Ilustrasi - Sumber: lokerpuisi.web.id
Untuk mengikuti #RahimPuisi dari @KampusFiksi. Ditulis sebanyak 799 kata.
Cerpen ini telah dinyatakan sebagai pemenang tantangan #RahimPuisi oleh @KampusFiksi
Cerpen ini telah dinyatakan sebagai pemenang tantangan #RahimPuisi oleh @KampusFiksi
Eloknya paras Ai bagai
kota Kyoto yang indah sepanjang tahun, mekarnya bunga sakura di musim semi, salju
yang turun di musim dingin, bukit-bukit berhawa
sejuk di musim panas, dan pemandangan memesona dari jatuhnya daun-daun yang
berguguran di musim gugur. Ia pun mampu menenangkan hatiku hanya dengan satu
tarikan senyum di sudut bibirnya. Sempurna. Namun, tidak pada pagi ini.
Aku beranjak dari
bangku, menghampiri Ai yang terlihat murung di sudut kelas. Aku duduk di
sampingnya. “Semalam aku melihatmu di Ryoanji.”
“Yube
bangohan o tabetari, terebi o mitari, uchi o soji shitari shimashita[1],”
katanya, lalu berhenti sejenak. “Dan aku baik-baik saja.”
Ia mengaku semalam hanya
makan malam, menonton televisi, dan membersihkan rumah. Padahal, aku melihat ia
menghabiskan waktu bersama pacarnya, tapi setelah itu ia pergi sembari
menangis.
“Jangan berbohong. Aku melihat
kesedihan di bola matamu.”
Perempuan paling cantik
di sekolah itu pun menyerah, membalas dengan nada lemas, “Iya. Aku baru putus.”
Entah kabar putus itu
harus kurespon sedih atau senang. Rasanya, aku ingin loncat-loncat di permukaan
awan. “Kenapa?” tanyaku.
“Pacarku selingkuh,” jawabnya.
Nada suaranya naik satu oktaf, “Dia selingkuh dengan perempuan di sekolah
sebelah.” Kemudian, tanpa kuduga ia menangis.
Ia tersedu-sedu. Dengan
adanya kesempatan kecil ini, kusandarkan kepala dia di atas bahu kananku. Lalu
mengelus-elus rambutnya yang semerbak udara pagi bercampur embun yang menempel
pada daun-daun.
“Sepertinya bunga
sakura tak mau mekar lagi bila kau terus menangis,” ucapku dengan halus.
Sontak ia bangun dari
pundakku, menghapus air mata yang membasahi pipi ranum delima. Bola mata
hijaunya berbinar bak hutan tropis yang sehabis diguyur hujan, lalu terkena
sinar matahari.
Kuberikan setangkai
bunga sakura padanya yang kuambil dari saku belakang. Tampak simpul senyum di
bibirnya. “Arigatou[2], Dai,” ucapnya. Ia
melangkah dengan anggun ke luar kelas untuk membasuh wajah di kamar mandi agar
tidak terlihat seperti bayi lucu yang habis menangis.
---
Ketika bel masuk berbunyi
dan setelah puas makan di kantin, aku bergegas masuk ke kelas. Saat berada di
ambang pintu, aku menemukan pemandangan yang tak biasa dari teman-temanku. Ada
Gian dan Masao duduk di atas mejaku, sedangkan Daiki, Fumio, dan Goro duduk di
bangku.
“Kemana saja kau, Dai?”
tanya Gian, teman sebangkuku. Rambut poni cokelat yang menutup alis kanannya dikibaskan.
“Sepertinya ada kabar baik menghampiri teman kita yang satu ini.”
Dahiku mengernyit. Di
dalam benakku berputar-putar banyak pertanyaan. “Ada apa memangnya dengan aku?”
“Nih, lihat!” Goro
mengambil secarik gulungan kertas dari kolong mejaku. “Ada puisi indah dari
perempuan terindah.”
Fumio menoleh ke sudut
ruang kelas, pandangannya mengarah kepada Ai. “Sepertinya perempuan itu jatuh
cinta padamu.”
Gian tersenyum kecil
dan mengangguk-angguk. “Sebaiknya beri kertas itu pada Dai agar dibaca.”
Goro memberikan kertas
itu padaku. “Tolong dibaca yang keras, kami semua ingin dengar,” pinta Gian.
Aku menyisir pandangan
seisi kelas. Kemudian dengan percaya diri bercampur cemas kumulai membaca.
Panggil Dia D
Kau,
lelaki berkacamata hitam
Wajahmu
rupawan dan menenangkan
Dari
sini, aku menilik setitik keindahan
Panggil
dia D, lelaki yang membuatku terpesona
Senyummu
bagai pilar-pilar putih di Istana
Membuatku
kuat kembali seusai menangis
Dari
sini, aku melihat segumpal rasa
Panggil
dia D, lelaki yang membuatku jatuh cinta
Jantungku tiba-tiba berirama
cepat. Bulu kudukku berdiri tak hanya karena hawa dingin yang perlahan-lahan mengelus
kulitku. Aku terperangah.
“Hei!” tangan Gian
melintas cepat di depan mataku. “Lihat tulisannya, itu ukiran tangan Ai.”
Aku menatap tajam
tulisan itu. Gian benar, ini tulisan Ai, perempuan paling cantik di sekolah. Namun, apa mungkin ia suka kepadaku hanya karena tadi pagi aku telah
menenangkan hatinya?
Masao, lelaki berjambul
menepuk-nepuk pundakku. “Apa tidak sebaiknya kau menghampirinya, kemudian berterima
kasih karena sudah menghadiahkanmu puisi?”
Aku bergumam.
“Jangan banyak berpikir.
Cepat hampiri dia!” ujar Gian.
Kugulung rapi kembali
kertas ini. Aku melangkah menghampiri Ai. Ia sedang terlihat tertawa bersama
Asuka. Perempuan berkulit putih bak porselen itu sudah lama mencuri hatiku,
tapi aku tidak pernah berani menyatakan cinta padanya. Aku sadar, perawakanku
yang culun mustahil dapat berpacaran dengan Ai yang berlabel perempuan
paling cantik di sekolah.
Aku berhenti melangkah, lalu
menoleh ke teman-temanku. “Ayo, ini kesempatanmu! Nyatakan cinta!” seru Gian.
Aku mengangguk dan
tersenyum padanya.
Mungkin benar apa kata
teman sebangkuku itu, ini saatnya aku memberanikan diri menyatakan cinta.
Lagipula, tadi pagi aku dapat melihat tatapan mesra mata Ai yang berhasil menusuk
hatiku.
Dari samping mejanya, aku
menghela napas dalam-dalam. “Ai,” sahutku.
Ia menoleh ke arahku
dan menghentikan obrolan bersama Asuka. “Iya, Dai?”
Kuhempaskan senyum
terbaik padanya. “Terima kasih telah membuatkan puisi indah ini untukku.”
Kedua alis Ai mengernyit. Tangan kanannya meraih puisi yang kupegang, kemudian ia baca.
Ai tersenyum geli. “Ini
bukan tulisanku.”
Dengan cepat aku
merebut kertasnya kembali. Seketika teman-temanku tertawa terbahak-bahak di
belakangku.
Kutatap tajam puisi ini.
Kutatap tajam puisi ini.
“Perempuan paling
cantik mana mungkin suka denganmu, Dai, hahaha! D itu Datsuki, pacarnya. Baru
saja Ai balikan” ucap Gian.
Aku tertunduk malu di hadapan Ai. Seharusnya dari awal aku sadar teman-teman sedang mengerjaiku.
Aku tertunduk malu di hadapan Ai. Seharusnya dari awal aku sadar teman-teman sedang mengerjaiku.
“Kau ke kamar mandi gih, Dai. Mukamu merah, hahaha” ucap Ai kepadaku.
[1] Semalam saya hanya makan malam, menonton televisi, dan membersihkan rumah - dalam bahasa Jepang
[2] Terima kasih - dalam bahasa Jepang
*Cerita ini terinspirasi dari puisi yang terdapat pada halaman 447-448 pada buku 'HALO' karya Alexandra Adornetto.
[2] Terima kasih - dalam bahasa Jepang
*Cerita ini terinspirasi dari puisi yang terdapat pada halaman 447-448 pada buku 'HALO' karya Alexandra Adornetto.
ketahuan nih, latar tempatnya jepang kan..
BalasHapuscukup 'nyess' ceritanya.
Iya bener latarnya Jepang.
Hapus