Panggil Saya Es Krim - #2

Part 2 - Penulis atau Pebisnis

Ilustrasi - Sumber: google.com

Dua minggu belakangan ini aku bukan sengaja berevolusi menjadi seseorang yang autothaumaturgist[8]. Hanya saja semua yang tengah terjadi pada diriku benar-benar membuatku kurang nyaman. Aku bimbang. Aku butuh waktu untuk sendiri. Butuh oksigen yang lebih bebas singgah di paru-paruku tanpa bisa merisak pikiranku.

[8] Sebutan untuk orang yang berlagak misterius

Kucoba menimbun punggung di muka sofa kulit ini. Buku kecil kubuka berharap jemari ini tergerak menuliskan sesuatu. Mungkin, ini waktu yang tepat untuk mengeluarkan segala resahku melalui tulisan. Berharap keamburadulan pikiranku ini dapat mengondensasi menjadi pemikiran yang lebih padat, serta positif. Aku hanya sedang tidak ingin memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak kupikirkan.

Wahai matahari...
Sejujurnya, aku sedang tidak butuh pencahayaanmu atau segala apapun tentangmu
Aku tidak butuh senyummu saat engkau pertama kali menarik garis lurus mengenyahkan kegelapan
Apalagi sinar senjamu yang dirindukan banyak orang
Aku hanya butuh "sesuatu" seperti engkau yang setia menyinari bumi tanpa satu detikpun tertidur

Wahai bintang...
Aku tahu, engkau kini belum berbinar
Kecil ukuranmu membuatmu tenggelam dimakan sinar terang
Aku tahu, engkau selalu ada di atas langit sana
Hanya saja kau butuh kegelapan untuk bersinar indah

Wahai cinta...
Yang kini belum juga hadir untukku
Ke mana engkau sebenarnya?
Apakah perlu ada hujan air mata lalu engkau datang bak malaikat dari surga?
Di mana cerita manis yang kau sembunyikan?
Aku sedang tidak ingin merasakan takdir

Tuntun aku, untuk segera menemukan cinta sejatiku

"Permisi, dengan Mas Doy? Ini dark chocolate latte-nya." Seorang waitress datang dengan hati-hati menaruh secangkir pesananku ke atas meja.

"Makasih ya," ucapku.

Aku menutup buku, melepas kaca mata, dan refleks mengacak-acak rambutku. Kuaduk minuman yang tengah menyembulkan asap hangat ke udara. Aromanya sungguh menggelora di hidungku. Kuseruput perlahan melalui sedotan mungil berwarna hitam. Hangatnya seketika melegakkan kerongkonganku dan harum cokelatnya membekas di hidungku.

Dari balik jendela kaca transparan aku menyaksikan beberapa orang sedang asyik dengan kegiatannya masing-masing. Yang paling disorot mataku adalah dua orang yang tengah duduk berdua di bawah pohon rindang. Keduanya mengobrol dan tertawa bersama. Tidak ada sekat yang memisahkan keduanya. Bahkan, daun kering yang jatuh ke kepala si perempuan membuat sang lelaki mengusap rambut dia penuh kemesraan.

Bibir si perempuan berbaju abu-abu lengan panjang bergerak seolah berkata, "terima kasih sayang." Si lelaki hanya membalas dengan tertawa kecil. Mereka lalu lanjut bersenda gurau.

Hidup ini terlalu sempit bila hanya mengapung di atas permukaan cinta. Juga terlalu sesak jika hanya mengejar harta. Sebentar lagi aku akan diwisuda. Rasanya, gelar bukanlah sesuatu yang kuagungkan. Apalagi kemewahan dunia yang menyilaukan banyak pasang mata manusia ini hanya terhias sekilas saja.

Aku kembali menyeruput minumanku. Pikiranku mulai tenang. Inilah efek dari minuman yang kusuka. Aku jadi sadar, bahwa hidup bukan hanya bicara tentang tanah, air, udara, atau sebagainya, tapi bagaimana agar hidup bahagia tanpa harus selalu mengaitkan cinta. Namun, aku kembali berpikir, bukankah untuk bahagia kita membutuhkan cinta? Karena cinta yang membuat kita tersenyum, tertawa, dan bersedih. Bukankah itu yang membuat hidup jadi berwarna? Sekarang, aku hanya dapat berdoa, semoga siapapun orang yang mencintai aku dapat jatuh seperti hujan yang tidak memilih tempat di mana dia akan bertepi. Aku hanya rindu cinta pertamaku yang seperti itu.

***
Saat di perjalanan menuju rumah, aku ditemani lagu-lagu hits dunia dari salah satu radio ternama. Mungkin, radio itu memiliki kekuatan indra keenam yang dapat membaca suasana hatiku yang tengah berkabut. Mereka menyalakan lagu Someone Like You milik Adele. Dentingan lembut piano pada lagu itu seakan memancarkan appoggiaturas[9], hingga mampu menelusuk sampai ke hati dan mataku

[9] Istilah teknis untuk not dalam lagu yang menyebabkan orang menangis.

Mungkin, otakku enggan ingin terlalu lama tenggelam dalam ingatan masa lalu, tiba-tiba saja aku teringat dengan kartu nama yang diberikan Mas Brian. Dengan cepat aku merogoh kartu nama itu yang kusandingkan di sebelah kotak KTP. Sembari fokus menyetir, aku berusaha untuk tidak membuang waktu menelepon Mas Brian. Kusempilkan headset di telingaku agar tidak repot memegang ponsel sambil menyetir.

"Halo, selamat sore," sahut dari sana ketika teleponku diangkat.

"Sore, Mas. Ini saya, Doy yang beberapa minggu lalu ketemu Mas Brian di..."

"Oh, Mas Doy. Bagaimana kabarnya? Sudah membuat keputusan?" dia menyetop ucapanku.

"Saya baik, Mas. Jadi begini..." kuberikan jeda sebentar. "Sepertinya saya belum bisa menerima tawaran Mas Brian."

"Lho kenapa? Apa ada tawaran yang lebih menarik dari saya?"

Dengan bertanya seperti itu, sebenarnya aku sudah hilang napsu untuk berbicara lebih lanjut. Kuhela napas dalam-dalam. Bersabar. "Bukan begitu Mas. Sebenarnya, Mas Brian itu orang keempat belas yang menawari saya kerja sama bisnis."

"Memang kenapa kalau saya yang keempat belas?"

"Yaa sepertinya saya belum siap menerima tawaran Mas. Saya ini hanya ice cream enthusiast, bukan peracik es krim. Aku bekerja dengan lidah, bukan tangan."

"Mengapa tidak bekerja dengan keduanya?" Terdengar suara gumamman di sana. "Kamu punya teman yang bisa meracik es krim?"

Seketika kepalaku seperti terbentur dinding sebesar pohon Redwood. Nama Ryan langsung tercetus di bibirku. "Ada, Mas. Namanya Ryan."

"Nah, itu kuncinya!" Mas Brian tertawa kecil. "Kamu bisa kerja sama dengan dia. Biar si Ryan itu yang membuat es krim dan kamu yang jadi CEO-nya."

Aku termangu. Refleks aku membanting ponsel ke kursi sebelah. Kutengok kaca spion kanan. Selagi tidak ada kendaraan di belakang dan depanku, dengan cepat aku memutar kemudi. Berbalik arah.

"Halo? Mas Doy?" Kubiarkan ponsel itu terus berkicau.

***
Aku memilih Starbuck sebagai gerai terakhir yang kusinggahi. Selagi menunggu Ryan datang, aku meluangkan waktu bercengkrama dengan jutaan followers Panggil Saya Es Krim. 

Selamat malam, aku lagi mau malem mingguan nih, tapi bukan sama pacar, hehe. Ada yang mau bertanya nggak? Yuk :)

Tidak butuh waktu lama, sudah banyak mention yang masuk. Aku menyaring pertanyaan dari mereka untuk kujawab.

Dari @Sxxxxxx: Hai, min. Aku mau ketemu mimin dong. Mimin lagi di mana? hehe"

Panggil Saya Es Krim: Hai, Shena. Aku lagi di Botani nih. Kalau mau ketemu, bawa es krim cokelat dulu ya :)

Seusai menjawab berbagai macam pertanyaan, mataku terpaku kepada salah satu mention yang baru masuk. Melihat pertanyaannya pun sempat membuat aku agak bergetar.

