Sumber: google.com
Halo.
Sebelum bercerita, aku ingin minta maaf pada kalian karena menurutku 'halo' bukanlah kata pembuka yang memikat. Bila 'halo' adalah pekarangan rumah, aku tak akan masuk ke dalam sana karena terlihat biasa saja. Pun bila 'halo' adalah langit senja yang sedang memamerkan keanggunannya, aku tak akan menoleh ke atas. Maka itu, aku mohon maaf. Aku berharap kalian lanjut membaca ke paragraf selanjutnya, begitupun seterusnya hingga tuntas.
Pertama kali ingin mengetik, aku memandangi layar laptop pemilik tubuh ini penuh nanar. Aku gelisah memikirkan bagaimana cara menulis yang baik dan benar. Baik untuk kalian baca dan benar untuk aku tulis. Aku suka menulis, tapi bukanlah penulis andal. Maklum, aku hanya wanita, ralat, maksudku aku hanya ruh wanita yang sedang mencoba menyampaikan pesan kepada pacarku. Untuk mengetik saja tangan ini terasa sulit dikendalikan karena tangan ini bukanlah tanganku. Namun, aku berusaha menyampaikan pesan agar kalian semua tahu tentang pacarku yang kukenal baik dan romantis.
Oh iya, perkenalkan, namaku Sena. Bisakah kalian menerka aku seperti apa? Tinggi badanku 165 cm. Berkulit sawo matang, tetapi lebih putih sedikit dan rambutku pirang hitam sebahu. Sudahkah terbayang? Belum ya? Coba bayangkan wajah Emma Watson, pemain film Harry Potter. Kata teman-teman kampusku dulu, aku mirip wanita berzodiak Aries itu, hanya saja kulitku lebih sawo matang.
Sekarang jangan bayangkan wanita cantik itu. Kini, aku lebih mirip layaknya hantu Geisha dari Jepang. Namun, aku berkulit hitam kusam. Tanganku hanya satu saja di bagian kiri dan mataku bolong di sebelah kiri. Nanti kalian akan tahu mengapa aku berubah drastis seperti ini.
Kalian tidak perlu memicingkan kedua mata saat membaca ceritaku. Tidak perlu juga memastikan apakah di belakang kalian ada seseorang atau tidak. Sudah kubilang tidak usah menengok ke belakang. Percayalah, ini bukan cerita horror. Ini hanya curhatan ruh wanita yang sedang meminjam tubuh tetanggaku yang sedang terlelap tidur.
Jadi begini, Jodi adalah pacar pertamaku. Iya, dia cinta pertamaku. Pasti di antara kalian pernah merasakan cinta pertama, ya kan? Rasanya seperti melayang-layang di udara dan rebahan di permukaan awan sembari menatap angkasa yang biru cerah. Sungguh menyenangkan.
Pacarku seumuran denganku. Dua tahun yang lalu, umur aku dan dia sama-sama dua puluh satu. Sekarang aku bukan manusia, jadi tak memiliki umur. Kami memiliki beberapa kesamaan, yaitu suka menulis. Saat menyatakan cinta, pacarku memberikan secarik puisi hasil goresan tangannya sendiri. Kala itu, aku sama seperti kalian hanya wanita biasa yang seringkali hatinya meleleh bila diberi kata-kata indah. Ia bagaikan pujangga yang tak pernah kehabisan kalimat peruntuh hatiku. Romantis.
Tentu ia aku terima sebagai pacarku. Ia sering mengajaku ke pantai untuk melihat keindahan sunset. Petikan gitar yang ia mainkan dan alunan nada pita suara eloknya berhasil memikatku. Lantunan nyanyian ombak yang silih berganti dan sahutan burung yang terbang semakin membangun suasana romantis ini. Suasana yang ia tutup dengan merangkul, kemudian mengecup keningku.
Lelaki itu romantis, bukan? Maka tak aneh bila wanita sepertiku hatinya mudah runtuh.
