Kenangan dan Balon

Ilustrasi: Google

"Sayang sama kamu itu seperti aku ingin melepaskan balon ini ke udara. Selalu tidak bisa. Tanganku enggan melepaskan karena hati ini tidak ingin merasakan perpisahan."

Seingatku, begitulah ucapan Rendi kepada Resa, seseorang yang dahulu pernah dia banggakan. Kehilangan Rendi membuat separuh hidup sahabatku berubah, meja makan di kafe ini seperti kosong, dinding penuh mural lucu di hadapannya seakan putih, dan semua tawa canda manusia-manusia di sampingnya seolah hanya angin belaka.

"Hush!" tanganku menyapu pandangan Resa hingga membuatnya hilang termenung. Dia terlihat sedikit terperanjat. "Lo kenapa bengong aja sih, Res?"

"Eh! Eng-enggak kenapa-kenapa, Ti," jawabnya seraya mengaduk-aduk minuman memakai sedotan.

Resa bergumam dengan sedikit senyum tipis di ujung bibirnya. "Nggak kenapa-kenapanya cewek itu ada apa-apa tahu."

"Hmm.. Apa salah ya gue mikirin Rendi?"

"Kok mikirin dia lagi?" Sekejap dahiku mengernyit. Aku yakin, Resa sedang ada pikiran yang macam-macam, makanannya saja belum disentuh sama sekali. "Kalian kan udah putus?"

"Gimana ya gue ngomongnya?" tanya Resa dengan not suara yang hambar.

"Cerita dong sama gue, siapa tahu bisa bantu?"

"Ternyata benar kata lo, Ti. Kenyamanan itu nggak bisa dibeli dengan uang atau fisik seseorang."

Aku hanya mengangguk-angguk saja, membiarkan Resa bercerita.

"Semua yang diberikan Alvi nggak membuat gue nyaman sama sekali. Bahkan, gue kangen dengan semua momen bersama Rendi, mulai dari nongkrong di kafe ini, senyum-senyum sendiri ngeliat Rendi minum coklat, di mobil dengerin lagu pakai JOOX sampai rebutan hape, dan kejahilan Rendi diam-diam bikin video story di Instagram pas gue lagi makan."

Sebenarnya, aku ingin bilang kepada Resa bahwa selingkuh itu memang tidak baik, tapi dengan keadaannya seperti ini aku lebih memilih diam. Resa bisa pacaran dengan Alvi karena hasil dari perselingkuhannya. Padahal, menurutku Resa dengan Rendi sangat cocok. Bahkan, di Instagram banyak yang iri dengan keromantisan mereka.

Hari ini adalah hari ulang tahun Resa. Di hari yang penting ini saja Alvi tidak ada, bahkan tidak mengucapkan selamat ulang tahun kepada sahabatku ini. Justru Rendi yang sudah bukan siapa-siapa, lebih care. Entahlah, terkadang lelaki itu menjengkelkan.

Tiba-tiba Resa meraih tanganku. Aku bisa merasakan betapa dinginnya tangan sahabatku ini. Dia sedang ketakutan, kecewa, dan bingung. "Tolong bantu gue biar bisa balikan sama Rendi, Ti?"

"Apapun untuk lo, gue bakal bantu, Res," jawabku dengan yakin. "Tapi, tolong hargai perasaan Rendi. Jangan mengulangi kesalahan kedua kalinya. Ngerti kan, Res maksud gue?"

Akhirnya, aku bisa melihat simpul senyum sahabat yang biasanya kulihat. Di renungan matanya, aku sudah mulai melihat sebuah harapan. Tatapannya lebih berisi dan senyumnya lebih hidup.

Aku segera mengirimkan kode kepada seseorang dengan menaikkan alis kananku.

"Coba lo lihat ke belakang, Res."

Dengan segera Resa membalikkan pandangan matanya ke belakang. "Rendi? Kok bisa ada di..."

"Happy birthday, Resa!"

Dengan wajah yang senang, Resa langsung beranjak dari bangku dan memeluk Rendi. Mungkin, itu adalah gerakan sesungguhnya yang sudah dia pendam sejak lama. Meski sudah tidak bersama, melihat mereka berdua dalam satu frame ini masih saja terlihat cocok.

"Ini balon untuk kamu."

Tanpa ragu, Resa menggenggam tali balon itu. Kemudian, Resa nampak menghitung jumlah balonnya. "Ada sembilan balon?"

"Iya, ada sembilan," jawab Rendi dengan tersenyum.

"Masih ingat sama tanggal jadian kita?"

"Ssstt. Udah jangan bahas itu. Maaf ya, Res, aku datang ke sini nggak bawa kado apa-apa. Bahkan, nggak ada ucapan spesial untuk kamu. Aku hanya berdoa agar kamu sehat selalu, Res."

"Makasih ya, Ren," air mata Resa akhirnya pecah. Namun, Rendi sigap menghapus air mata itu dengan tisu yang ada di atas meja ini.

Beberapa orang teralih pandangannya melihat momen Resa dengan Rendi. Aku senang bila melihat sahabatku senang. Dan aku pun senang karena rencanaku bersama Rendi berhasil membuat kejutan kepada Resa.

"Ren."

"Iya, Res?"

"Masih ingat sama kata-kata kamu yang dulu nggak?"

Rendi hanya mengangguk. Kemudian dengan lembut mengambil tali balon yang sedang dipegang Resa. Rendi tersenyum dengan menatap mata Resa yang penuh nanar.

"Tapi semuanya udah berubah, Res."

"Maksud kamu?"

"Sayang sama kamu itu seperti aku menggenggam tali balon ini. Selalu ingin aku pegang erat agar tidak terbang lagi ke tempat yang lain."

Sedan Hantu

Sumber: google.com
Tulisan ini ditulis untuk mengikuti #Tantangan Minggu dari @KampusFiksi

Malam kemarin menjadi pengalaman yang mencekam. Angin berkesiur pelan. Sejauh mata memandang, suasana begitu asing dari tanda-tanda kehidupan. Daun-daun enggan bersentuhan dan senandung nyanyian jangkrik seolah bungkam. Aku bagai berada di planet yang penciptaannya tidak pernah ada di sepanjang alam semesta. Sangat asing.

Angkutan umum yang kutunggu tidak kunjung datang. Di saat jenuh mulai menguliti tubuhku, aku melihat mobil sedan mewah berwarna putih berlari cepat, semakin dekat, kemudian berhenti di hadapanku.

Kaca depan terbuka perlahan. Seorang perempuan berbaju merah terlihat memegang kemudi. Wajah dan kulitnya begitu cerah bersinar, perawatan kelas atas.

Kau tidak mau masuk ke dalam mobil murah ini?” sahutannya berhasil memecahkan lamunanku. “Hei! Ayo naik. Tidak ada kendaraan lain lagi di sini. Kau mau mati?”

Suara perempuan itu begitu sumbang, bahkan matanya sama sekali tidak melirikku. Tidak peduli, aku membuka pintu lalu masuk ke dalam.

Baru saja duduk bersandar di belakang, aku seakan dihantam deja vu. Lampu bergaya klasik dan langit-langit mobil yang bernilai artistik. Namun, tiga menit kemudian, aku merasa tidak nyaman. Aroma mobil mewah ini berubah mirip bemo yang usang ditelan masa.

“Mobilnya wangi, membuatku mual!” keluhku pelan.

“Apa kau bilang? Sekali lagi kudengar, kubunuh kau!”

Aku berusaha tidak panik. Baru saja sekilas mengalihkan pikiran dengan melihat pemandangan di luar, ponselku tiba-tiba berdering. Tidak kuangkat. Namun, ponsel ini terus berdering.

“Angkat teleponnya atau mau mati di sini?” tanya perempuan itu, masih dengan suara sumbangnya.

Aku mengaruk-garuk rambut, gusar. Rasanya di mobil ini sangat ramai, padahal suasananya sepi, batinku.

“Ha-halo!” sapaku tergesa-gesa.

Tidak ada respon di sana.

“Halo!”

Mungkin tidak ada sinyal, maka ponsel ini kuayunkan di udara.

“Halo! Ini siapa? Halo!”

Tuut.. tuut.. tuut..

Jantungku rasanya ingin meledak. Ponsel kumatikan. Aku lelah. Energiku terkuras memikirkan hal di luar nalar. Kucoba melupakan segala yang tengah terjadi. Sebisa mungkin aku mengatur napas.

Pikiranku mulai tenang, meski perempuan itu tetap memacu mobil ini secepat kilat. Hingga beberapa saat kemudian, semua terasa berubah gelap. Aku tertidur.

Aku merasa mobil berjalan pelan dan hawanya tidak sejuk. Beberapa kali mencoba terpejam, tapi rasa penasarankanku lebih bernafsu untuk menyaksikan apa yang terjadi.

Aku terperanjat ketika tahu tidak ada yang mengendalikan mobil ini. Perempuan itu hilang. Mobil terus berjalan pelan. Sial, aku terjebak. Kutengok kanan-kiri, tidak ada orang. Ini pasti mobil sedan hantu yang diceritakan Ibuku kemarin. 

"Sebentar lagi perempuan itu pasti datang lalu membunuhku," kataku dalam hati.

Tidak mau mati sia-sia, maka kupukul kaca ini berkali-kali berharap akan pecah. Gagal. Pilihan terakhir, aku berteriak, “Tolong! Tolong!”

Tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang mobil, “Anak berotak udang! Jangan berisik! Buka pintunya, bantu mendorong mobil!”

Oh my God! Mobil mewah ini mogok?” ucapku dalam hati seraya menahan tawa.


***

1. Majas Personifikasi
2. Majas Perumpamaan
3. Majas Hiperbola
4. Majas Personifikasi
5. Majas Hiperbola
6. Majas Litotes
7. Majas Pleonasme
8. Majas Metafora
9. Majas Ironi
10. Majas Paradoks
11. Majas Hiperbola
12. Majas Hiperbola
13. Majas Sarkasme

Si Pohon Jodoh

Sumber: google.com
Cerpen ini untuk mengikuti tantangan menulis #TantanganPersonifikasi dari @KampusFiksi

“Lihat! Ada yang duduk di sana!”

“Ya Tuhan, mereka beruntung sekali. Semoga mereka berjodoh. Mari kita doakan.”

Bukan. Itu bukan percakapan dua orang broker cinta. Mereka adalah teman dekat orang tuaku bernama Meranti dan Beringin. Dua sejoli yang berubah menjadi pohon. Kini, mereka dikenal banyak orang dengan sebutan Pohon Jodoh.

Mungkin, di kepala kalian mulai bermunculan berbagai pertanyaan. Mengapa mereka menjadi pohon? Sejujurnya aku tidak ingin bercerita, tapi sudah cukup selama 149 tahun rahasia itu tertutup rapat. Sekarang waktu yang tepat agar semua orang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Beginilah kisahnya.

Di suatu senja, derasnya hujan tanpa ampun memukul kepala Meranti dan Beringin. Keduanya basah kuyup berlarian mencari tempat berteduh. Mungkin Dewi Fortuna sedang memihak mereka, Meranti melihat payung tergeletak di tanah. Tanpa berpikir panjang, Meranti mempersilakan Beringin menggunakan payung itu. Payung yang hanya cukup meneduhkan satu orang saja.

“Cewek jahat membiarkan cowoknya kehujanan!” sahut seorang perempuan yang kebetulan sedang berdiri di hadapan mereka.

“Iya, cewek tidak tahu diri!” ujar kekasihnya. “Aku sih tidak ingin punya cewek kayak dia! Dasar cewek tidak punya hati!”

Ucapan sepasang kekasih tadi membuat pintu hati Beringin terketuk. Tanpa berpikir panjang, Beringin meraih tangan Meranti kemudian memberikan payung itu kepadanya. Meranti diam seribu bahasa. Kakinya terpaku dengan apa yang dilakukan Beringin. Di sisi lain, Beringin terlihat menggigil kedinginan seraya memeluk tubuhnya sendiri.

“Ih cowok kurang ajar membiarkan ceweknya kedinginan!” geram seorang perempuan.

“Cowok bodoh! Tidak punya otak!” kekasihnya melanjutkan, kemudian mereka pergi.

Meranti sekejap terdiam, merenungi apa yang diucapkan orang-orang. Semua pilihan mereka seakan salah. Bak melihat pesawat tempur di atas kepala, Meranti segera menarik Beringin berteduh di bawah naungan payung. Meski tubuhnya tetap kebasahan, Meranti berusaha melindungi kepala Beringin agar tidak terkena hujan. Meranti mulai merasakan tubuh Beringin bergetar bak mesin motor tua yang sudah lama tidak dinyalakan. Sigap Meranti memeluk Beringin ketika petir riang bernyayi di langit.

“Maafkan aku yang sudah membiarkanmu kehujanan.”

“Jangan khawatir, aku tidak akan apa-apa,” balas Beringin seraya tersenyum kecil. Senyuman palsu yang bertujuan tidak ingin membuat sang kekasih terlalu memikirkannya.

Teramat sayang, bulan terlalu dini membuka mata. Senja berganti malam. Hujan masih saja melahap keduanya. Saat jenuh itu datang, Meranti tidak tinggal diam. Meranti menuntun Beringin menuju tempat duduk yang berjarak sekitar seratus lima puluh meter. Sebenarnya Meranti khawatir Beringin jatuh sakit karena tahu kekasihnya itu tidak pernah kehujanan. Beringin pasti benci air hujan, batinnya.

“Kita duduk di sini ya.”

Beringin mengangguk pelan.

Meranti melihat bola mata Beringin mulai layu. Tubuhnya masih bergetar. Kekhawatiran itu semakin meluap ketika Beringin mulai batuk-batuk.

“Kau tahu kenapa selama ini aku tidak pernah kehujanan?” tanya beringin seraya menidurkan kepalanya di bahu kanan Meranti.

“Karena datangnya bergerombolan?” canda Meranti. Canda yang ternyata berhasil membuat bibir merah jambu Beringin mengembang.

“Di saat seperti ini masih saja ya kau membuatku tertawa.” Beringin membenarkan posisi duduknya yang lebih nyaman, kemudian keduanya saling bergenggaman tangan. “Aku tidak pernah kehujanan karena bila terkena air hujan aku pasti tertidur dan orang yang disebelahku pun ikut tertidur.”

Mungkin karena terdengar lucu, Meranti sampai tidak kuasa menahan tawa. “Ah, tidak akan. Sekarang pasti kamu sedang mengantuk. Iya kan?”

Beringin mengangguk pelan lagi.

Meranti membiarkan Beringin tertidur. Beberapa saat kemudian, tanpa sadar Meranti ikut tertidur.

***

“Meranti. Kakek yang sering duduk sendirian itu siapa ya?”

“Oh, maaf aku lupa memberitahumu. Dia cucu dari temanku. Dia sering menulis tentang kita lho, tapi sampai sekarang masih hidup sendirian.”

“Begitu ya. Semoga dia segera ditemukan jodohnya.”

Sial. Aku merasa terhina.

Hari Kemenangan Kita di Valencia

Cerpen fiksi ini ditulis untuk merayakan selesainya MotoGP Season 2014

Saat mendengarkan lagu kebangsaan Spanyol, aku melihat rekan setimku, Rossi melambai-lambaikan tangan di bawah. Dia berteriak, tapi aku tidak dapat mendengar apa maksudnya. Aku berinisiatif untuk memerintahkannya menungguku di lantai bawah.

"Tunggu gua di ruang khusus!" kataku sekali lagi sembari memberi isyarat menggunakan tangan.

Beberapa saat kemudian, lagu kebangsaan selesai. Botol besar itu akhirnya datang dibawa oleh perempuan cantik asal Spanyol. Teman senegaraku, Pedrosa dan Marquez mengocok lalu menyebarkan soda merayakan kemenangan.

Aku tidak turut merayakannya di podium. Tanpa berpikir panjang, aku segera ke lantai bawah menemui Rossi yang mungkin telah menunggu di ruangan khusus. Dengan cepat aku menuruni tangga. Berlari.

"Hei!" sahutku saat membuka pintu.

Kami saling berpelukkan. Dia menepuk-nepuk bahuku dengan keras seraya berkata, "selamat ya bro!"

"Thanks men!" balasku sekuat tenaga menahan tangis yang mulai melipir di mata. "Lu hebat banget dari posisi akhir bisa finish ke empat. Gila!"

"Woi!" tiba-tiba Marquez menggebrak pintu. Dia datang bersama Pedrosa. "Lu gua cariin, ternyata ada di sini sama Rossi!"

"Sorry men," kataku. "Eh ini gua ada minuman yang belum dibuka."

"Ya udah tunggu apalagi, buka sekarang!" ujar Marquez. "Pesta berempat!"

"Pesta!" Pedrosa menimpal.

"Eh tunggu. Di luar ada media nggak? Jangan sampai ada media yang tahu kita di sini," Rossi mengingatkan kepada Marquez. "Tolong tutup dan kunci pintunya, Marc!"

"Oke!" balas Marquez.

KLIK!

"Nah, ayo kita rayakan kemenangan ini!" Rossi berteriak lalu mengambil minumanku. Dia mengocoknya dan soda pun menyemprot. "Wohoooo, sekarang saatnya pesta!"

Kami saling berpelukkan, kegirangan seraya melompat-lompat. Silih berganti minuman ini kami minum. Kami tenggelam dalam kemenangan.

"Nanti kalian gua terakhir makan ya!" kataku seraya melompat-lompat. "Wohooooo! Yeah!"

