Sumber: google.com
Anak perempuan berumur delapan tahun itu selalu menyempatkan waktu duduk di balik jendela sambil menatap bulan dan bintang setiap malam. Sedari lahir di dunia, ia sama sekali belum merasakan hangatnya pelukan seorang Ayah. Bahkan, ketika lahir, yang mengalunkan adzan di telinganya adalah kakeknya. Sampai detik ini ia sama sekali belum tahu Ayahnya dimana.
Pada suatu malam, pukul delapan, sang Bunda sudah tertidur pulas karena lelah sehabis bekerja. Sekarang yang menemaninya hanyalah sebuah buku dongeng yang ia pangku. Buku itu pemberian sang Bunda ketika ia berulang tahun yang ke enam. Lembar demi lembar ia baca. Sesekali tersenyum dan tertawa membaca tulisan yang diselingi pula dengan gambar-gambar lucu di setiap judulnya. Hingga memasuki halaman yang ketiga puluh delapan, ia menemukan secarik kertas kecil bertuliskan, matahari tetap ada untukmu. Karena tidak mengerti apa maksudnya, maka kertas itu ia asingkan dari pikirannya. Ia lanjut membaca.
Velica tidak tahu bahwa Ayahnya sudah tiada. Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan beruntun di malam hari. Mobilnya ringsek diterjang bus besar dari arah belakang. Ayahnya meninggal di tempat dengan posisi terjepit dashboard mobil dan muka bus. Sayang, Bundanya berpikir, sekarang belumlah waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya. Sesekali anak kecil itu hanya bisa mengkhayal seperti apa sosok sang Ayah ketika dihadapkan dengan kemilau bintang-bintang.
Setahu anak itu, Ayahnya adalah mataharinya. Itupun diberitahu oleh sang Bunda. Ia selalu dicekoki kata-kata itu: Ayahmu mataharimu.
Velica berhenti membaca, kemudian menatap bulan dan bintang. Berkas sinar-sinar bintang di langit seolah membentuk miniatur wajah seorang lelaki. Ia berkhayal, itu adalah wajah Ayahnya. Bibirnya mengembang, tersenyum. Ayah, aku rindu, ucapnya dalam hati.
Tak berapa lama kemudian, ia menutup buku dongeng. Ia meraih selimut yang tersimpan rapi di pinggir kasur. Lalu menarik selimut biru muda itu hingga menutup sampai ke leher sang Bunda, juga lehernya. Ia tidur dengan nyenyak.
---
Keesokannya, di hari minggu pagi, sang Bunda mengajak Velica jogging di taman. Anak perempuan itu menikmati olahraga ringan ini. Sampai lima belas menit berlalu, sama sekali tak tampak raut lelah di wajahnya meski sudah mulai bercucuran keringat.
'Sayang, kamu ingin istirahat?' tanya sang Bunda saat menyadari anaknya mulai menyeka keringat beberapa kali.
'Iya Bunda' balas anak itu sambil tersenyum.
Mereka berdua duduk di bangku taman yang kebetulan baru saja ditinggal oleh sepasang kekasih. Sang Bunda mengambil botol minuman hangat dari tas kecil yang ia bawa. 'Ini minum sayang, kamu pasti haus'.
'Makasih Bunda'. Velica meneguk minuman itu. Kakinya diayun-ayunkan tak menyentuh tanah. Napasnya mulai terdengar terengah-engah.
Selagi sang Bunda menyeka keringat dan mengatur napasnya, anak itu memerhatikan orang-orang di sekelilingnya yang sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ia menyaring pandangan di matanya, tertuju pada beberapa orang yang terlihat berpasangan.
'Bunda' sahut anak itu seraya menutup botol dan menaruh di samping kanannya.
'Iya sayang?'.
'Kenapa mereka semua berdua, tapi Bunda sendiri?' tanya anak itu sembari menunjuk-nunjuk ke beberapa orang yang ia maksud.
'Bunda tidak sendiri sayang. Bunda kan ditemani kamu' balasnya, tersenyum sembari mengelus rambut sang anak.
'Tapi Bun' kata-katanya terhenti. Anak itu menampakkan bibir yang dimajukan sedikit. Agak cemberut. 'Mereka yang satu perempuan dan yang satunya lagi laki-laki. Mereka ada yang menemani, tapi Bunda kok sendiri?'.
Sang Bunda termangu. Tatapan matanya kosong. Pandangan matanya mulai tak fokus lirik kanan-kiri bermaksud mencoba meleburkan kesedihan yang perlahan mulai datang.
'Bunda' sahut anak itu sembari menepuk paha kanannya beberapa kali dengan lembut. Tepukan itu memecahkan lamunan sang Bunda. 'Ayah dimana?'.
Sang Bunda berpikir cepat untuk mencari jawaban yang tepat. Ia menengadah ke atas. 'Nah' ia menunjuk ke arah matahari memakai telunjuknya. 'Ayahmu mataharimu, sayang'. Sang Bunda selalu beralibi seperti itu.
Kedua mata anak itu memicing karena silau melihat matahari. 'Ayahku matahari?'. Tampak raut wajah kebingungan.
'Iya. Dia selalu ada menemani hari-harimu sayang'.
'Tapi kenapa dia tidak memeluk aku seperti orang-orang itu memeluk anaknya?' Velica menunjuk ke arah seorang Bapak yang sedang memeluk anaknya.
Kembali sang Bunda tertegun. Juga kembali berpikir cepat mencari jawaban yang tepat.
Ia bergumam. 'Karena cinta itu bukan hanya ditunjukkan dengan sebuah pelukan, sayang'.
'Lalu, kalau begitu apalagi Bun?'. Anak itu mengayun-ayunkan kakinya lagi pertanda tertarik membahas tentang Ayahnya.
Sang Bunda bimbang menjawabnya. Ia mengalihkan pikiran si anak dengan segera mengajak pulang ke rumah. Ia menggenggam tangan Velica dan sama-sama bangkit dari tempat duduk.
---
Sore harinya, ketika langit senja mengekspos keindahannya, sang Bunda mengajak anaknya duduk di beranda lantai dua rumah. Ia memangku sang anak sembari sesekali mengelus halus rambutnya. Sang Bunda mulai membuka buku dongeng, kemudian mulai membacakan cerita. Anak itu pun sesekali bertanya tentang tokoh utama mapun ending-nya.
Saat memasuki bab terakhir, sang Bunda menyebutkan judul, 'Ayahku Tercinta'.
'Ayah?' sontak anak itu menoleh ke arah sang Bunda. Tergemap mendengar kata 'ayah'.
Ia mendengus.
'Ayo Bun mulai ceritanya' pinta anak itu. 'Aku mau dengar'.
Sang Bunda mulai bercerita.
Bab terakhir ini menceritakan tentang kasih sayang seorang Ayah kepada anaknya. Di situ diceritakan, sang Ayah rela banting tulang demi menghidupi keluarga. Sang Ayah pun rela menghabiskan waktu untuk bekerja demi masa depan si anak.
'Ketika Ayahnya pulang ke rumah, Robi memeluknya erat' kata sang Bunda sedang bercerita.
'Bunda' sahut Velica, memberhentikan cerita.
'Iya sayang?' sang Bunda menoleh.
'Ayah kapan pulang ke rumah?'. Kalimat yang baru saja dibacakan sang Bunda ternyata berhasil mencuri perhatian anak itu.
'Nanti sayang, masih lama'. Kemudian sang Bunda menunjuk ke satu kalimat yang baru saja ia bacakan. 'Ayahmu sedang berkerja demi menghidupi Bunda dan kamu. Seperti dicerita ini'.
Anak itu menilik ke arah tulisan yang ditunjuk sang Bunda. Ia melihat sebuah gambar di atasnya, ada seorang anak bersama Bapak dan Ibunya. 'Tapi bukannya Bunda selalu bilang Ayahku adalah matahari?'. Ia menemukan keanehan.
'Iya sayang' sang Bunda tersenyum, bingung ingin menjawab apa.
Langit menggelap. Warna hitam mulai mengaburkan senja oranye-jingga yang indah tadi. Bintang-bintang bermunculan dan bulan sudah menggantung di atas sana.
Anak perempuan itu menengadah ke langit. Melihat seisi angkasa. Ia bertanya, 'Bunda. Sekarang matahari sudah tiada. Apa artinya sekarang Ayah juga sudah tiada?'.
Sejujurnya sang Bunda ingin menjawab 'iya' karena ini adalah pertanyaan yang sangat tepat untuk dijawab seperti itu. Namun, lagi-lagi ia urungkan karena menurutnya belum waktunya. Di lubuk hatinya, ia hanya takut anak semata wayangnya itu menangis dan depresi bila tahu Ayahnya sudah meninggal.
'Ayahmu ada, sayang' jawab sang Bunda, seperti biasa dengan menampakkan simpul senyum manisnya. Tujuannya untuk meyakinkan sang anak.
Velica terus menatap langit, memerhatikan bintang-bintang yang bergelipan menghiasi seisi pandangan matanya. 'Bunda. Lihat itu deh' ia menunjuk ke arah langit.
Sang Bunda memandangi apa yang ditunjuk anaknya.
'Bunda selalu bilang, Ayahku adalah matahari'.
'Iya' balasnya mengangguk.
Kedua bola mata anak perempuan itu semakin tajam menatap langit. Ia berkata, 'Bunda, berarti Allah menciptakan aku untuk menemani Bunda ya?'
'Iya' sang Bunda tersenyum.
'Tapi...' Velica berhenti bicara sejenak, matanya masih menatap langit.
'Tapi kenapa sayang?'.
'Allah menciptakan bintang untuk menemani bulan. Terus Allah menciptakan apa untuk menemani matahari?'.*)
Sang Bunda tak bisa menjawab. Membisu. Ia lebih memilih mencium kening sang anak dan merangkulnya erat. Semakin erat. Semakin sayang. Tak ingin kehilangan.
*Terinspirasi dari perkataan seorang anak bernama Oda dalam status di akun Facebook milik Ibunya, Wida S. Utomo (19/02/2015).