Panggil Saya Es Krim - #1

Part 1 - Ice Cream Enthusiast

Ilustrasi - Sumber: colinjamesfinefoods.com 

Lidahku berdansa setiap menikmati sejentik kesejukannya. Pernah menerjunkan diri ke permukaan samudra? Begitulah es krim ini. Nikmat :)

Tulisan kurang dari seratus empat puluh kata itu aku post di twitter lengkap dengan frame[1] sepotong foto es krim jenis gelato cokelat yang tengah kukulum. Inilah salah satu kebiasaanku, mencecerkan kelezatan es krim melalui akun anonim twitter bernama Panggil Saya Es Krim. Dari lima jutaan followers, hanya aku, keluargaku, dan sebagian teman-temanku saja yang tahu siapa creator di balik akun itu.

[1] Bingkai. Dalam ilmu broadcasting, frame berarti suatu gambar dari banyak gambar pada gulungan film yang sudah diekspos. Sebelum mengambil frame, kamera harus membidik suatu objek yang akan ditangkap sesuai sudut pandang yang diiginkan.

"Gimana tanggapan followers-mu?" tanya Ryan berapi-api. Lengkap dengan kemeja rapi, dasi hitam, dan sepatu pantofel cokelat tua dia menunggu pita suaraku bersuara.

Ekspresi intens yang sering kupamerkan saat membaca mention yang masuk ialah tidak lebih dari tersenyum. "Banyak lho yang bertanya es krim barusan ada di mana," ucapku bernada geli.

"Doy, jangan bilang kamu lupa menyebutkan brand-nya?" Ada seberkas siluet menahan tawa di ujung bibir tebal Ryan.

Aku tertawa lepas sambil menoyor kening. "Oh iya, haha. Ya sudah ini lagi mau dilanjut lagi."

Yang tadi itu namanya gelato, es krim dari Italia gitu deh, hehe. Padat, empuk, dan lezat. Bisa kamu beli di Gelato'z di Bogor. Don't missed it guys! :)

"Beres!" kataku seraya menaruh ponsel di atas meja hingga merefleksikan suara menggelutuk.

***

Hari demi hari berlalu, seperti biasa, tiada hari tanpa es krim. Sudah tujuh tahun aku menjadi ice cream enthusiast[2]. Entah sudah berapa ratus es krim yang meleleh dalam mulutku. Tidak terhitung. Memang tidak pernah berniat untuk menghitungnya karena aku membiarkan otakku terhipnotis oleh sensasi yang ditimbulkan es krim. Selalu begitu.

[2] Pecinta es krim

Kebetulan, kini antara apa yang kusuka dengan passion menulis telah berhasil berdifusi[3] menjadi hobi. Pada dasarnya, passion dariku ini merupakan turunan dari apa yang kusuka. Di berbagai kesempatan aku dihadapkan beberapa pertanyaan dari teman-teman, menulis atau makan es? Beberapa kali itu pula aku konsisten menjawab, es krim!

[3] Mengalirnya zat dari yang memiliki konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Contoh sederhana dari difusi adalah larutnya gula pada air tawar yang lambat laun mengubah rasa air menjadi manis.

"Kamu apa kabar skripsi-nya?" tanya Adelia kepadaku. Apakah bola mata berhias softlens cokelatnya sudah buram tidak melihatku sekarang sedang berhadapan dengan naskah skripsi di depan laptop? Lagipula di Coffee Shop seperti ini tidak bisakah dia melenyapkan pikiranku sesaat dari skripsi? Adelia justru malah mengingatkanku.

Adelia itu gebetan-ku[4]. Umur kami terpaut tiga tahun. Aku sudah hampir menggenggam gelar diploma, sedangkan dia baru duduk di bangku kuliah. Bagiku, perbedaan umur tiga tahun bukan hal yang harus dipermasalahkan, karena sesungguhnya cinta itu hadir bila hati ini benar-benar mengalami impact crater[5] saat ditimpa sebuah perasaan yang begitu besar mengandung asa.

[4] Orang yang tengah menjalin hubungan dekat.
[5] Kawah atau struktur geologi yang terbentuk di permukaan planet ketika komet menabrak planet.

Kami sudah tiga bulan tidak bertemu. Benar saja, Tuhan selalu memiliki cara untuk mempertemukan dua orang dengan privacy scenario milik-Nya. Ternyata, tidak ada dampak menakutkan apabila aku berpisah sementara waktu dengan dia. Adelia tetap seperti biasa, tubuhnya harum semerbak parfum branded, berambut cokelat ikal, dan berbibir sensual berwarna merah jambu.

