Wanita Bulan Purnama

Sumber: google.com

'Kamu tahu tidak di desa kita selalu ada wanita yang mandi bulan di saat purnama?' tanya Sarie sahabatku.

'Ah masa? Kamu percaya dengan mitos itu?' tanyaku balik.

'Ini bukan mitos!' matanya membelalak ke arahku. 'Teman-temanku di desa ini dan desa sebelah juga selalu melihatnya kok, termasuk aku'.

'Ah aku tak percaya' kumalingkan pandanganku darinya.

Obrolan yang awalnya terbilang santai, kini berubah jadi mistis. Malam-malam ditemani bintang yang indah, tak membalut kami berdua dengan keindahan itu. Sekarang justru membuatku agak bergidik. Sarie banyak bercerita tentang wanita bulan purnama. Aku sungguh tak percaya. Lagipula bagaimana caranya mandi bulan purnama. Aku tak tahu. Juga tak ingin pernah tahu.

Cerita itu muncul seiring adanya berkali-kali laporan banyak orang telah melihat seorang wanita berbaring di sebuah bukit yang jaraknya lima ratus meter dari desa ini. Bukit itu bernama 'Bukit Cantik'. Diberi nama seperti itu, konon katanya, wanita yang seusai mandi bulan tersebut wajahnya terlihat lebih cantik. Indah merona. Dari berbagai laporan, ada hal yang sama dalam cerita tersebut, yaitu si wanita selalu memakai daster putih hingga menutupi telapak kaki, rambut hitam tergerai panjang sepunggung, dan selama mandi bulan ia berbaring di atas rumput hijau sembari memegang bunga mawar. Si wanita datang sendiri, tanpa didampingi siapapun. Biasanya ia mandi bulan selama dua puluh menit. Hingga sekarang, orang-orang di sini belum tahu siapa wanita itu.

---

Aku diberitahu Sarie bahwa malam ini pukul sebelas akan ada wanita bulan purnama di Bukit Cantik. Ia mengajakku untuk melihat bersama teman-temannya agar aku percaya. Lantas sebelum pukul sebelas aku harus ke bukit itu, terlebih dahulu aku bercerita ke Ibu tentang wanita bulan purnama ini.

'Bu..' sahutku dari balik pintu kamar.

Ibu yang sedang mengaca di dalam kamar sembari merapikan rambutnya, menoleh, lalu mambalas, 'Iya, Nak ada apa? Sini masuk'.

Aku duduk di samping Ibu. 'Hmm... Ibu tahu tentang wanita bulan purnama?'.

'Apa itu?'.

'Kata temanku, di setiap tanggal lima belas selalu ada wanita yang mandi bulan di bukit dekat desa ini. Ibu tidak tahu?'.

'Iya Ibu tidak tahu, Nak' balasnya sembari menggeleng, masih merapikan rambut dengan sisir merahnya.

'Aku penasaran, Bu. Katanya, dia semakin cantik setelah mandi bulan'.

'Ah masa?'.

'Iya, Bu. Ibu saja sudah cantik, kalau mandi bulan pasti tambah cantik ya, Bu' jawabku tersenyum, lalu memeluk Ibu.

Aku terpesona dengan kecantikan Ibu. Meski umurnya sudah menginjak kepala empat, tapi wajahnya tetap terlihat cantik terawat. Ia awet muda. Aku ingin sekali seperti Ibu. Di wajahnya belum tampak kerutan wajah, kulitnya masih kencang layaknya gadis yang rajin melakukan perawatan kulit di salon-salon mahal, rambut hitam panjangnya wangi, dan suaranya pun lembut. Katanya Ibuku, rahasianya hanya perbanyak murah senyum kepada setiap orang.

Sepuluh menit lagi, jarum pendek jam dinding berhenti di angka sebelas. Aku sudah diberi pesan oleh Sarie untuk berangkat sekarang ke Bukit Cantik. Sebelum ke sana, terlebih dahulu aku ke kamar mandi untuk mencuci wajah, tangan, dan kaki. Baru saja beberapa langkah keluar kamar mandi, Ibu yang menggenggam baju di tangan kirinya datang kepadaku. Ia berkata, 'Nak, Ibu mau pergi dulu ya. Mau ada keperluan'.

'Mau kemana, Bu. Pulang jam berapa?'.

'Kamu tak perlu tahu, Nak. Hanya sebentar saja' ia mengelus rambutku. 'Kamu kalau sudah ngantuk lekas tidur ya'. Kemudian ia mencium keningku.

'Iya, Bu'. Aku tersenyum.

Ibu pergi meninggalkan rumah, menutup rapat pagar, kemudian belok ke kiri. Aku memerhatikan Ibu dari balik pintu, tubuhnya semakin tak terlihat termakan kegelapan malam. Lantas ini saatnya aku pergi juga dari rumah untuk bertemu Sarie dan teman-temannya. Kukunci pintu dan menutup rapat pagar. Aku berjalan searah dengan jalan yang dilalui Ibuku tadi. Selama berjalan menuju Bukit Cantik, aku sesekali menengadah ke atas melihat bulan. Ternyata, bulan purnama itu sangat cantik. Kemana saja aku selama ini baru menyadari rupawannya cahaya yang dipancarkan bulan yang hanya hadir dua belas kali setahun. Ternyata, Tuhan mengetahui cara membuat hambanya tersenyum dengan hal yang sangat sederhana: melihat bulan.

Aku, Sarie, dan dua teman lainnya bertemu di sebuah gang kecil yang mengarah ke Bukit Cantik. Kami berempat memakai baju hitam untuk memanipulasi warna agar sama seperti warna malam hari. Dengan bersembunyi di balik pohon besar ini semoga wanita itu nanti tidak menyadari kehadiran kami. Sekarang, di jam tangan Sarie sudah menunjukkan pukul sebelas. Aku semakin penasaran dengan wanita itu.

Beberapa saat kemudian, wanita bulan purnama itu datang. Apa yang digambarkan Sarie benar adanya. Ia memakai daster putih hingga menutupi telapak kaki. Wanita itu berhenti di depan kami terpaut seratus meter. Aku melihatnya berbaring. Sayang, kami melihat wanita itu tidak dari depan, melainkan dari belakang. Sehingga tidak terlihat wajahnya.

'Kamu sudah percaya, Cha?' tanya Sarie menoleh ke arahku, sambil berbisik.

Aku mengangguk membisu, fokus melihat ke wanita berambut sepunggung itu.

Sebelum dua puluh menit, kami sepakat untuk pulang. Sesampainya di rumah, Ibu belum pulang. Aku masih terbayang dengan wanita bulan purnama tersebut. Ia benar-benar ada. Aku ke ruang makan untuk minum air dua gelas, lalu masuk ke dalam kamar dan tidur. Enggan terlalu memikirkannya.

---

Dua bulan kemudian.

'Bu. Wanita bulan purnama itu benar-benar ada loh. Ibu masih tidak percaya?' kataku kepada Ibu.

'Kamu melihatnya?' jawab Ibu sembari menyiram tanaman kesayangannya. Sesekali ia mencium aroma bunga yang dipegang.

'Lihat, Bu. Sudah dua kali'.

'Berarti kamu memburu dia setiap tanggal lima belas?' Ibu berhenti menyiram, dia menengok ke arahku.

'Kok Ibu tahu kalau wanita itu selalu ada di setiap tanggal lima belas?'.

'Bulan purnama itu muncul selalu di tanggal itu sayang'. Ibu lanjut menyiram.

'Oh, iya, hehe..' aku terkekeh-kekeh menertawai diri sendiri. 'Tapi Bu, sampai sekarang aku dan teman-temanku belum tahu siapa dia'.

'Sepertinya kamu tak perlu tahu, Nak'. Ibu menyimpan gembor di atas rumput. Ia menghampiri, duduk di kursi kayu cokelat sebelahku. 'Kamu tahu apa tentang wanita bulan purnama itu?'.

'Hanya sebatas ia berbaju daster putih, selalu rebahan di bawah sinar bulan, dan selesai mandi bulan bila sudah dua puluh menit lamanya. Katanya sih itu yang membuatnya tambah cantik' jawabku.

'Oh begitu ya'. Ibu mengelus rambutku. 'Untuk cantik tak perlu serumit itu, Nak. Senyum pun sudah membuat wanita terlihat cantik. Termasuk anak Ibu ini'.

Ibu mencium keningku. 'Ibu sayang sama kamu, Nak'.

'Aku juga sayang Ibu'. Kami saling merangkul.

Bulan kedua, aku dan Sarie melihat wanita bulan purnama. Bulan ketiga melihat juga. Bulan ke empat pun sama. Selama itu, aku dan Ibu jadi selalu bersamaan keluar pada tanggal lima belas di waktu mendekati pukul sebelas. Ibu dengan urusannya, sedangkan aku melihat wanita bulan purnama. Aku mulai bosan dengan kebiasaan ini. Aku menemukan titik jenuh. Namun, Ibu tak sama sepertiku. Ia tetap giat memberesi urusannya meski harus diselesaikan pada hampir tengah malam.

Sekarang tanggal lima belas. Aku mulai tidak bernapsu untuk melihat wanita bulan purnama. Sesekali aku ingin bersama Ibu di rumah. Ingin rasanya menikmati pekat malam, mendengarkan alunan nyanyian jangkrik dari kebun, dan melihat kedipan bintang yang berbinar bersama Ibu. Ingin sekali.

Handphone-ku bergetar di atas meja. Itu pasti pesan dari Sarie mengajakku untuk ke Bukit Cantik sekarang. Selalu berulang seperti ini. Bosan.

Daripada duduk berdiam diri di ruang tamu, aku memilih bangkit dan masuk ke dalam kamar. Kubuka jendela seluas-luasnya. Gorden putih mengudara tertiup angin yang masuk melalui jendela yang terbuka. Aku menarik kasur merah hingga menyentuh besi hitam jendela. Kujuntaikan kaki dan kupandangi langit malam. Dari sini, bulan purnama tampak jelas. Ia membentuk lingkaran putih dikelilingi bintang kecil yang turut mengekspos kirana. Ini adalah penampakkan yang amat cantik.

Ketika larut menikmati keindahan ini, aku mendengar gesekan sandal di lantai di ruang tamu, lalu disahut dengan suara pintu yang terbuka. Dengan suara yang agak lantang, aku berkata, 'Ibu malam ini jangan pergi!'.

Beberapa menit kemudian handphone-ku kedatangan pesan yang berisi: Malam ini tak ada wanita bulan purnama.