---
Ketika hubungan kami menginjak satu tahun, pacarku mulai berubah. Pertama, ia menghasut diriku untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Bodohnya aku terjerumus. Kedua, ia mulai posesif. Ketiga, ia menggembok pergaulanku bersama teman-teman. Sungguh ini situasi yang sangat tidak nyaman bagiku. Bahkan, bukan hanya bagiku, juga bagi wanita yang lain.
Aku teringat ketika dalam sebuah pertemuan di kafe, kala itu, ia berkata, 'Sena, aku tidak akan meninggalkanmu'. Kami lebih banyak mengobrol tentang perasaan. Juga tentang berbagai perdebatan karena aku mulai tidak nyaman dengan dirinya yang sekarang.
'Tapi aku bisa saja meninggalkanmu bila kamu terus seperti ini' balasku.
'Maaf sayang. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi'.
Seingatku, itu adalah janji dia yang kesekian puluh kalinya dan sebanyak itu pula ia langgar. Lantas apa aku percaya dengan janjinya itu? Tentu tidak.
'Janji kamu sekarang sudah sulit aku percaya. Kamu sendiri yang menghancurkan kepercayaanku'.
Ia menggenggam tangan kananku. Memasang wajah yang sendu. Ini cara atraktif dia untuk meminta maaf yang juga kesekian puluh kalinya. 'Maafkan aku, Sena'.
Aku memang wanita bodoh, mudah disakiti, juga mudah memafkan. Ini keadaan yang pelik bagiku karena ingin meninggalkannya saja aku tak bisa. Pikiranku terlalu sempit, padahal ia bukanlah satu-satunya lelaki yang ada di dunia ini. Ahh, move on tidak mudah.
Dua bulan kemudian, ia mengajaku ke pantai lagi. Bila kalian bertanya apa yang ia lakukan? Sama seperti yang kuceritakan sebelumnya. Namun, bedanya, sekarang sudah terasa hambar. Biasa saja. Keadaan ini layaknya memandangi pelangi yang terhalang awan abu-abu. Juga seperti menyeruput teh manis, tapi tanpa gula. Sudah kubilang, rasanya hambar. Semacam itulah yang aku nikmati, bukan hanya ketika ia mengajaku ke pantai saja, tapi juga di setiap pertemuan.
Masuk ke bulan-bulan selanjutnya, ia mulai semakin berubah. Kali ini lebih cuek. Aku merasa ia menjadi baik dan romantis di satu waktu saja ketika ingin menguasai tubuhku. Hanya itu, sisanya cuek.
Satu kalimat pamungkas yang sering ia katakan sebelum menguasaiku adalah sayang, cinta saja tidak cukup untuk membuktikan semuanya.
---
Benar kan apa kataku, curhatan ini tak seram. Semoga sampai sekarang tidak ada kedipan lampu dan seseorangpun di belakang kalian. Pastikan semua aman. Aku hanya tidak ingin difitnah jadi biang keladi ketakutan kalian. Pemilik tubuh, tetanggaku ini juga masih tertidur pulas. Aku sangat leluasa memakai tubuhnya untuk menulis.
Di antara kalian mungkin ada yang mulai bertanya, kok kamu sudah meninggal?
Beruntung sekali, karena sehabis ini aku mau cerita tentang itu.
Saat menginjak hubungan yang ke dua tahun delapan bulan, aku merasa pacarku semakin sulit dikendalikan. Ia jadi lebih banyak menguasai tubuhku, juga sering marah-marah tidak jelas. Aku disangka selingkuh, padahal yang selingkuh adalah dia. Pernah di suatu malam pukul dua belas, ketika sedang di perjalanan pulang sehabis liburan di luar negeri, aku tak sengaja melihat pacarku masuk ke dalam club malam bersama teman sekelasku. Club bernama XX-ORT itu lokasinya tidak terlalu jauh dari rumahku. Selain menjadi tempat favorit para remaja berdisko ria, pada malam tertentu justru sering dijadikan tempat pergaulan bebas, termasuk malam minggu. Aku baru menyadari, ketika itu adalah malam minggu.