"Kamu masih suka es krim?" bukan bertanya, lebih tepatnya Adelia mengonfirmasi. Mungkin, menurutnya, siapa tahu selama tiga bulan ini hobiku berubah. Seperti mudahnya membalikkan kedua telapak tangan.

Aku mengangguk mantap. "Yaa seperti perasaanku ke kamu gitu deh, haha."

Tanpa dapat kucegah, tangan Adelia berhasil mendarat ke bahuku. "Kok kamu mukul sih?" tanyaku sambil mengusap-usap bahu, meski pukulannya tidak menyakitkan.

"Kamu gombal!" dia tertawa lepas sambil menutup bibir.

Hening. 

Belasan menit berlalu, beberapa lembar naskah skripsi selesai kurampungkan. Ternyata, desain interior yang serba cokelat, sinar lampu yang menenangkan di mata, dan bonus hamparan aroma kopi yang menyeruak berhasil menyulutkan napsuku untuk menulis.

"Aku mau kuliah dulu ya, sebentar lagi jam empat," ujar Adelia seusai menilik jam tangan putih miliknya.

"Mau aku anter?" tawarku, sudah bersiap dengan kunci mobil yang ada dalam genggamman.

"Ih, nggak usah. Aku bawa kendaraan sendiri kok, haha. Lagipula kampusnya dekat dari sini, nanti kamu capek bolak-balik."

"Oh, iya!" Aku merasa bodoh dengan penyakit ringanku ini - sedikit pelupa. Padahal, mobil Yaris oranye mengilap milik Adelia bertengger di sisi kananku yang hanya tersekat oleh kaca transparan.

Seusai mengemas makalah dan beberapa buku ilmu komunikasi, Adelia menyugar rambut sambil becermin. Kemudian, membubuhkan bedak tipis-tipis ke kedua pipi bersemu merah muda yang tidak pernah luput dari detil persiapannya berkuliah. Kapanpun waktunya.

Adelia meneguk hot coffee milk penuh penghayatan. "Kamu banyak-banyakin inget aku deh."

"Lho, kenapa?" Dahiku refleks mengernyit.

"Biar nggak pelupa! Hahaha."

Aku menenggak hot black coffee dalam-dalam. Enek.

Adelia beranjak dari sofa, lalu berjalan menuju pintu keluar. Kaki jenjangnya yang terbalut jeans melangkah dengan anggun bak berjalan di atas catwalk. Itu bukan langkah kaki yang dibuat-buat, sudah alamiah turunan dari ibunya. Adelia memang memiliki pekerjaan sampingan sebagai model, jadi tidak asing lagi bagiku melihat dia berjalan begitu elegan.

***

Sore ini, Bogor akhirnya menunjukkan jati dirinya. Hujan Deras. Yang membuat geram bukanlah besaran frekuensi hujannya, melainkan aku sudah di luar pintu. Dengan berat hati, aku kembali menimbun punggung di muka kursi di halaman kafe. Namun, tidak butuh waktu lama aku dihampiri seorang lelaki memakai dress code layaknya orang kantoran.

Lelaki berambut pendek itu tersenyum ramah. "Mas, perkenalkan, saya Brian." Seusai berjabat tangan, dia tidak memberikan celah untuk aku bicara. "Boleh saya duduk bersama Mas Doy di sini?"

"Oh silakan." Tiba-tiba tenggorokanku dihantam ludah karena tadi Mas Brian menyebut namaku. "Maaf, Mas, kok tahu nama saya?"

Dia hanya tersenyum sekilas. "Saya ini sudah lama sekali menjadi penggemar berat tulisan Mas Doy di blog dan twitter. Doyaddict! Haha."

"Terima kasih lho Mas."

"Hemm... Ingin mengobrol di sana atau di dalam?" tawarnya sambil melucu. Aku nyaris tebahak.

"Ah, di sini saja Mas, lebih tenang ngeliat hujan. Siapa tahu jadi ingat masa lalu, hehe," candaku. Kemudian, aku serius. "Senyawa dua-decanone[6] lebih sejuk daripada dihantam angin AC melulu, Mas. Jadi, di sini saja."

[6] Senyawa yang terdapat pada petrichor atau hujan. Aroma alami yang ditimbulkannya dapat tercium saat hujan. Menurut dua peneliti Australia, Bear dan Thomas dalam artikel berjudul Nature (1964), selama hujan, minyak dilepaskan ke udara bersama senyawa lain, geosmin, suatu metabolik produk sampingan dari Actinobacteria tertentu yang dipancarkan oleh tanah basah menghasilkan aroma khas. Banyak orang beranggapan, mencium aroma hujan dapat menenangkan dan mengundang mengingat masa lalu.