Dari @Axxxxxx: Min, bikin toko es krim dong. Kapan nih? Aku bakal jadi pelanggan pertama deh! Seriusan min.

Panggil Saya Es Krim: Wah, keren! Semoga bisa jadi kenyataan ya. Doain dulu aja, thaks Asyila :)


"Tumben ngajak ketemuan malem minggu, Doy. Ada apa?" tanya Ryan penasaran. Raut wajahnya seakan mewakili persepsi yang bermunculan di kepalanya.

"Kalau kamu diajak bisnis mau nggak?"

Ryan bergumam sebentar. "Boleh aja. Bisnis apa? Es krim?"

Aku mengangguk mantap. "Ada investor yang mau membiayai semua modalnya."

"Serius?" nada suara Ryan naik satu oktaf.

"Iya," jawabku singkat sembari mengetuk-ngetuk meja menggunakan jari telunjuk, lalu menenggak coffee latte. "Awalnya,aku menolak, tapi setelah dipikir-pikir ini peluang kita."

Dengan ekspresi penuh keyakinan, Ryan membalas, "bagaimana kita eksekusi rencana bisnis ini setelah kita wisuda?"

"Kita harus bikin proposal bisnis dulu, Yan," aku mengingatkan.

"Oh begitu?" Dua alisnya sontak menaik. "Ya sudah, aku yang bikin. Kamu fokus pada branding, promosi, dan strategi marketing aja. Kamu kan anak komunikasi, pasti ngerti itu. Biar aku yang membuat pemetaan finance."

"Bagus." Aku menyetujui.

"Selagi muda kita sebaiknya berbisnis. Laki-laki zaman sekarang kalau cuma duduk di kantor kayaknya nggak keren."

Aku terbahak mendengar gurauan Ryan. Ketika dia beranjak dari tempat duduk untuk memesan minuman, aku meraih ponsel yang kutaruh di saku celana.

"Halo, Mas," sahutku.

"Tadi kamu kok nggak ada suaranya ya? Apa ponsel saya yang rusak?" nada suara Mas Brian terdengar bingung.

"Nggak kok, Mas. Maaf tadi saya lagi menyetir terus ada polisi, jadi takut ditilang."

"Oh, kenapa tidak pakai headset saja, Mas?"

Aku menelan ludah sekeras mungkin. "Begini, Mas." Aku mulai mengalihkan topik. "Saya sudah bertemu Ryan. Aku setuju bekerja sama dengan Mas."

"Alhamdulillah, syukur kalau begitu. Ini memang peluang kita. Apalagi kamu anak muda, otaknya pasti kreatif. Blog dan twitter kamu saja terkenal di mana-mana. Bahkan, sampai di Singapura dan Amerika lho. Teman saya tahu ada Panggil Saya Es Krim."

"Bisa aja Mas, hehe," aku menahan nada suara agar tidak melayang dengan pujiannya. "Jadi, nanti saya kabari ya Mas akan bertemu kapan untuk bahas rencana bisnis ini."

"Oke, saya siap. Tolong diatur jadwalnya. Saya ikut jadwal Mas Doy saja."

"Sip, Mas."

"Eh, tapi saya ingin tahu apa yang membuat kamu berubah pikiran?"

"Setelah dipikir-pikir, saya ingin menantang diri saya untuk menjadi penulis dan pebisnis, Mas."

"Keren!" ucap Mas Brian bersemangat. "Hidup memang harus memiliki tantangan."

"Setuju, Mas! Ya sudah kalau begitu, terima kasih ya Mas."

"Ya, nanti kabari saya ya."

"Oke, Mas nanti saya kabari. Malam," tutupku.

Beberapa detik kemudian, Ryan datang namun tidak langsung duduk. "Tadi ada telepon?"

"Iya, aku udah bilang setuju sama Mas Brian."

"Yeah!" teriak Ryan dengan tangan mengepal. Sepertinya dia lupa di tangan kirinya ada segelas caramel macchiato, hingga membuat minuman itu terbanting ke atas meja. Beruntung, minuman itu tidak tumpah karena aku berhasil menangkapnya.

- Lanjut ke Part 3 (coming soon)

0 komentar: