Kopi Pahit Dari Hati Yang Sakit

Ilustrasi - Sumber: theinspirationroom.com

Aku menghela napas panjang ketika melihat mantan gebetanku datang menghampiriku. Detak nadi mulai mengalirkan darah kekecewaan karena pengalaman masa lalu dengannya. Kusunggingkan sedikit senyum di sudut bibirku agar pikiran ini lebih tenang. Jari jemari tetap berdansa di atas keyboard hitam Apple putih milikku.

"Lena, kau di sini?" sahutnya. 

"Iya," jawabku dengan ekspresi datar tanpa melihat kedua matanya.

"Boleh aku duduk di sini?"

Aku mendengus. "Waiters asian restaurant ini tak akan melarang customers untuk duduk."

Lelaki berkemeja abu-abu dengan motif batik naga di bagian dada kanannya itu duduk di hadapanku dan menaruh tas di atas kursi sebelahnya. Ia berdeham. "Apa kabar?"

"I'm fine," jawabku masih dengan pandangan ke layar laptop.

Ada secercah tawa kecil yang keluar dari bibirnya. "Kau sendirian di sini?"

"Menurutmu?" aku bertanya balik padanya yang diakhiri dengan mengetuk tombol ENTER pada keyboard dengan cukup keras. Aku menoleh ke wajahnya. "Kau penuh basa-basi. Langsung saja ke topik pembicaraan yang kau inginkan. Informasi apa yang kau mau dariku?"

Ia berdecak dan membenarkan sejumput rambut yang jatuh menutupi alis kirinya. "Cobalah kau tenangkan pikiranmu dulu, Len".

"Sekarang pun harus aku yang tenang?" Napasku mulai beraroma dendam. Alunan musik K-Pop yang ceria pun sama sekali tidak mampu mengundang ketenangan.

"Bukan itu maksudku," jawabnya. "Aku hanya ingin mengetahui kabarmu."

Kuturunkan sedikit layar laptop sebagai selingan tanda aku tidak senang dengan kedatangannya. "Sudah kubilang aku baik-baik saja."

Ia melayangkan senyuman padaku. Senyuman itu rasanya busuk. Ia memajukan badannya sedikit. "Kau tahu akhir-akhir aku merindukanmu?"

"Tidak," jawabku menggeleng, kemudian menyeruput hot milk chocolate milikku.

"Entah mengapa rasanya aku ingin kembali bersamamu, Len," katanya dengan suara yang halus bagai mendengar seorang seniman sedang membacakan puisi di hadapan ribuan orang dalam suatu pentas.

"Untuk apa kau kembali?" tanyaku. "Bukankah kau yang mengkhianati aku?"

"Soal itu aku minta maaf," ucapannya berhenti sejenak. "Aku khilaf."

Reflek bibirku agak tersenyum mendengar ucapannya. "Maaf tidak cukup menghapus luka dalam hati yang telah kau buat, Genta!" suaraku naik satu oktaf.

Tiba-tiba ia meraih tanganku, seketika itu pula aku lepaskan. "Itu salah paham, Lena."

"Tidak ada yang salah paham," bentakku. "Kau mendekatiku hanya untuk mendapatkan perempuan lain!"

"Kau tidak mengerti apa ..."

"Tentu aku sangat mengerti!" aku memotong ucapannya. "Apa kau belum puas balikan dengan Nia di saat kau sedang dekat denganku?"

"Ini salah paham, Lena".

Aku tak hiraukan ucapannya. Kuangkat jariku sebagai isyarat memanggil waiters. Beberapa detik kemudian waiters yang memakai dresscode serba merah datang menghampiriku. "Saya pesan hot coffee satu. Tidak perlu pakai gula ya"

Waiters itu mencatat pesananku di atas buku catatan kecil. "Ada lagi?"

"Sudah."

"Jadi lima belas ribu, Mbak."

Keberikan uang pas padanya. "Tunggu sebentar ya," katanya melanjutkan.

"Lena," sahut Genta. Mungkin dia gusar karena barusan aku mengabaikannya. "Ini salah paham, Lena."

Kemudian waiters tadi datang kembali sembari membawa secangkir hot coffee pesananku. "Terima kasih," ucapku tersenyum padanya.

"Kau masih ingin terus mengoceh?" tanyaku.

"Lena. Kau belum memaafkan aku?"

"Urusan maaf memaafkan siapapun yang memiliki salah padaku pasti aku maafkan," kataku. "Tapi hati ini bukanlah baja yang kuat menahan terjangan pukulan keras."

Ia meraih tanganku kembali, namun dengan sigap kulepaskan lagi. "Jangan sentuh aku!" ucapku yang membuat beberapa orang di sekeliling menoleh ke arah kami. "Kau itu pengkhianat. Kau pembohong."

"Tapi ..."

"Apalagi alibimu?"

"Kemarin aku balikan karena aku kasihan dengan Nia," katanya. "Ia membutuhkanku. Aku tidak tega dia berbaring di rumah sakit."

"Bagus dong itu tandanya kau sayang dengannya"

Ia diam seribu bahasa. "Lena maafkan aku," suaranya kini lebih pelan. Bola mata hitamnya seakan memelas meminta pengampunan dariku untuk kembali padanya.

"Aku tidak ingin bersamamu lagi apapun itu alasannya. Tidak ada lembaran baru untuk kita. Sudah cukup tiga tahun ini aku menunggumu. Cukup membuatku sakit dan kecewa."

"Lena, beri aku kesempatan lagi."

Dari belakang Genta aku melihat ada perempuan berambut cokelat sepunggung berjalan cepat menghampiri kami. Kedua matanya melotot dan bibir ranum delimanya kaku mengatup. Perempuan itu memakai rok warna merah sepaha dengan menenteng tas cokelat di tangan kirinya. Ketukan sepatu high heels-nya semakin berketuk kencang di gendang telingaku. Ia semakin dekat.

Perempuan itu berhenti di sebelah Genta dan menampar pipi kirinya dengan keras. Suara tamparan itu bagai gelas pecah yang tak sengaja tersenggol dan jatuh ke permukaan lantai. "Kau selingkuh dengan perempuan ini?"

"Nia, ini bukan seperti yang kau kira," ucap Genta berusaha defensif.

"Ah! Aku bosan mendengarkan ocehanmu yang hambar itu!"

Cangkir hot coffee milikku diraih oleh Nia dan disiram ke wajah Genta yang sedang terperangah dengan kedatangannya. "Puas kau pengkhianat!"

Wajah dan kemeja putih Genta basah dengan warna air yang hitam. Nia berjalan cepat meninggalkan kami. Aku segera beranjak dan meraih tas di bangku sebelah. "Terima kasih untuk selama ini," ucapku sebagai pesan terakhir padanya.

4 komentar:

  1. ah, parah amat sampe diguyur kopi.
    membahas masa lalu takkan ada habisnya~

    BalasHapus
  2. Disiram kopi panas rasanya mayan pedes jugak loh.. Si Genta ini labil kali dia.. :(

    BalasHapus
  3. Memang pantas disiram. Nanggung kalau secangkir. Teko nya sekalian kak wkwk

    BalasHapus