"Oke, kalau begitu." Dia manggut-manggut. Seusai membenarkan posisi duduk, dia berdeham lembut. "Saya sangat menyukai tulisan Mas Doy di blog. Diksinya seru dan alurnya bikin nagih seperti kepingin makan es krim terus. Yaa berhubung saya ini pengusaha sekaligus seorang CEO di perusahaan multinasional di Jakarta, jadi saya ingin menawarkan sesuatu ke Mas Doy."

Pemilihan kata Mas Brian kepadaku itu layak diacungi jempol. Membumi dan tahu takaran yang tepat untuk mengobrol dengan anak muda seperti aku. Lelaki sekelas CEO seperti Mas Brian pasti setiap hari melahap istilah-istilah yang sebagian besar asing di telingaku.

"Tawaran apa?" tanyaku sebisa mungkin tanpa campuran basa-basi.

"Bagaimana kalau kita bikin bisnis es krim? Bikin tempat seperti ini, tapi yang lebih besar dan semua menunya es krim."

Tidak ada respon yang murni keluar di bibirku selain tertawa. "Mas, serius?" tanyaku, seakan napas tersekat di paru-paru.

Dia mengangguk mantap.

"Saya ini hanya mahasiswa lho, Mas." Aku tersadar bahwa tadi nada suaraku terlalu pelan karena tergerus suara hujan. Aku mengulangi. "Saya hanya mahasiswa Mas, belum ada track record berbisnis. Nggak ada pengalaman bisnis benaran sama sekali."

Entah karena pengaruh apa, hujan perlahan mulai jenuh untuk membasahi bumi. Langit senja mulai menampakkan keindahannya. Kini, suara klakson mobil yang bersahutan menggema di sekitarku. Mungkin, karena efek dari kami berada di kafe yang bersisian dengan lampu merah.

"Kamu itu bukan hanya mahasiswa," not suara Mas Brian menekan.

"Lalu saya ini apa?" Seketika aku menggaruk kepala, kemudian meralat. "Maksud saya, apa yang Mas lihat dalam diri saya sampai Mas begitu yakin mengajakku berbisnis."

"Saya melihat Mas Doy itu lihai menciptakan strategi komunikasi dalam menyampaikan sesuatu. Mas sadar itu?"

Aku menggeleng setengah mengangguk. Bila dipikir-pikir, ucapan Mas Brian ada benarnya juga. Aku getol membagikan tulisanku mengenai es krim di blog maupun di twitter dan hasilnya, banyak yang suka. Mungkin, kini peta pikiran Mas Brian denganku mulai selaras: meraup konsumen dari orang-orang yang menyukaiku dari nama akun twitter dan blog Panggil Saya Es Krim.

Bibirku menguncup dan otakku mulai bertebaran debu kosmik[7].

[7] Partikel berukuran sangat kecil yang melayang-layang di angkasa. Seperti asap, yang paling besar berukuran 0,1 mm.

"Ya sudah, kalau kamu masih mempertimbangkan tawaran saya." Lelaki berambut klimis itu merogoh dompet dari saku belakang, lalu memberikan kartu nama kepadaku. "Ini kamu simpan. Kalau tertarik silakan hubungi saya. Di manapun kamu ingin bertemu, saya siap datang."

"Saya harus segera kembali ke kantor," lanjutnya seusai melirik jam tangan. "Jam enam saya ada meeting dengan investor. Jadi, kamu tidak perlu khawatir mengenai pengalamanku di bidang bisnis. Aku pun percaya denganmu. Kamu juga pasti bisa."

Tanpa memberikan ruang untuk aku berbicara, Mas Brian dalam hitungan detik telah menjabat tanganku dan berjalan menuju mobil merah berlogo kuda yang kini melipir sendirian di tempat parkir. Dia melambaikan tangan sebelum mencemplungkan kepala ke dalam mobil. Sinar lampu depan membelalak terang. Mas Brian semakin gagah ketika berada di dalam sana. Masih muda, hidupnya sudah mapan.

Aku membuka dompet dan melihat tumpukan kartu nama di sebelah kotak KTP. Ketika mobil Ferrari milik Mas Brian dipacu hingga menciptakan suara menggeram, aku berhasil mengapungkan suara yang sedari tadi melilit di tenggorokan. "Mas Brian ini orang ke empat belas yang menawariku kerja sama bisnis."

1 komentar: