Ilustrasi - Sumber: google.com
'Terkadang, cinta butuh perjuangan dimulai dari menemukan sebuah kosan'.
Itulah kalimat yang Randi ucapkan kepada Dini saat membuka percakapan di sebuah kafe. Percakapan yang dicampur dengan lelucon ringan walau sedikit berbau kode. Sedikit juga cara dirinya agar tidak terlihat awkward di hadapan perempuan yang sudah ia sukai selama dua tahun.
Kalimat pembuka itu benar-benar terjadi pada diri Randi. Ia sempat beberapa kali mencari kosan sang dambaan hati, namun tidak pernah ditemukan. Kini, Dini sudah pindah kosan. Randi pun sudah mengetahui soal itu, tapi ketika dicari kosannya juga tidak ditemukan. Ia hanya ingin sesekali membawakan makanan kesukaan Dini, yaitu brownish. Di luar itu, juga ingin mengobrol menghabiskan waktu dan menghilangkan lelah seusai kuliah.
Kalimat pembuka itu benar-benar terjadi pada diri Randi. Ia sempat beberapa kali mencari kosan sang dambaan hati, namun tidak pernah ditemukan. Kini, Dini sudah pindah kosan. Randi pun sudah mengetahui soal itu, tapi ketika dicari kosannya juga tidak ditemukan. Ia hanya ingin sesekali membawakan makanan kesukaan Dini, yaitu brownish. Di luar itu, juga ingin mengobrol menghabiskan waktu dan menghilangkan lelah seusai kuliah.
---
Sebenarnya, telah lama Randi mendambakan Dini, wanita berhijab dari jurusan Kedokteran. Dalam dua tahun, mereka baru bertemu lima kali di kampus: dua saat di kantin dan tiga di depan lift. Dari lima pertemuan itu, seringkali salah satunya tidak saling sadar bahwa mereka sedang dipertemukan. Keduanya pun tak ada yang berani menyapa. Randi sadar, cinta memang seperti itu adanya. Namun, entah apakah Dini merasakan hal yang sama seperti dirinya. Itu yang masih menjadi tanda tanya.
Selama dua tahun itu pula Randi hanya dapat memendam rasa. Memendam segala asa yang seringkali beterbangan layaknya sebuah abu yang baru selesai terbakar dari sebuah kertas putih. Kertas yang hanya berisi doa dan harapan. Abu itu terbang terbawa angin tak tahu arah. Terbawa ke segala arah, termasuk luka.
'Kita akhirnya bisa ketemu juga ya' ucap Dini, kemudian menyeruput hot coffee pesanannya.
Mereka berdua memilih tempat duduk di sudut ruang kafe. Sengaja agar mendapatkan suasana yang tenang sembari sesekali memandangi jalan raya yang terlihat dari kaca transparan di sebelah kiri keduanya. Alunan musik klasik diputar lembut dari soundsystem bulat kecil yang terpasang di langit-langit kafe, duduk di sofa empuk berdesain minimalis modern hijau muda , dan cahaya lampu klasik bergaya victoria elegan putih yang tak terlalu terang menambah tenggelamnya Randi dalam melepaskan rindu.
'Iya. Dua tahun baru satu kali kita seperti ini' balas Randi, tersenyum kecil. Sebuah arti senyum bahagia yang polos keluar dengan sendirinya.
Lelaki berzodiak Capricorn itu kenal dengan Dini secara tidak sengaja di sosial media. Ia pun tak menyangka bahwa perempuan itu adalah mahasiswi baru di kampusnya. Keduanya terpaut umur dua tahun. Randi jatuh hati berawal dari sebuah kegiatan ospek di kampus yang berlangsung tiga hari. Kala itu, Randi menjadi salah satu panitia yang memerhatikan aktivitas mahasiswa baru. Diam-diam selama kegiatan ospek berlangsung ia memerhatikan perempuan penyuka brownish itu, mulai dari saat dihukum senior karena terlambat masuk, sampai ke langkah kaki terakhir sang dambaan hati saat menaiki bus dalam kampus.
Mereka saling bergantian berbagi cerita, salah satunya tentang kandasnya hubungan asmara masing-masing. Keduanya sama-sama baru putus satu bulan yang lalu.
'Kadang, cinta itu aneh ya. Bisa pisah. Padahal di awal sudah sama-sama komitmen akan setia' kata Dini, kemudian menimbun punggungnya ke sofa. Perempuan itu masih sakit hati akibat diselingkuhi pacarnya. Ini yang membuat Dini tidak terlalu ingin cepat lagi jatuh cinta.
'Sama anehnya seperti kita juga'. Randi menghentikan ucapannya sejenak. Menyeruput iced chocolate menggunakan sedotan. Rasa manis yang mengalir ke kerongkongan hingga ke seluruh tubuh menambah daya pemilihan diksi untuk berbicara ke kalimat berikutnya. 'Kita sudah dua tahun kenal, tapi baru ketemu berdua sekarang loh. Masih juga ada sebuah rasa terpendam yang belum tersampaikan'.
Kedua mata Dini memicing. 'Apa itu?'.
'Cinta' jawab Randi, singkat.
'Maksudnya bagaimana?'.
'Iya, aku sudah dari awal suka sama kamu. Sampai sekarang sengaja aku pendam karena...' Randi berhenti bicara. Ia menyadari sudah salah dalam memilih aksara-aksara yang keluar dari bibirnya. Terlanjur basah sebelah kakinya tercemplung ke dalam kubangan air yang tak terlihat.
'Karena apa?'.
'Karena sudah dari awal aku suka sama kamu'. Ia terpaksa melanjutkan.
Dini tertawa sembari menutup mulutnya menggunakan tangan kanan. Tangan kirinya memegang cangkir.
'Kok ketawa, Din?'.
'Haha. Kamu bisa aja bercandanya, Ran' jawab Dini, kemudian meneguk minuman.
'Aku tidak bercanda'.
'Terus kalau tidak bercanda, artinya apa?'. Posisi duduk Dini lebih tegap. Kini terlihat lebih serius mendengarkan Randi.
Lelaki itu berdeham, menghilangkan suara serak. 'Ini aku jujur. Aku bukannya mau memberikan harapan palsu ke kamu. Hanya saja aku merasa dari kemarin belum ada waktu yang tepat untuk kita bersama'.
Dini hanya merespon dengan simpul senyuman manis di bibir yang berwarna merah jambu air segar. Perempuan itu menghela napas. Mendengus.
'Lalu kita maunya seperti apa, Ran?' tanya Dini. Ia menatap dalam-dalam mata lelaki yang diam-diam menyimpan rasa padanya.
'Sekarang aku ingin kita tetap seperti ini dahulu'.
'Kenapa?'.
'Karena aku tidak ingin pisah sama kamu hanya disebabkan hal-hal sepele. Aku sudah jenuh dengan yang namanya pacaran yang berakhir putus. Lebih baik kita jalani dulu seperti ini'.
Dini mengangguk-angguk. Wajahnya datar mencoba mendengarkan aliran cerita Randi.
'Biarlah waktu yang membunyikan lonceng pertanda kita diizinkan bersama' lanjut Randi. 'Aku terserah kamu, bila ingin dengan lelaki lain dulu, yaa tak apa. Mungkin itu yang terbaik untuk kita sekarang'.
Perempuan penyuka brownish itu masih bungkam. Masih mendengarkan.
'Yang jelas rasa ini masih ada untuk kamu, Din'. Randi meneguk minumannya sejenak. Kemudian melanjutkan, 'Seperti bintang yang bertaburan di atas sana'.
Keduanya sama-sama menatap bintang dari balik kaca transparan kafe. Terlihat beberapa bintang berkedip ke arah mereka berdua. Atap alam semesta yang indah kini belum turun menaungi asmara Randi yang sampai sekarang masih saja ia pendam.
'Bintang itu tetap bersinar bagaimanapun bentuk bulan'.
'Artinya?' tanya Dini. Ia sudah terbiasa bertanya seperti itu karena Randi memang termasuk lelaki yang sering memakai kata-kata yang tidak biasa.
'Aku tetap ada untuk kamu bagaimanapun itu kamu sampai tiba waktunya kita menyatu' jawab Randi seraya tersenyum.
Dini tersipu malu. Kedua pipinya perlahan menampakkan warna layaknya langit senja oranye-jingga. Senja yang indah dilihat mata.
Randi ternyata mampu meretakkan hatinya, meski belum sampai luluh. Perempuan itu tersenyum sembari meneguk hot coffee. Randi melihat jelas simpul senyuman yang terbentuk di pinggiran cangkir. Ya, Dini minum sembari tersenyum. Simpul yang jarang ia dapatkan langsung dari dambaan hatinya itu. Senyuman yang pasti sangat berarti sampai ia melangkahkan kaki sepulang dari sini. Mungkin, dapat juga menjadi seberkas senyum terakhir dari pinggiran cangkir sebelum mereka menyatu tiada akhir.