Sumber: google.com
Ketika sedang melewati taman hijau atau yang lebih familiar dengan sebutan 'Taman Cinta' di kota Andales ini, aku melihat seorang wanita berdiri di depan bangku abu-abu. Sendirian. Karena tertarik memerhatikan dia, aku duduk di sebuah batu agak besar di belakangnya. Kami terpaut jarak tujuh meter. Wanita yang memakai jas hitam itu tak berubah posisi hingga sepuluh menit lamanya. Sama sekali belum beranjak. Aku mulai penasaran. Sedari tadi, dia tetap berdiri ditemani payung ungu.
Karena didera penasaran dan sebelum langit berubah menjadi lebih senja oranye gelap, aku coba bangkit dari duduk, menghampiri dia. Perlahan aku melangkahkan kaki. Sesekali melihat sekeliling taman ini memastikan tak ada orang lain yang akan mengganggu.
'Sore..' sahutku berdiri di samping kanannya.
'Sore..' sahutku berdiri di samping kanannya.
Wanita itu menoleh, mengembangkan bibirnya. Tersenyum. 'Sore juga'.
Aku turut tersenyum. Seketika aku merasa wanita ini ramah. Terasa dari senyuman yang dia lemparkan. Menenangkan. Mengaburkan awkward.
'Sepertinya kita seumuran. Panggil saja aku, Sis. Ngomong-ngomong ada apa ya?' tanya dia, masih memegang payung ungu di tangan kanannya.
Aku bergumam. Berpikir cepat setelah ini apa yang aku lakukan.
'Perkenalkan, aku Rama'. Aku memilih memperkenalkan diri. Aku mengulurkan tangan. Dia pun sama. Kami berjabat tangan salam perkenalan. 'Oh iya, dari tadi aku perhatikan di sana, kok kamu berdiri terus di sini? Lagipula sore ini cerah, kok kamu pakai payung?'.
Kemudian kami sama-sama duduk di bangku. Setahuku, bangku yang katanya diimpor dari negara tetangga ini merupakan bangku kedua yang ada di sini. Sekilas bila diperhatikan, memang sih bangku ini terlihat baru dibandingkan bangku yang ada di sebelah. Selain itu, katanya, bangku abu-abu ini menyimpan history yang hanya diketahui oleh masyarakat di sini.
'Boleh sekarang aku jawab pertanyaanmu?' tanya wanita itu sambil menutup payung, lalu ditaruh di samping kirinya.
Aku mengangguk. Mengiyakan.
'Hemm.. Aku setiap minggu memang sering seperti ini, Ram. Duduk, berdiri di bangku sambil memegang payung. Bisa dibilang ini adalah caraku untuk mengingat...'. Dia berhenti bicara. Aku reflek menoleh ke wajahnya. Dia terlihat menggigit bibir. Kedua bola matanya memandang ke kanan bawah. Pernah baca literatur psikologi, katanya ini pertanda seseorang sedang mengingat suatu keadaan. Apakah dia sedang mengumpulkan masa lalunya? Entahlah.
'Mengingat seseorang yang telah pergi mendahuluiku' dia melanjutkan. 'Tempat duduk ini adalah hadiah dari kekasihku dua tahun yang lalu'. Aku masih fokus mendengarkan cerita.
'Dulu, aku dan Julio sering duduk di bangku itu' dia menunjuk ke bangku berwarna cokelat tua yang terbuat dari kayu di samping kanan kami. Aku menilik ke bangku yang dia tunjuk. Bangkunya memiliki panjang sekitar tiga meter. Keempat kakinya menancap ke rumput. Terlihat ada banyak coretan tinta putih di sana bertuliskan nama-nama orang. Namun, ada sesuatu yang kurasa janggal.
'Kenapa di situ banyak tulisan nama orang tapi disilang-silang ya?' tanyaku, tanpa melihat ke arah Sis. Masih fokus ke tulisan.
Wanita berhijab hitam ini terdengar menghembuskan napas melalui mulutnya. Menengadah ke atas langit senja, lalu memejamkan mata sebentar. 'Bangku itu sekarang dihindari banyak orang, Ram. Khususnya banyak pasangan yang enggan lagi duduk di sana' jawabnya.
'Loh, kenapa?'. Aku kaget.
'Kamu tahu kenapa nama-nama itu dicoret?' tanya dia memandangi kedua mataku.
Aku menggeleng.
'Itu bangku keramat, Ram. Awalnya, ketika bangku itu ada, kekasih yang menuliskan namanya di bangku itu akan berlanjut ke jenjang pernikahan. Maka itu, banyak yang duduk berdua di sana dan menuliskan nama mereka. Bahkan, katanya, tak hanya sampai menikah, juga akan terus hidup bersama sampai waktu memisahkan'.
'Terus kenapa sekarang dihindari banyak pasangan?'.
Wanita itu tak menggubris. Hening.
Sis terlihat mengambil tisu dari dalam saku celana. Kemudian mengelap kedua matanya. 'Ah, aku sebal sama kamu. Memancingku untuk menangis saja'.
'Oh, maaf, Sis. Aku tidak bermaksud...'.
'Haha.. Aku bercanda kok' dia memotong, tersenyum. Seusai mengelap matanya, dia melanjutkan, 'Semua nama-nama yang ada di bangku itu sudah meninggal, Ram. Entah darimana asal muasal kejadiannya, aku tidak tahu. Pacarku jadi orang ke sembilan yang meninggal karena keangkeran bangku itu. Ketika kami pulang bersama di suatu malam, entah kenapa motor pacarku yang sedang melaju kencang tiba-tiba berbelok ke arah pohon besar di pinggir jalan. Kami kecelakaan. Pacarku koma dua bulan, sedangkan aku hanya luka-luka kecil'.
'Lalu?' tanyaku, penasaran.
'Dia meninggal pada sore hari ini pukul lima, itu bertepatan dengan tanggal jadian kami, tanggal lima dan tepat pula pada hari minggu dimana kami selalu berdua di sini. Semenjak pacarku meninggal, mulai banyak pasangan yang mulai enggan duduk di bangku tua itu. Masyarakat di sini tak tahu siapa yang mencoret nama-nama yang ada di sana'.
'Boleh kita melihat ke sana?' tawarku.
'Tentu' jawabnya.
Kami bangkit dari bangku ini, kemudian melangkah ke bangku tua di sebelah. Hanya berdiri tanpa duduk di situ. 'Lihat, apa ada yang aneh dari nama-nama ini?' tanya dia.
Aku menyapu nama-nama yang tertera di bangku keramat dengan mataku. Mencoba menganalisa. 'Apa yang aneh ya?'.
'Haha.. Masa kamu tidak lihat?'.
Aku coba fokus membaca nama-namanya lagi. Masih belum bisa menebak apa yang aneh. 'Sepertinya aku menyerah. Memang apa yang aneh?'.
'Lihat ini' dia menunjuk ke arah nama 'Sis'. Ya, itu nama dia sendiri. 'Selain aku. Semua nama yang ada di bangku ini sudah dicoret'.
'Eh iya ya cuma nama kamu yang tidak dicoret' balasku dengan nada suara yang agak tinggi. Baru menyadari. Tak habis pikir.
'Aku masih hidup, sisanya sudah tenang di alam sana dan anehnya semua berakhir dengan kecelakaan. Termasuk pacarku'. Kemudian Sis mengusap-usap nama 'Julio' yang tertera di sebelah namanya. 'Yuk, kembali lagi ke bangku itu'.
Kami kembali.
Aku jadi lebih berat untuk bicara karena ceritanya sungguh di luar dugaan. Kiraku, suasana di sini menyenangkan hatinya, memandangi sungai yang indah, dan mengirup udara bersih. Ternyata, tidak.
'Payung ini selalu kubawa dan kubuka karena di saat hujan kami selalu seperti ini. Selalu berdua. Dia merangkulku penuh kehangatan, mengusir hawa dingin kesepian' katanya.
'Tapi kenapa di saat tidak hujan kamu buka payungnya?' tanyaku.
'Iya memang tidak sedang hujan, tapi kamu tak melihat hatiku sedang hujan di setiap tanggal lima di sore ini'. Dia tersenyum. 'Aku mencoba tegar. Mencoba kuat. Hanya saja semua itu ada batasnya. Sama seperti awan mendung yang hitam pekat bila sudah tidak kuat menahan air, maka terjadilah hujan. Bukankah selalu seperti itu?'.
'Iya' jawabku singkat.
Langit senja ini warnanya semakin menua. Mulai gelap. Burung-burung banyak berterbangan di atas. Sungai semakin menyembunyikan suara derasnya. Aku semakin tenggelam dengan cerita Sis yang menghentak hatiku.
'Secara kasat mata aku kini sendirian, tapi sebenarnya tidak' dia bicara kembali.
'Maksudnya?'.
'Setiap pukul lima di tanggal lima aku bisa merasakan kehadiran pacarku'. Dia melihat jam tangan putih yang melingkar di tangan kirinya. 'Dua menit lagi waktunya aku akan bersama dia, Ram'. Payung ungu yang ditaruh di samping, dia raih dan ditaruh di pangkuannya.
'Selalu seperti itu?' tanyaku melirik ke arahnya.
Dia mengangguk. 'Selalu. Aku masih cinta dia'.
Payung berwarna ungu yang ada di pangkuannya dia pegang. Dielus-elus. 'Kamu tahu kenapa payung ini berwarna ungu?' tanya dia, melanjutkan.
'Kenapa?' aku tanya balik karena tak tahu.
'Ini pemberian pacarku. Katanya, warna ungu cocok untuk menemani kita di saat sendu'.
Seketika dia terdiam. Aku pun terdiam.
Kami pun sama-sama memandangi sungai yang ada di depan. Dari sini, aku melihat masih ada sepasang kekasih yang bermain perahu cinta berbentuk hewan bangau putih. Keduanya menggoes bersama penuh dengan canda tawa. Beberapa kali terlihat saling menyuap camilan bergantian. Ada pula sesekali melintas di depan kami sepasang kekasih yang bermain sepeda saling berboncengan. Taman ini benar-benar taman cinta. Penuh cinta. Penuh kasih sayang. Juga penuh kebersamaan.
'Rama' sahut dia yang meruntuhkan lamunanku..
'Iya?'.
'Kamu tahu kenapa aku lebih memilih seperti ini, tetap sendiri daripada harus senang-senang bermain bersama seperti pasangan yang lain?' tanya dia, lalu berdiri sambil mengembangkan payung. Persis dengan seperti apa yang aku lihat di awal. Wanita itu menatap ke depan.
'Kenapa?' tanyaku.
Dia membalikkan pandangannya ke arahku, membalas. 'Karena aku belum siap untuk kehilangan lagi'.