Cintamu Buta

Sumber: google.com
Untuk mengikuti #RabuMenulis dari editor Gagas Media. Ditulis hanya dalam waktu 15 menit

Ada yang meledak dalam dadaku, bergemuruh, dan aku sekuat tenaga menahannya. Aku seringkali begitu, terbakar emosi di saat temanku, Diana hampir tak dapat menahan gairah asmaranya setiap melihat wajah tampan lelaki itu. Lelaki yang berhasil mencuri mata, hati, dan seluruh tubuhnya. Ia dibuat gelap mata oleh kekasihnya sendiri, Arnold. Lelaki itu merayu temanku begitu hebat hingga tubuhnya runtuh dikuasainya. Aku masih ingat betul ia bercerita seperti itu.

Berkali-kali ia bilang bahwa cinta tak selamanya indah, cinta harus dinikmati agar terasa keindahannya. Entah diracuni apa pikirannya saat itu, ia begitu terbuai dituntun ke sebuah apartemen dekat asrama tempat kami berkuliah. Mungkin salahku juga tak dapat menahan langkahnya mengekor bersama Arnold.

Aku masih ingat, lelaki berambut cokelat itu menggenggam tangan temanku begitu eratnya. Terlihat uratnya menegang di bagian punggung telapak tangan. Sembari berjalan perlahan, aku mendengar lelaki itu berkata, ‘Sayang, maukah menikmati malam ini dengan indah?’. Kedua telingaku seakan terbakar mendengar ajakan menjijikan itu. Diana sempat memalingkan pandangannya ke arahku, namun ia tak dapat berucap apa-apa.

Malam itu, kami bertiga ada di sebuah jalan kecil di depan gerbang kampus. Langit sudah gelap dan jam tanganku menunjukkan pukul sepuluh malam. Lampu jalan cahayanya remang-remang. Kami berhenti berjalan tepat di bawah lampu jalan tersebut. Aku ada di sebelah kanan Diana dan Arnold di sebelah kirinya.

Diana sebenarnya ingin pulang bersamaku, tapi entah kenapa ia mengurungkan niat tersebut. Mungkin, malam itu adalah malam minggu dan ia ingin melewati malam bersama kekasihnya. ‘Maksud kamu apa menikmati malam ini dengan indah?’ temanku balik bertanya.

Lelaki itu menjawab, ‘Kita saling menghangati malam ini sayang’.

Aku memerhatikan obrolan keduanya dengan serius. Tak sedikitpun aku melewatkan percakapan mereka.

‘Oh begitu’ balas temanku, mengangguk sambil tersenyum kecil.

Mereka berdua seolah melupakan kehadiranku. Aku sendiri tak tahan dengan obrolan mereka yang begitu vulgar. Malam itu seakan menjadi saksi teman yang ku kenal baik berubah menjadi teman yang sangat asing.

Mereka mengajakku berjalan kembali. Aku mengekor di belakang mereka berdua sembari bergelut dengan keresahan. Resah temanku akan menjadi apa bila perjalanan itu terus berlanjut. Kemudian, Arnold berhenti di depan minimarket yang buka dua puluh empat jam. Lelaki itu menggandeng temanku masuk ke dalam. Aku diam di luar, melihat apa yang mereka lakukan di dalam. Mereka berdua terlihat sibuk mengobrol di dekat kasir seperti mengobrolkan sesuatu.

Tak berapa lama kemudian, mereka berdua keluar. Diana melepaskan genggaman kekasihnya. Tak sengaja aku melihat di tangan kiri Arnold ada satu kemasan berwarna merah jambu. Itu adalah kemasan kondom. Aku mulai curiga, khawatir dengan apa yang terjadi pada temanku nanti.

Diana menghampiriku dan berkata, ‘Kamu mau ikut aku?’. Bibirnya mengembang, tersenyum.

‘Kemana?’ tanyaku.

‘Ke apartemen Arnold’.

‘Hah?’. Aku terkejut. ‘Kamu mau ke apartemennya?’.

‘Iya’. Dia berhenti bicara sejenak. ‘Kamu mau ikut?’.

‘Ah, tidak!’. Aku menolak mentah-mentah. ‘Aku cukup sampai di sini saja menemani kamu’. Lantas aku langsung melangkah pergi meninggalkan mereka. Berjalan cepat. Selama berjalan meninggalkan mereka berdua, di kepalaku berputar-putar memikirkan apa yang akan mereka perbuat. Kemasan merah muda itu menghantui pikiranku.