Aku tak tinggal diam, dengan sigap kuparkir mobil di parkiran XX-ORT. Jujur saja, hatiku panas. Aku adalah wanita bodoh bila membiarkan pacarku asik main hati dengan wanita lain. Ia seperti menyalakan bara api yang sedang mati. Emosiku terbawa hingga membanting pintu mobil ketika menutup. Aku melangkahkan kaki dengan cepat menuju pintu masuk.
Di depan pintu aku melihat ada dua penjaga club berbadan kekar memakai dresscode hitam-hitam, serta ID-Card yang dikalungkan di leher. Mereka menghalangiku masuk. Salah satu di antaranya bertanya, 'Khusus malam ini ada kartu membernya, mbak?'.
Aku reflek mencari di saku celana. 'Tidak ada' jawabku. Padahal memang tidak punya.
'Maaf, Anda tidak boleh masuk' balas penjaga yang satunya lagi. Suaranya lebih berat dari orang yang pertama.
'Tapi aku ingin masuk'.
'Maaf, tidak bisa'.
'Hei! Di dalam ada pacarku masuk bersama wanita lain. Kau mau biarkan mereka mesum?'. Aku mulai naik pitam.
'Itu bukan urusan kami'.
Salah satu di antara mereka mendekat, berbisik di kuping kananku, 'Malam ini adalah malam istimewa bagi member kami'.
Aku langsung berpikir malam ini merupakan malam yang bebas bagi semua member. Itu artinya, pacarku sedang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan. Mungkin, persis dengan apa yang sering ia lakukan kepadaku.
Hawa di luar semakin dingin, tapi tidak di tubuhku. Seakan aliran darahku semakin mengalir deras, jantungku beredegup cepat, dan detak nadiku menghitung seberapa detik lagi kesabaranku akan habis menghadapi semua ini.
'Aku ingin masuk!'.
'Tidak bisa!' keduanya membentak.
Lantas kulayangkan tendangan ke arah leher mereka berdua dan kubanting tubuhnya ke permukaan lantai dengan keras, kemudian kututup dengan hantaman pukulan tanpa ampun. Keduanya terkapar. Beruntung aku memiliki keahlian bela diri karate.
Aku masuk ke dalam.
Ya ampun bau alkohol, keluhku. Aku tengok kanan-kiri mencari dimana pacarku. Musik disko sedang diputar mendengung keras hingga ke gendang telingaku. Club malam ini sangat besar. Aku terlebih dahulu mencari pacarku di restoran lantai dua, lalu turun kembali ke lantai satu ke bar. Di sana sama sekali tidak ada pacarku. Kemudian aku mencari ke lantai dansa. Aku melewati orang-orang yang sedang berdansa menyatu dengan irama musik yang dimainkan DJ. Beberapa pasangan terlihat sedang bercumbu mesra.
Ah, dimana pacarku, ucapku dalam hati.
Aku ingat, di club malam ini ada penginapan di lantai tiga. Lantas aku ke sana menaiki elevator. Saat sampai di atas dan pintu terbuka perlahan, tak sengaja aku melihat sosok lelaki berjaket hitam mirip jaket milik pacarku, ada gambar tengkoraknya di bagian belakang. Ia masuk ke salah satu kamar. Aku bergegas menuju kamar itu sambil berlari kecil.
Aku ada di depan kamar 305. Di dalam pasti ada temanku juga. Aku menghela napas dalam-dalam dan menatap pintu penuh nanar. Dalam dadaku bergejolak, dobrak atau tidak. Aku adalah wanita bodoh yang membiarkan pacarku berbuat mesum dengan wanita lain. Maka, pintu kutendang paksa.
BUK! Terbuka!
Benar saja, pacarku sedang melakukan sesuatu yang sering ia lakukan kepadaku. Ia memangku teman sekelasku di atas kasur. Keduanya tanpa sehelai benang baju. Suara desahan temanku terdengar seakan merusak gendang telingaku. Keduanya saling memeluk.
'Jodi!' aku berteriak.
Keduanya menoleh. Temanku bergegas menyelimuti tubuhnya memakai selimut, sedangkan pacarku sibuk memakai celana dengan cepat. Ia datang menghampiri, lalu berkata, 'Sayang, maaf ini salah paham'.
'Salah paham apa?'tanyaku masih dengan suara yang tinggi.
'Ini tidak seperti yang kau kira'. Ia memegang kedua tanganku, tapi langsung aku lepaskan.
'Apa tubuhku belum cukup untuk kau kuasai? Hah!'.
'Sayang, maaf'. Wajahnya mulai memelas. Aku mencoba tidak terperangkap.
Aku menatap matanya dalam-dalam. Napasku mulai beraroma dendam. Jantungku memacu amarah yang selama ini terpendam, seakan energinya mulai naik dan berkumpul di tangan kananku.
'Kamu pengkhianat! Kurang ajar!'. Tanganku melayang menampar pipi kanannya. Bunyinya seperti piring pecah yang dibanting ke lantai.
Setelahnya, aku kaget, pacarku justru mencekik leherku. Tubuhku sampai terangkat hingga kedua kaki tak dapat menyentuh lantai. Ia mengunci aku di sudut kamar, masih dengan leher yang tercekik.
Ia berkata, 'Kamu sudah berani melawan aku?'. Nada suaranya bergetar.
Aku menggeleng. Membisu.
Ia melonggarkan cekikkannya, lalu dilepaskan. Ia berjalan ke arah lemari seperti ingin mengambil sesuatu. Dari pojokan aku hanya bisa menyaksikan apa yang ia lakukan. Ternyata, ia mengambil tongkat kasti.
Ia menghampiriku lagi, berteriak, 'Aku malu sama kamu!'. Kemudian aku dicekik kembali olehnya. Badanku terangkat.
Leherku terasa tertekan. Seakan napas dari kerongkongan mulai tersendat. Aku menengadah ke atas sembari membuka mulut, menelan udara sebanyak-banyaknya. Aku adalah wanita bodoh yang tak berani melawan kekasihku sendiri.
'Aku tak pernah menyayangimu!'. Di tangan kanannya menggenggam tongkat kasti, sedangkan tangan kirinya semakin erat mencekikku.
Aku sulit berkata-kata. Kakiku berusaha untuk mencapai lantai, namun tak bisa. Ini semakin menyiksaku. Napasku mulai sempit. Ia semakin mengencangkan cekikkannya. Wajah kekasihku memerah seperti dimasuki iblis. Kami saling bertatapan. Aku sangat berharap tatapan ini bukanlah tatapan terakhirku kepadanya. Aku berusaha melemparkan senyuman terbaiku padanya.
Tiba-tiba ia melepasku, tapi tongkat kasti itu dengan keras tepat menghantam pelipis kananku. Keningku bocor berlumuran darah. Aku masih sadar dan bisa merasakan betapa sakitnya hantaman itu. Tubuhku tergeletak di ubin yang dingin. Ingin rasanya keluar dari kamar, tapi kaki tak kuat bergerak. Lemas.
Aku menangis sembari memegangi kepalaku.
Kedua mata ini dapat melihat jelas kekasihku berdiri di depanku. Ia kembali melesatkan tongkat itu ke kepalaku berkali-kali. Sangat sakit.
Aku tak sadar diri.
Tahukah kalian apa yang ia lakukan selanjutnya? Ia mencincang tubuhku.
Aku dapat melihat kekasihku sendiri dengan asiknya memotong-motong kepala, badan, tangan, perut, hingga kedua kakiku. Saat itu, aku sudah jadi ruh. Ia sama sekali tidak sadar apa yang ia lakukan itu disaksikan olehku.
Ia melakukan itu dengan bersih tanpa meninggalkan jejak. Semua potongan tubuhku dibuang secara terpisah, seperti di tempat sampah, dikubur, dan dibuang ke sungai. Ada yang dibakar. Adapula yang ia makan menyatu dengan burger yang ia beli di pagi harinya.
Oh iya, aku ingat, ada satu potongan tubuhku yang ia bawa ke pantai sambil menikmati senja dan matahari terbenam. Ia memainkan gitar dan melantunkan lagu favorit kami berdua. Setelah itu, potongan tubuhku yang dibungkus rapi dengan plastik cokelat ia lempar ke laut. Aku serasa terkapar terombang-ambing dibawa air lautan. Bungkusan itu tenggelam di tengah laut dan potongan tubuhku dimakan oleh ikan-ikan.
