Ilustrasi - Sumber: google.com
Untuk mengikuti Lomba Menulis #FF2in1 dari Nulis Buku. Ditulis dalam waktu 30 menit
Di dalam gerai kopi ternama ini, aku mencoba menghibur Ellen. Ia sedang bersedih karena habis diberi harapan palsu oleh calon pacarnya. Sudah lima bulan ia menjalin hubungan dekat, namun berakhir dengan luka yang amat pekat.
Aku bertanya dengan hati-hati agar tidak membuka lukanya, 'Apa yang terjadi antara kamu dengan Toni?'.
'Ah, kamu ingin membuatku menangis ya?' balasnya agaknya ia memaksa untuk tersenyum. 'Ia berpaling dariku, Jom'.
'Mungkin dia bukan yang terbaik untukmu Ellen' aku melemparkan senyum padanya.
Ia hanya mengangguk. Matanya tetap menatap ke luar kaca.
'Kamu lihat sebuah kenangan di sana, Jom?' ia bertanya, kemudian menyeruput hot coffee.
'Aku tak lihat apa-apa. Memang ada apa?'.
'Di pedestrian itulah tempat dia mengikrar janji kepadaku akan memacariku'.
'Oh ya?'.
'Iya'. Ia berhenti bicara sejenak. 'Tapi di situ pula ia mendustakan janjinya'.
Sudah lima hari belakangan ini, Ellen terlihat murung. Berkali-kali aku melihat ia masuk ke gerai kopi ini. Ia adalah wanita yang menyukai kopi. Bahkan, ia pernah mengaku bahwa cukup dengan satu cangkir kopi pikiran ia dapat tenang seketika. Ya, aku melihat ekspresi dia berubah seusai menyeruput kopi yang ke lima kalinya. Ia terlihat lebih rileks.
'Jadi kamu mau mengorek masa laluku?' tanya dia dengan balutan sedikit tawa tersimpul di bibirnya.
'Tidak Ellen' jawabku. 'Aku hanya ingin engaku tak terlalu memikirkannya, karena ia sama sekali tak memikirkanmu'.
Ia tertawa. 'Itu sudah biasa kok'.
'Maksudmu?'.
'Bukankah wanita sudah terbiasa seperti itu? Memikirkan seseorang yang sama sekali tak memikirkannya'.
Entah wanita berambut cokelat muda dan penyuka kopi ini hatinya terbuat dari apa, ia tahan banting. Lebih tepatnya, tahan sakit hati.
'Ellen..' sahutku memecahkan lamunannya melihat ke luar.
'Ya?'.
'Kamu tahu tidak ada seorang lelaki yang mencintaimu?' tanyaku malu-malu.
'Hmm.. Tidak. Kenapa?'. Ia berpangku dagu.
'Kamu sadar tidak sih ada aku yang mencintai kamu?'.
'Tidak sama sekali'.
'Kenapa tidak sadar?' suaraku meninggi.
'Karena kamu tidak bilang cinta'.
'Se-simple itu?'.
Ia mengangguk, kemudian menyeruput kopi.
'Lalu kapan kamu bisa melupakan Toni?'.
'Secepatnya'.
Dahiku mengernyit. 'Sampai kapan?'.
'Sampai ada lelaki yang berhasil mengambil hatiku'.
Aku tersenyum. 'Aku akan tetap menunggu kamu Ellen'. Ku raih tangan kanannya dan kukecup. Ku harap ia mengerti arti menunggu yang aku ucapkan untuk secepatnya mengambil hatinya.
'Kamu mau menunggu aku berapa lama?' tanya dia, tersimpul senyum manisnya.
'Walau seribu tahun lamanya' aku pun tersenyum. Kemudian sama-sama menyeruput hot coffee penghilang hawa dingin. Sama dinginnya seperti hati kami berdua tanpa saling cinta.