Hani Tidak Boleh Bangun Malam Ini

Ilustrasi, sumber: google.com
Cerpen ini ditulis untuk mengikuti tantangan menulis #FiksiPaedofil dari @KampusFiksi 

“Jaga anak-anakmu pada malam hari. Jangan biarkan cahaya bulan merenggut kesuciannya. Jangan biarkan pula dinginnya malam menjadi hangat dalam tubuhnya. Malam hari bukanlah teman anak-anakmu. Bila dibiarkan, anak-anakmu akan menjadi lilin di tengah kegelapan. Percayalah.”

Begitulah sekiranya ucapan dari seorang kakek kepada pemuda yang sedang menyesap kopi hitam di warungku. Mungkin karena penasaran apa yang kuperhatikan dari mereka, sang kakek berhenti bicara. Dia menoleh ke arahku.

“Hei, nona. Sekarang sudah jam sepuluh malam, bukan waktunya lagi untuk bekerja. Bagaimana kalau kau dengar cerita dariku?” tawar sang kakek seraya mengelus jenggotnya yang sudah memanjang. Kupikir, suaranya yang agak bergetar lebih baik pada malam ini dia sudah ada di atas tempat tidur untuk beristirahat, bukannya berkeliaran di warung.

“Cerita apa?” tanyaku.

“Apa kau tahu di desa ini ada seorang paedofil?”

Kakek ini membuatku naik darah, ditanya malah bertanya balik.

“Ah, aku tidak tertarik mendengar hal-hal porno. Maaf.”

Seketika itu juga aku melangkah mengabaikan mereka. Namun, kakek itu menyahut seolah tawaran cerita darinya adalah sesuatu yang sangat penting dan mendesak.

“Ini kisah tentang misteri. Bukankah kau sering membaca novel misteri?”

“Dari mana kau tahu?”

“Suamimu.” Kakek itu menghabiskan kopi dalam satu tegukan. “Ah, lupakan. Duduk saja di sebelahku. Tugas kalian hanya dengarkan cerita ini saja. Bila percaya silakan dinikmati. Bila tidak, coba diresapi. Siapa tahu berguna demi melindungi anak-anak kalian.”

Aku menghela napas dalam-dalam. Udara di sekitar leherku terasa dingin. Pemuda di sebelahku memasukan kedua tangannya ke dalam kantung jaket.

Kakek itu mulai bercerita.

***

Pada suatu malam, tepatnya lima tahun lalu, desa ini dituruni hujan lebat. Seorang anak bernama Ve menatap hujan penuh penghayatan. Memandang lurus seraya mendengar lantunan air yang menghantam genting rumahnya. Saking kedinginan, tubuh Ve sampai menggigil. Namun, dia tetap bergeming berdiri menatap hujan.

“Anakku, kenapa larut malam begini belum tidur?” ucap sang ayah dari ambang pintu.

“Aku rindu Niah, Pah.”

Dengan langkah kaki yang sayu, sang ayah menghampiri Ve, lalu merangkulnya dari belakang. Sungguh, untuk seukuran anak SD kelas empat, itu adalah pelukan yang sangat nyaman. Erat dan menghangatkan.

“Adikmu sudah tenang di surga, Nak.” Sang ayah mencium pipi kanan Ve dengan lembut, sekadar meyakinkan bahwa adiknya baik-baik saja di alam sana. “Besok pagi kamu harus sekolah. Ayo, adikmu saja sudah tidur di kamar. Tidak baik anak seusiamu jam dua belas malam begini belum tidur.”

“Tapi, Pah,” Ve berhenti bicara. “Apa yang membuat Niah pergi ke surga?”

Lidah sang ayah kelu. Dia lebih memilih mencium anaknya kembali, mengeratkan pelukannya, dan menuntunnya masuk ke dalam.

Aku memotong cerita kakek itu. “Pasti setelah ini anak itu diperkosa!”

“Iya,” kakek itu membenarkan.

“Ah, sudah kubilang aku tidak bernapsu mendengarkan cerita porno!”

Sigap dia menahan tanganku. “Duduklah. Dengarkan sampai selesai, maka kau akan mengerti apa yang seharusnya kaulakukan.”

Entah terbius apa sehingga aku menuruti perintahnya. Padahal, aku tidak paham apa yang dia katakana barusan.

Sang kakek berdeham, lalu melanjutkan.

Di kamar itu, Ve terayu untuk membuka baju. Ayahnya terus menciumi bibir Ve sampai basah mendesah. Dadanya diremas dan dinikmati layaknya menyusu.

Ve tidak sadar sudah menjadi pemompa testosteron ayahnya. Perlahan, celana Ve dibuka hingga dia telanjang bulat. Malam itu pula, tubuh Ve rapuh bak potongan kayu yang terombang ambing arus sungai. Ve hanya dinikmati. Menyerah diri. Pasrah dalam kehangatan.

Aku memotong ucapan kakek lagi. “Sudah selesai?”

“Ini pasti ceritanya fiksi,” komentar pemuda di sebelahku.

“Belum selesai dan ini bukan cerita fiksi.” Suara kakek itu konstan, pelan penuh teka-teki. “Bisa kulanjutkan?”

Aku dan pemuda sebelahku serempak mengangguk.

Karena sudah hampir satu jam berlalu, Ve akhirnya bersuara lemas, “Ayah, kapan ini selesai?”

Ayahnya tidak kunjung menjawab. Dia terlalu sibuk memuaskan birahi dengan gaya berpangku. Ve sangat layu sambil seerat mungkin memeluk sang ayah. Beberapa menit kemudian, klimaks itu terjadi. Di dalam.

Akibat kejadian itu, Ve sering terlihat murung di sekolah. Setiap Rabu malam pun Ve selalu berdiri di beranda rumah menanti kepulangan adik pertamanya. Namun, asa itu hanya impian yang mustahil terwujudkan.

Semakin hari kesehatan Ve semakin memburuk. Ve dilarikan ke rumah sakit dan didiagnosa mengidap HIV. Sang ibu sangat tidak percaya penyakit itu menimpa anaknya, sebab dia yakin Ve sudah dibentengi aturan keluarga yang ketat serta pengetahuan agama yang cukup. Apa daya, Ve meninggal dua hari kemudian.

Aku terus mendengarkan cerita si kakek sampai tidak terasa waktu sudah hampir pukul dua belas malam. Bila sudah begini, aku pasti dimarahi suami karena pulang telat.

“Maaf, aku harus kembali ke rumah. Aku hanya takut suamiku marah, sudah jam segini tapi aku belum pulang.”

Kakek yang belum kuketahui namanya itu tersenyum. “Kau pasti tahu apa yang seharusnya kaulakukan.”

***

Cerita kakek di warung tadi terus terngiang. Aku jadi semakin sayang dengan anakku. Maka, kukecup kening dan kupeluk anakku sebelum tidur malam ini. Mungkin, karena kelelahan berlari sejauh tiga ratus meter, aku seakan dininabobokan oleh hawa dingin hujan yang baru saja turun.

“Kejadian keji itu selalu berulang di setiap Rabu pukul dua belas malam. Ve menderita, kesakitan, dan tidak berdaya. Kalau tidak salah, aku punya foto Ve dengan dua adiknya di dalam tas kecilku. Nah, ini dia.”

Tiba-tiba aku mengalami hypnagonoic jerk[1]. Napasku terengah. Pintu kamar terdengar diketuk tiga kali. Berulang. Mataku bugar menyadari anakku tiba-tiba bergerak ingin melepaskan pelukanku. Tapi, aku berhasil membuatnya tetap diam di tempat tanpa bersuara.

“Sayang?” ucap suamiku.

“Hani sudah tidur,” balasku lembut meski jantung ini berdebar keras.

“Serius? Tapi katanya dia ingin melihat hujan di luar.”

“Hani tidak boleh bangun malam ini.”

*End*


[1] Fenomena saat tidur, lalu tiba-tiba terbangun karena perasaan kaget seperti mau terjatuh. Ini dapat disebabkan karena kondisi tubuh yang terlalu lelah, kurang tidur, maupun stress.

2 komentar:

  1. Save Our Children Bro... Keren cerpennya, jadi nemu istilah baru hypnagonoic jerk yang selama ini gue alamin pas lagi tidur.

    BalasHapus
  2. Keren ceritanya,, agak horor gimana gitu,,

    BalasHapus