---

Semenjak malam itu, sifat temanku mulai berubah. Hampir setiap malam minggu ia bertamu ke apartemen kekasihnya. Aku seperti merasa asing dengan temanku sendiri. Di kampus, ia sering tak masuk. Beberapa nilai kuisnya anjlok. Prestasinya mulai menurun.

Sedikit demi sedikit perubahan fisik Diana mulai terliat. Kelopak matanya terlihat agak menghitam. Buah dadanya sedikit membesar. Ia jadi lebih suka berdandan. Bila ia masuk kelas, aku jadi sering melihatnya mengaca sembari memakai bedak serta merapikan rambutnya. Sungguh ia berubah. Setiap bertemu pun ia jarang sekali menyapaku, lebih banyak membuang wajah.

Hingga di suatu malam minggu aku coba datang ke rumahnya. Kuketuk pintu berulang kali, namun tak ada yang membuka. Kucoba sekali, tapi tetap sama. Akhirnya, aku terpaksa membukanya sendiri karena pintu tak dikunci. Aku berjalan hingga ke depan kamarnya. Dari sini, terdengar suara desahan wanita. Ia pasti Diana. Aku semakin yakin, ia sedang diruntuhkan tubuhnya oleh lelaki belangsak itu di dalam kamar.

Aku tak tinggal diam. Terpaksa aku memakai cara yang tak halus, pintu ku dorong keras. Diana terlihat tanpa sehelai benang baju sedang dipangku sang kekasih. Desahan itu mengalun hingga ke gendang telingaku. ‘Diana!’ aku teriak memanggil namanya.

Ia menengok dan hanya tersenyum tanpa mengeluarkan kata-kata apapun. Ia tetap bercinta. ‘Diana!’ aku teriak sekali lagi. Berharap ia menghentikan perbuatannya.

Lelaki itu melepaskan pelukannya, lalu beranjak berdiri di samping kasur. Ia pun tanpa sehelai benang baju. ‘Ada apa!’ teriak lelaki itu.

‘Mengapa kamu lakukan ini kepada temanku?’ aku melawan dengan suara yang keras juga. Urat leherku mengencang. ‘Apa ini yang dinamakan cinta?’.

Lelaki itu meraih tas hitam yang tersimpan di samping kasur. Dengan cepat ia terlihat mengambil sesuatu. Tanpa kuduga ia mengeluarkan sebuah pistol. Lalu menodong ke arahku. Ia melangkah menghampiriku. Semakin dekat. Pistol itu tepat berada di depanku terpaut tiga meter. 

Aku bergidik. 

‘Ma-maksudmu apa begini?’ tanyaku dengan suara yang terbata. Aku mengangkat dua tangan. Jantungku berdegup kencang. 

Ia seperti kerasukan iblis. Wajahnya memerah. Matanya melotot ke arahku, sedangkan aku terpejam.

‘Kamu banyak omong!’ dia tetap dengan suara kerasnya. Pistolnya gagah mengarah kepadaku. Jari telunjuknya seperti sudah siaga akan menembakku. ‘Kamu mengganggu malamku! Kuhabisi kau malam ini!’.

DOR!

Lelaki itu melepaskan peluru dari pistolnya. Aku masih memejamkan mata. Pasrah. Namun, entah mengapa semenjak suara tembakan itu, aku tetap bernapas. Aku masih hidup dan tak merasa sakit sedikitpun. 

Aku membuka mata perlahan. Tepat di depan mataku, Diana tumbang dengan kening berlumuran darah. Ia tertembak. Ia rela menyelamatkan nyawaku.

‘Diana!’ aku berteriak sambil memangkunya. Tanganku bergetar memegang tubuhnya.

Kutempelkan bibirku di bibirnya. Kubuat napas buatan berharap temanku masih bisa hidup. Namun, takdir berkata lain. Diana tewas oleh kekasihnya sendiri. Ia tak bangun. Bola matanya sudah putih. Tak bernyawa. Aku menangis.

Aku pun masih ingat ketika Diana masih berada di pangkuanku, aku sempat menilik ke arah Arnold sedang duduk di bangku abu-abu lusuh. Aku tak hiraukan. Kemudian, ada suara tembakan pistol setelah itu. Arnold jatuh tergeletak di atas ubin putih yang dingin. Kepalanya bocor, mengalir darah dengan deras. Aku tergemap melihatnya. Tatapan mataku kosong. Kakiku seolah tak dapat berdiri. 

Kupandangi wajah Diana. Menatap dalam-dalam. Sekilast aku teringat satu perkataan Diana yang masih tersimpan di dalam pikiran: Sebodoh-bodohnya aku, bagaimanapun aku rela kehilangan nyawa demi teman terbaikku.