Sumber: google.com
Cerpen ini untuk mengikuti tantangan menulis #TantanganPersonifikasi dari @KampusFiksi
“Lihat! Ada yang duduk di sana!”
“Ya Tuhan, mereka beruntung sekali. Semoga
mereka berjodoh. Mari kita doakan.”
Bukan. Itu bukan percakapan dua orang broker
cinta. Mereka adalah teman dekat orang tuaku bernama Meranti dan Beringin. Dua sejoli
yang berubah menjadi pohon. Kini, mereka dikenal banyak orang dengan sebutan
Pohon Jodoh.
Mungkin, di kepala kalian mulai bermunculan
berbagai pertanyaan. Mengapa mereka menjadi pohon? Sejujurnya aku tidak ingin
bercerita, tapi sudah cukup selama 149 tahun rahasia itu tertutup
rapat. Sekarang waktu yang tepat agar semua orang tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Beginilah kisahnya.
Di suatu senja, derasnya
hujan tanpa ampun memukul kepala Meranti dan Beringin. Keduanya basah kuyup berlarian mencari tempat berteduh. Mungkin Dewi Fortuna sedang memihak mereka, Meranti
melihat payung tergeletak di tanah. Tanpa berpikir panjang,
Meranti mempersilakan Beringin menggunakan payung itu. Payung yang hanya cukup
meneduhkan satu orang saja.
“Cewek jahat membiarkan cowoknya kehujanan!”
sahut seorang perempuan yang kebetulan sedang berdiri di hadapan mereka.
“Iya, cewek tidak tahu diri!” ujar kekasihnya.
“Aku sih tidak ingin punya cewek kayak dia! Dasar cewek tidak punya hati!”
Ucapan sepasang
kekasih tadi membuat pintu hati Beringin terketuk. Tanpa berpikir panjang, Beringin meraih
tangan Meranti kemudian memberikan payung itu kepadanya. Meranti diam seribu
bahasa. Kakinya terpaku dengan apa yang dilakukan Beringin. Di sisi lain, Beringin
terlihat menggigil kedinginan seraya memeluk tubuhnya sendiri.
“Ih cowok kurang ajar membiarkan ceweknya
kedinginan!” geram seorang perempuan.
“Cowok bodoh! Tidak punya otak!” kekasihnya
melanjutkan, kemudian mereka pergi.
Meranti sekejap terdiam, merenungi apa yang
diucapkan orang-orang. Semua pilihan mereka seakan salah. Bak melihat pesawat
tempur di atas kepala, Meranti segera menarik Beringin berteduh di bawah
naungan payung. Meski tubuhnya tetap kebasahan, Meranti berusaha melindungi kepala
Beringin agar tidak terkena hujan. Meranti mulai merasakan tubuh Beringin
bergetar bak mesin motor tua yang sudah lama tidak dinyalakan. Sigap Meranti memeluk Beringin ketika petir
riang bernyayi di langit.
“Maafkan aku yang sudah membiarkanmu kehujanan.”
“Jangan khawatir, aku tidak akan apa-apa,”
balas Beringin seraya tersenyum kecil. Senyuman palsu yang bertujuan tidak
ingin membuat sang kekasih terlalu memikirkannya.
Teramat sayang, bulan
terlalu dini membuka mata. Senja berganti malam. Hujan masih
saja melahap keduanya. Saat jenuh itu datang, Meranti tidak tinggal diam.
Meranti menuntun Beringin menuju tempat duduk yang berjarak sekitar seratus lima
puluh meter. Sebenarnya Meranti khawatir Beringin jatuh sakit karena tahu
kekasihnya itu tidak pernah kehujanan. Beringin pasti benci air hujan, batinnya.
“Kita duduk di sini ya.”
Beringin mengangguk pelan.
Meranti melihat bola mata Beringin mulai layu.
Tubuhnya masih bergetar. Kekhawatiran itu semakin meluap ketika Beringin mulai
batuk-batuk.
“Kau tahu kenapa selama ini aku tidak pernah
kehujanan?” tanya beringin seraya menidurkan kepalanya di bahu kanan Meranti.
“Karena datangnya bergerombolan?” canda
Meranti. Canda yang ternyata berhasil membuat bibir merah jambu Beringin
mengembang.
“Di saat seperti ini masih saja ya kau
membuatku tertawa.” Beringin membenarkan posisi duduknya yang lebih nyaman,
kemudian keduanya saling bergenggaman tangan. “Aku tidak pernah kehujanan
karena bila terkena air hujan aku pasti tertidur dan orang yang disebelahku pun
ikut tertidur.”
Mungkin karena terdengar lucu, Meranti sampai tidak
kuasa menahan tawa. “Ah, tidak akan. Sekarang pasti kamu sedang mengantuk. Iya
kan?”
Beringin mengangguk pelan lagi.
Meranti membiarkan Beringin tertidur. Beberapa
saat kemudian, tanpa sadar Meranti ikut tertidur.
***
“Meranti. Kakek yang sering duduk sendirian itu siapa ya?”
“Oh, maaf aku lupa memberitahumu. Dia cucu dari
temanku. Dia sering menulis tentang kita lho, tapi sampai sekarang masih hidup
sendirian.”
“Begitu ya. Semoga dia segera ditemukan
jodohnya.”
Sial. Aku merasa terhina.
0 komentar: