jutek, galak, dan nggak romantis," gumamku sembari
menahan tawa. "Pantesan aja nggak punya pacar.”
Aku tak
kuasa menahan tawa hingga terbahak, sedangkan Luna beranjak dari sofa kemudian
menaiki anak tangga tanpa melepaskan satu pandangan ke arahku. “Nggak lucu.
Udah ah, aku mau tidur! Aku nggak napsu lagi ngobrol sama kamu.”
Hingga dua jam kutunggu, Luna tak kunjung keluar dari kamarnya.
***
Minggu
demi minggu berlalu. Bulan demi bulan pula aku dan Luna tetap tidak pernah main
ke mall, bioskop, bahkan kafe. Yang paling menyakitkan, semenjak
kejadian Luna marah padaku, aku hilang kontak dengan Luna. Apapun itu, kontak
fisik maupun komunikasi.
Kedua
mataku seakan telah berganti fungsi, yang tadinya selalu melihat wajah Luna
menjadi rajin menatap layar komputer. Jari jemariku pun begitu, yang sebelumnya
rajin mengetik kalimat demi kalimat untuk Luna, kini berubah dipenuhi SMS dari
atasan.
Semenjak
menjadi karyawan swasta, aku jadi sibuk di kantor hingga tidak ada waktu
bertemu dengan Luna. Beberapa
kali aku hanya dapat melihat Luna melalui akun Path miliknya. Kali ini, aku
kembali mengulangi hal yang sama. Baru saja melihat beberapa status, betapa
terkejut ketika aku melihat banyaknya status Luna berdua bersama lelaki bernama
Angga di rumahnya.
Di saat
sedang getolnya mencari tahu tentang Luna, tiba-tiba ponselku didatangkan
panggilan darinya. Panggilan pertama tidak kuangkat. Kedua pun begitu.
Akhirnya, matahari dalam mataku padam, aku mengangkat panggilan yang kelima.
“Heh
kebo!" Momen itu terulang. Luna belum berubah, sahutannya kali ini berhasil membuat gendang
telingaku terhantam resonansi[2]. " Ke mana aja sih? Kita sama-sama tinggal di Bogor, tapi nggak pernah ketemu!”
[2]
Peristiwa ikut bergetarnya suatu benda karena ada benda lain yang bergetar dan
memiliki frekuensi yang sama
“Hei,
seharusnya aku yang bertanya seperti itu,” keluhku sambil menggaruk telinga.
Doni,
rekan kerja di sebelahku menatapku memberi isyarat melalui wajahnya, seakan
berkata: kalau mau teleponan di luar aja! Tanpa basa-basi aku segera keluar
dari ruangan. "Sorry ya," kataku kepadanya.
Setibanya
di ruang istirahat, aku melanjutkan, “kenapa chat Line aku
cuma kamu read?”
“Aku nggak
mau ngebahas itu,” Luna memelas.
“Lalu
apa?” aku mulai muak mendengar ucapannya. “Kamu mau cerita tentang bahagianya
jatuh cinta sama Angga? Aku sudah tahu, jadi kamu nggak perlu cerita lagi.”
“Kok
kamu gitu sama aku?”
Retina
mataku terpedaya fatamorgana[3], seolah wajah
Luna membayang di kaca. Seakan aku dapat mengikhlaskannya. “Apapun itu, selamat
ya. Semoga semua baik-baik saja.”
[3]
Fenomena optik yang terjadi karena pembiasan cahaya melalui kepadatan udara
yang berbeda, sehingga membuat sesuatu yang tidak ada menjadi (seolah) ada
Tuut…
tuut… tuut…
"Halo?"
Selalu
saja sesuka hati menutup telepon. Kebiasaan.
***
Dua
minggu kemudian, pukul satu siang aku memanjakan diri ke bioskop untuk menonton
film ber-genre romance. Lima bulan tidak menonton film yang
romantis rasanya hidupku tawar, tidak ada manis-manisnya.
Aku
duduk di kursi B6, kursi yang selalu kupilih setiap kali menonton film di
bioskop. Semoga film ini dapat meleburkan bayang-bayang Luna dari pikiranku,
meski hanya ditemani camilan pop corn.
Tidak
terasa waktu berjalan dengan begitu cepat. Film sudah selesai dan aku menjadi
orang terakhir yang keluar dari studio empat. Ternyata, nonton film romantis
sendirian itu tidak seru.
Belum sampai di ambang pintu keluar, aku melihat seorang perempuan yang kukenal.
Perempuan itu mengenakkan baju hitam dibaluti kardigan merah jambu dan celana
jeans pendek sepaha. Rambutnya yang hitam kecoklatan sepunggung, berkulit putih
bersih, dan berbadan langsing, cukup membuatnya semakin bersinar dari apapun
yang mengelilinginya. Perempuan itu adalah Luna.
Bertemu kembali dengan seseorang yang
sempat disukai sungguh menyuguhkan tantangan: aku harus berkata apa dan
melakukan apa?
“Kamu
ngapain di sini?” itulah pertanyaan pertamaku. "Ini kan masih musim panas,
mustahil banget kamu keluar rumah."
Luna mengacuhkan ucapanku, kemudian meraih
tanganku. “Enggak enak ngobrol di sini. Kita ke kafe aja yuk di lantai dua.”
Asap
dan aroma memikat dari hot coffee latte dan hot chocolate menyembul mesra mengelus hidungku. Obrolan kami jadi hangat dan bersahabat.
Ternyata, Luna tidak menerima cinta Angga hanya demi menjaga perasaanku.
"Aku tadi naik ojeg pakai jaket, masker, dan kaca mata." Luna memperlihatkan isi ranselnya. "Ini pertama
kalinya aku keluar rumah di musim panas. Demi bertemu cowok gila kayak kamu."
Aku
beranjak dari tempat duduk lalu merangkul Luna dari belakang. Aku berusaha
tetap membuatnya nyaman meski dia sempat meronta dan meminta dilepaskan. Luna
memilih menyerah.
"Kamu tahu nggak,
ternyata ada sesuatu yang lebih penting dari cinta?”
Luna
menggeleng pelan, “apa itu?”
“Hujan.
Aku ingin menjadi kota hujan yang selalu merindukan hujan,” bisikku lembut.
"Janji ya padaku, jangan jadi kemarau yang berkepanjangan lagi?”
happy ending :')
BalasHapus