Ilustrasi - Sumber: Facebook Nulis Buku
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku
Suara desiran angin terdengar mengalun di gendang telingaku. Kutatap batu nisan berwarna putih dengan kedua mataku sendiri. Di permukaannya terukir nama perempuan yang pernah kucintai, kueja perlahan, "Emiko Chika."
Baru saja lima menit menikmati waktu berdua dengan makam mantanku, dari belakang kurasakan ada kedua tangan yang mencolek.
Aku menoleh ke belakang. "Hai," sapa pacarku. Ia memelukku dari belakang. Rambut cokelatnya yang bagai walnut melambai-lambai terkena angin mengusap pipi kananku. Ia menyandarkan kepalanya di bahu kananku. "Ternyata kau ada di sini."
"Iya, aku hanya ingin menengoknya. Kuharap kau tak marah," kataku tersenyum kecil ke arahnya.
Ia bergumam. "Mengapa kau belum bisa melepaskan kepergian mantanmu?"
"Aku sudah bisa melepaskannya."
"Tapi kenapa kau sering ke sini?"
Aku menghela napas yang panjang. Kedua mataku memutar. "Aku ingin berkeluh kesah mengapa kutemukan dia sudah tak bernyawa di Japan Hotel."
Perempuan dengan jaket kulit cokelat di tubuhnya itu mengelus dadaku. "Sabar ya." Ia melayangkan senyuman tipis di sudut bibirnya. "Sekarang 'kan ada aku yang mencintaimu."
Aku merangkulnya, menghempaskan hawa dingin yang menyelimutiku. "Iya, aku juga mencintaimu, Lein." Aku bergumam. "Semoga pembunuhnya tertangkap."
"Iya. Keadilan di negeri ini sungguh kental. Siapapun tidak dapat menghindarinya," tegas pacarku.
Tiba-tiba jejak langkah seseorang yang berdecak keras dan cepat menghampiri kami. Aku terperangah. Dua lelaki berbadan tegap dan memakai baju polisi memborgol tanganku.
"Hei!" teriakku. "Apa-apaan ini!" Aku meronta, sedangkan pacarku mengaga melihatku diperlakukan seperti ini.
Kegaduhan di sini menyulutkan orang-orang memerhatikan kami. Aku terus meronta meski tubuhku diseret keluar dari pemakaman ini. Daun berguguran terbawa angin. Desiran yang tadi lembut berubah agak kencang. Pacarku berteriak dan menahan salah satu lengan polisi. Ia meminta penjelasan pada mereka. Aku pun masih berusaha melepas diri.
"Lelaki ini kami tangkap karena terbukti membunuh perempuan bernama Emiko Chika!" ucap salah satu polisi itu kepada pacarku sembari menyeretku keras di atas tanah berkerikil.
Aku terus meronta, namun pacarku menatapku dengan tatapan kosong. Namun, di tatapan kosong itu aku dapat melihat segaris senyum tipis di bibirnya. Kemudian, ia berkata, "Yoi-o tenki desu ne[1]".
[1] Cuaca yang indah - dalam bahasa Jepang
0 komentar: