Ilustrasi - Sumber: google.com
Di sinilah pertama kali aku bertemu Robert, seorang lelaki yang berhasil mencuri hatiku. Kami saling jatuh cinta di Eiffel Tower yang terletak di Champ de Mars, Paris, Perancis. Icon Paris ini sebagai salah satu tempat teromantis di dunia yang menjadi saksi cinta pandangan pertama kami berdua.
Kala itu, Robert yang mengenakkan jaket kulit cokelat dan menggenggam sebuah kamera di tangan kanannya sedang membidik suatu objek dari puncak Eiffel. Aku yang tertarik dengan lelaki itu memandangi dia diam-diam dari belakang. Jari telunjuk kanannya berkali kali terlihat bergerak memencet sebuah tombol kecil di kamera. Mata kirinya tetap fokus ada di depan layar kecil untuk membidik. Sekali lagi, jari telunjuknya menekan tombol kecil itu.
Aku menghiraukan orang-orang yang berlalu lalang. Kedua mata ini sudah tercuri oleh lelaki yang membawa kamera itu. Kaki ini rasanya tak ingin diam saja. Aku segera menghampiri. Menepuk pundak kanannya secara halus dan menyapa. Ia melayangkan senyuman ke arahku. Kami berjabat tangan, lalu berkenalan.
Robert berasal dari Italia. Ia lelaki berkulit putih bersih berambut cokelat muda, bertinggi badan sekitar 180 cm, dan wangi tubuhnya persis seperti kakak lelakiku, memakai parfum Gucci Pour Homme. Ia menghabiskan waktu satu minggu untuk mengambil seluruh keindahan kota yang ada di Negeri Ayam Jantan ini. Kebetulan, malam ini adalah malam terakhir dia di Paris. Esok siang ia harus kembali ke Italia untuk kembali berkuliah.
Ternyata, Robert sama sepertiku berkuliah di jurusan Fotografi. Sungguh seperti menemukan satu batang emas di dalam lumpur. Aku beruntung sekali bertemu dengan orang asing yang satu jurusan denganku. Pasti ia punya hobi yang sama: berfoto.
---
'Kamu hobi berfoto ya?' tanyaku. Kusilakan kedua tangan di dada karena angin yang berhembus rasanya dingin di atas sini. Berbeda saat di bawah rasanya biasa saja.
Tak kusangka, lelaki itu melepaskan jaket kulitnya dan diberikan kepadaku. 'Sepertinya kamu kedinginan. Ini pakai jaketku saja'. Ia menyelimutkan jaketnya di tubuhku. Kumasukan satu persatu tangan ini ke lengan jaket. 'Sepertinya kamu lebih baik pakai jaket itu. Lain kali kalau ke sini pakai jaket ya'.
Aku mengangguk. Tersipu malu, plus senang karena ia sangat perhatian dengan orang yang baru ia kenal lima belas menit yang lalu. Seorang wanita bernama Zea yang tak ia tahu dari mana asalnya. Sebab, ia sama sekali tidak tahu seperti apa negeriku. Yang ia tahu hanya Bali.
Kini, aku jauh lebih hangat. 'Thank you, Robert'.
'Yes. You're welcome'.
Masih dengan posisi berdiri di pinggir besi-besi pembatas, kami larut dalam obrolan ringan seputar fotografi. Belasan menit sudah kami lalui, yang pada akhirnya jadi membahas soal cinta. Ternyata, Robert berstatus lajang. Katanya, tiga bulan lalu ia baru putus dari kekasihnya. Aku tak bertanya kenapa dapat putus, tapi Robert mengaku karena pacarnya tak kuat menjalani Long Distance Relationship (LDR).
'Kamu sudah pernah menjalin hubungan Long Distance Relationship?' tanya lelaki berbaju abu-abu dengan gambar bendera italia di dada kanannya.
'Sudah. Kenapa, Robert?'.
'Rasanya seperti apa?'.
'Pahit, getir, sakit, dan perih' jawabku.
Robert tak menyadari bahwa ia sedang membuka luka lamaku. Aku pernah menjalin LDR dengan seorang lelaki dari Negeri Kangguru dua tahun yang lalu. Bodohnya, aku sama sekali tak sadar pacarku waktu itu memiliki dua pacar. Aku baru menyadari satu tahun kemudian ketika ia berulang tahun di bulan Desember. Saat lilin ditiup, datang seorang wanita menyebut nama pacarku dan mereka saling berpelukan. Pacarku dengan mudahnya melupakan aku dan menganggap aku selingkuhannya.
'Ternyata kamu sama seperti aku. Dianggap selingkuhan' ucap Robert, kemudian telunjuknya kembali memencet sebuah tombol di kamera. Ia mengambil gambar. 'Tapi coba lihat ini deh, Zea'.
Aku melirik ke arah foto yang baru ia ambil.
'Korban perselingkuhan tuh seperti ini. Kamu tahu seperti apa?' tanya dia.
'Seperti senja?'.
'That's right!'. Ia tersenyum kecil sembari melihat foto matahari yang mulai karam ke dasar permukaan bumi. 'Kita seperti senja. Akan datang saatnya waktu yang indah, meski awalnya menyakitkan'.
'Waktu yang indah? Senja itu kan hanya sementara. Bagaimana bisa indah bila hanya sementara?' tanyaku.
'Justru itu kita harus bersyukur menjadi orang yang dapat menikmati waktu senja. Karena di waktu inilah bintang-bintang mulai bertaburan'.
Kami berdua sama-sama menatap langit oranye-jingga. Ini sungguh pemandangan yang indah, kataku dalam hati.
'Di sini pula bulan yang terukir setengah bulat mulai menampakkan diri. Hingga pada akhirnya, senja tak lagi sementara dan sendirian. Siapapun dapat merekam senja ini dan dikenang keindahannya selamanya' lanjut Robert.
Aku mulai tersanjung dengan kalimat magis lelaki dari negeri Pizza itu. Dia sungguh romantis. Rasanya aku tak ingin pergi dari sini. Juga tak ingin berpisah dengannya. Ahh, benar sekali dia, pertemuan ini seperti senja. Indah selamanya dengan cara dikenang, batinku.
'Hei, Zea? Kamu baik-baik saja?'.
'Eh, iya maaf aku melamun' jawabku tersenyum.
Lensa mataku dapat melihat jelas senja ini. Senja yang indah bersama lelaki asing yang baru kukenal. Seakan jatuhnya cahaya yang tepat di retina tak ingin bergeser satu mili meter pun. Sama seperti tubuhku ini yang tak ingin meninggalkan dia.
Semakin larut dalam obrolan membahas cinta, tiba-tiba lelaki tampan itu memegang kedua tanganku. Kemudian menarik dan memeluk erat tubuhku. Sekarang, rasanya lebih hangat karena ada kehangatan cinta yang menyelimutiku.
'Zea' sahutnya. Ia belum melepaskan pelukan ini. Aku sendiri sebenarnya tak ingin dilepaskan.
'Iya?' tanyaku.
'Kamu tahu apa yang lebih indah dari langit senja?'
'Apa?'.
'Yaitu langit malam yang menggantung satu bulan dan jutaan bintang'. Ia berhenti bicara sejenak. Aku semakin terasa hangat. Kini, kedua tanganku merangkul tubuhnya erat-erat. 'Biarlah masa lalu itu menjadi matahari yang hanya muncul di terik siang tanpa ada yang menemani. Namun, kita dapat menjadi bulan dan bintang yang sama-sama saling mengisi'.
'Mengisi apa?'.
'Mengisi kosongnya hati dan perlahan dipenuhi binar-binar cinta serta kasih sayang yang abadi. Kita bisa seperti mereka, datang bersamaan dan pergi bersamaan'.
Ia belum melepaskan pelukan hangat ini. Lelaki itu masih terus bicara tentang cinta di telinga kananku.
'Aku ingin hari ini seperti senja, kita bertemu di waktu yang sama. Juga ingin seperti lentera yang menyala di pagi hari, kita hilang di waktu yang sama'.
Aku hanya dapat mengangguk. Memahami kalimat yang ia lontarkan menghiasi keindahan senja yang mulai abu-abu gelap.
'I think i'm in love for the first time in France'.
'A-apa?' tanyaku, terbata-bata. Memintanya mengulangi.
'Aku jatuh cinta pertama kali di negeri ini. Bisakah kita saling mencintai?'.
'Kamu benar ingin bersamaku?'.
Dia mengangguk. Terasa anggukannya di bagian pundak kananku.
'Aku ingin mencintai kamu'.
'Aku juga'.
Kami mengeratkan pelukan.
Dari atas pundak kirinya aku tersenyum lebar. Kedua mataku berbinar bagaikan bintang-bintang yang berkedip mesra ke arah kami berdua. Ia benar, kami bagai bulan dan bintang yang menghiasi kekosongan malam. Terlebih kekosongan hati yang tiba-tiba kedatangan seorang lelaki asing tampan. Aku tak menyangka ia menyatakan cinta secepat itu.
Beberapa detik kemudian, Eiffel Tower memamerkan kecantikannya melalui warna cahaya emas-kuning. Dari bawah, banyak orang-orang yang mengambil foto ke arah sini. Terlihat dari cahaya-cahaya kecil yang silih berganti berkedip.
Indah sekali.
Beberapa detik kemudian, Eiffel Tower memamerkan kecantikannya melalui warna cahaya emas-kuning. Dari bawah, banyak orang-orang yang mengambil foto ke arah sini. Terlihat dari cahaya-cahaya kecil yang silih berganti berkedip.
Indah sekali.
---
'Zea?'.
'Apa, Robert?' tanyaku lirih karena senang ada lelaki asing tampan yang mencintai aku. Kupeluk dia erat. Semakin erat.
'Zea?'.
'Iya?'. Aku merasa ia mengguncang-guncangkan tubuhku.
'Hei! Buka earphone-mu! Buka matamu!'.
'Hah?'. Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Melepas earphone. 'Aduh tubuhku'. Badanku terasa pegal-pegal. Kepalaku agak pusing. Perlahan aku bangkit dari posisi tidur di bangku taman. Aku tengok kanan-kiri memandang seisi taman ini. 'Dimana Robert?'.
'Sedari tadi kamu mengigau menyebut-nyebut nama Robert. Dia tidak ada di sini'.
'Apa?'.
'Kamu jet lag, Zea. Kamu terlalu lelah baru tadi siang pulang dari Paris. Tertidur dari sore sampai malam pukul sembilan seperti ini. Ayo masuk ke kamar'.
Sang kakak mengambil earphone dan guling kesayanganku.
'Duh, pusing kepalaku, Kak. Bantu aku'.
Kakakku membantu aku berdiri.
'Sini kakak bantu. Dasar adik labil, jatuh cinta lewat mimpi'.
Ah, wangi tubuh kakakku kok sama seperti wangi Robert.
Ah, wangi tubuh kakakku kok sama seperti wangi Robert.