'Tidak bisa!' keduanya membentak.
Lantas kulayangkan tendangan ke arah leher mereka berdua dan kubanting tubuhnya ke permukaan lantai dengan keras, kemudian kututup dengan hantaman pukulan tanpa ampun. Keduanya terkapar. Beruntung aku memiliki keahlian bela diri karate.
Aku masuk ke dalam.
Ya ampun bau alkohol, keluhku. Aku tengok kanan-kiri mencari dimana pacarku. Musik disko sedang diputar mendengung keras hingga ke gendang telingaku. Club malam ini sangat besar. Aku terlebih dahulu mencari pacarku di restoran lantai dua, lalu turun kembali ke lantai satu ke bar. Di sana sama sekali tidak ada pacarku. Kemudian aku mencari ke lantai dansa. Aku melewati orang-orang yang sedang berdansa menyatu dengan irama musik yang dimainkan DJ. Beberapa pasangan terlihat sedang bercumbu mesra.
Ah, dimana pacarku, ucapku dalam hati.
Aku ingat, di club malam ini ada penginapan di lantai tiga. Lantas aku ke sana menaiki elevator. Saat sampai di atas dan pintu terbuka perlahan, tak sengaja aku melihat sosok lelaki berjaket hitam mirip jaket milik pacarku, ada gambar tengkoraknya di bagian belakang. Ia masuk ke salah satu kamar. Aku bergegas menuju kamar itu sambil berlari kecil.
Aku ada di depan kamar 305. Di dalam pasti ada temanku juga. Aku menghela napas dalam-dalam dan menatap pintu penuh nanar. Dalam dadaku bergejolak, dobrak atau tidak. Aku adalah wanita bodoh yang membiarkan pacarku berbuat mesum dengan wanita lain. Maka, pintu kutendang paksa.
BUK! Terbuka!
Benar saja, pacarku sedang melakukan sesuatu yang sering ia lakukan kepadaku. Ia memangku teman sekelasku di atas kasur. Keduanya tanpa sehelai benang baju. Suara desahan temanku terdengar seakan merusak gendang telingaku. Keduanya saling memeluk.
'Jodi!' aku berteriak.
Keduanya menoleh. Temanku bergegas menyelimuti tubuhnya memakai selimut, sedangkan pacarku sibuk memakai celana dengan cepat. Ia datang menghampiri, lalu berkata, 'Sayang, maaf ini salah paham'.
'Salah paham apa?'tanyaku masih dengan suara yang tinggi.
'Ini tidak seperti yang kau kira'. Ia memegang kedua tanganku, tapi langsung aku lepaskan.
'Apa tubuhku belum cukup untuk kau kuasai? Hah!'.
'Sayang, maaf'. Wajahnya mulai memelas. Aku mencoba tidak terperangkap.
Aku menatap matanya dalam-dalam. Napasku mulai beraroma dendam. Jantungku memacu amarah yang selama ini terpendam, seakan energinya mulai naik dan berkumpul di tangan kananku.
'Kamu pengkhianat! Kurang ajar!'. Tanganku melayang menampar pipi kanannya. Bunyinya seperti piring pecah yang dibanting ke lantai.
Setelahnya, aku kaget, pacarku justru mencekik leherku. Tubuhku sampai terangkat hingga kedua kaki tak dapat menyentuh lantai. Ia mengunci aku di sudut kamar, masih dengan leher yang tercekik.
Ia berkata, 'Kamu sudah berani melawan aku?'. Nada suaranya bergetar.
Aku menggeleng. Membisu.
Ia melonggarkan cekikkannya, lalu dilepaskan. Ia berjalan ke arah lemari seperti ingin mengambil sesuatu. Dari pojokan aku hanya bisa menyaksikan apa yang ia lakukan. Ternyata, ia mengambil tongkat kasti.
Ia menghampiriku lagi, berteriak, 'Aku malu sama kamu!'. Kemudian aku dicekik kembali olehnya. Badanku terangkat.
Leherku terasa tertekan. Seakan napas dari kerongkongan mulai tersendat. Aku menengadah ke atas sembari membuka mulut, menelan udara sebanyak-banyaknya. Aku adalah wanita bodoh yang tak berani melawan kekasihku sendiri.
'Aku tak pernah menyayangimu!'. Di tangan kanannya menggenggam tongkat kasti, sedangkan tangan kirinya semakin erat mencekikku.
Aku sulit berkata-kata. Kakiku berusaha untuk mencapai lantai, namun tak bisa. Ini semakin menyiksaku. Napasku mulai sempit. Ia semakin mengencangkan cekikkannya. Wajah kekasihku memerah seperti dimasuki iblis. Kami saling bertatapan. Aku sangat berharap tatapan ini bukanlah tatapan terakhirku kepadanya. Aku berusaha melemparkan senyuman terbaiku padanya.
Tiba-tiba ia melepasku, tapi tongkat kasti itu dengan keras tepat menghantam pelipis kananku. Keningku bocor berlumuran darah. Aku masih sadar dan bisa merasakan betapa sakitnya hantaman itu. Tubuhku tergeletak di ubin yang dingin. Ingin rasanya keluar dari kamar, tapi kaki tak kuat bergerak. Lemas.
Aku menangis sembari memegangi kepalaku.
Kedua mata ini dapat melihat jelas kekasihku berdiri di depanku. Ia kembali melesatkan tongkat itu ke kepalaku berkali-kali. Sangat sakit.
Aku tak sadar diri.
Tahukah kalian apa yang ia lakukan selanjutnya? Ia mencincang tubuhku.
Aku dapat melihat kekasihku sendiri dengan asiknya memotong-motong kepala, badan, tangan, perut, hingga kedua kakiku. Saat itu, aku sudah jadi ruh. Ia sama sekali tidak sadar apa yang ia lakukan itu disaksikan olehku.
Ia melakukan itu dengan bersih tanpa meninggalkan jejak. Semua potongan tubuhku dibuang secara terpisah, seperti di tempat sampah, dikubur, dan dibuang ke sungai. Ada yang dibakar. Adapula yang ia makan menyatu dengan burger yang ia beli di pagi harinya.
Oh iya, aku ingat, ada satu potongan tubuhku yang ia bawa ke pantai sambil menikmati senja dan matahari terbenam. Ia memainkan gitar dan melantunkan lagu favorit kami berdua. Setelah itu, potongan tubuhku yang dibungkus rapi dengan plastik cokelat ia lempar ke laut. Aku serasa terkapar terombang-ambing dibawa air lautan. Bungkusan itu tenggelam di tengah laut dan potongan tubuhku dimakan oleh ikan-ikan.
Begitulah kekasihku yang kukenal baik dan romantis.
Aku berharap siapapun dapat menemukan kekasihku. Hanya tak ingin ada korban kedua setelahku.
Sebelum kusudahi, aku ingin berterima kasih kepada pemilik tubuh ini. Tubuh milik tetanggaku. Ia adalah teman sekelasku. Lebih tepatnya lagi, ia adalah selingkuhan pacarku. Semoga ia bahagia, tak bernasib seperti aku.
Sudah ya. Aku harus mencari bagian tubuhku yang belum kutemukan. Rasanya lelah harus mengetik dengan satu tangan dan melihat dengan satu bola mata saja.
Selamat tinggal.
Maaf bila salam penutup ini juga tak menarik untuk kalian.
Aku berharap siapapun dapat menemukan kekasihku. Hanya tak ingin ada korban kedua setelahku.
Sebelum kusudahi, aku ingin berterima kasih kepada pemilik tubuh ini. Tubuh milik tetanggaku. Ia adalah teman sekelasku. Lebih tepatnya lagi, ia adalah selingkuhan pacarku. Semoga ia bahagia, tak bernasib seperti aku.
Sudah ya. Aku harus mencari bagian tubuhku yang belum kutemukan. Rasanya lelah harus mengetik dengan satu tangan dan melihat dengan satu bola mata saja.
Selamat tinggal.
Maaf bila salam penutup ini juga tak menarik untuk kalian.