Hani Tidak Boleh Bangun Malam Ini

Ilustrasi, sumber: google.com
Cerpen ini ditulis untuk mengikuti tantangan menulis #FiksiPaedofil dari @KampusFiksi 

“Jaga anak-anakmu pada malam hari. Jangan biarkan cahaya bulan merenggut kesuciannya. Jangan biarkan pula dinginnya malam menjadi hangat dalam tubuhnya. Malam hari bukanlah teman anak-anakmu. Bila dibiarkan, anak-anakmu akan menjadi lilin di tengah kegelapan. Percayalah.”

Begitulah sekiranya ucapan dari seorang kakek kepada pemuda yang sedang menyesap kopi hitam di warungku. Mungkin karena penasaran apa yang kuperhatikan dari mereka, sang kakek berhenti bicara. Dia menoleh ke arahku.

“Hei, nona. Sekarang sudah jam sepuluh malam, bukan waktunya lagi untuk bekerja. Bagaimana kalau kau dengar cerita dariku?” tawar sang kakek seraya mengelus jenggotnya yang sudah memanjang. Kupikir, suaranya yang agak bergetar lebih baik pada malam ini dia sudah ada di atas tempat tidur untuk beristirahat, bukannya berkeliaran di warung.

“Cerita apa?” tanyaku.

“Apa kau tahu di desa ini ada seorang paedofil?”

Kakek ini membuatku naik darah, ditanya malah bertanya balik.

“Ah, aku tidak tertarik mendengar hal-hal porno. Maaf.”

Seketika itu juga aku melangkah mengabaikan mereka. Namun, kakek itu menyahut seolah tawaran cerita darinya adalah sesuatu yang sangat penting dan mendesak.

“Ini kisah tentang misteri. Bukankah kau sering membaca novel misteri?”

“Dari mana kau tahu?”

“Suamimu.” Kakek itu menghabiskan kopi dalam satu tegukan. “Ah, lupakan. Duduk saja di sebelahku. Tugas kalian hanya dengarkan cerita ini saja. Bila percaya silakan dinikmati. Bila tidak, coba diresapi. Siapa tahu berguna demi melindungi anak-anak kalian.”

Aku menghela napas dalam-dalam. Udara di sekitar leherku terasa dingin. Pemuda di sebelahku memasukan kedua tangannya ke dalam kantung jaket.

Kakek itu mulai bercerita.

***

Pada suatu malam, tepatnya lima tahun lalu, desa ini dituruni hujan lebat. Seorang anak bernama Ve menatap hujan penuh penghayatan. Memandang lurus seraya mendengar lantunan air yang menghantam genting rumahnya. Saking kedinginan, tubuh Ve sampai menggigil. Namun, dia tetap bergeming berdiri menatap hujan.

“Anakku, kenapa larut malam begini belum tidur?” ucap sang ayah dari ambang pintu.

“Aku rindu Niah, Pah.”

Dengan langkah kaki yang sayu, sang ayah menghampiri Ve, lalu merangkulnya dari belakang. Sungguh, untuk seukuran anak SD kelas empat, itu adalah pelukan yang sangat nyaman. Erat dan menghangatkan.

“Adikmu sudah tenang di surga, Nak.” Sang ayah mencium pipi kanan Ve dengan lembut, sekadar meyakinkan bahwa adiknya baik-baik saja di alam sana. “Besok pagi kamu harus sekolah. Ayo, adikmu saja sudah tidur di kamar. Tidak baik anak seusiamu jam dua belas malam begini belum tidur.”

“Tapi, Pah,” Ve berhenti bicara. “Apa yang membuat Niah pergi ke surga?”

Lidah sang ayah kelu. Dia lebih memilih mencium anaknya kembali, mengeratkan pelukannya, dan menuntunnya masuk ke dalam.

Aku memotong cerita kakek itu. “Pasti setelah ini anak itu diperkosa!”

“Iya,” kakek itu membenarkan.

“Ah, sudah kubilang aku tidak bernapsu mendengarkan cerita porno!”

Sigap dia menahan tanganku. “Duduklah. Dengarkan sampai selesai, maka kau akan mengerti apa yang seharusnya kaulakukan.”

Entah terbius apa sehingga aku menuruti perintahnya. Padahal, aku tidak paham apa yang dia katakana barusan.

Sang kakek berdeham, lalu melanjutkan.

Di kamar itu, Ve terayu untuk membuka baju. Ayahnya terus menciumi bibir Ve sampai basah mendesah. Dadanya diremas dan dinikmati layaknya menyusu.

Ve tidak sadar sudah menjadi pemompa testosteron ayahnya. Perlahan, celana Ve dibuka hingga dia telanjang bulat. Malam itu pula, tubuh Ve rapuh bak potongan kayu yang terombang ambing arus sungai. Ve hanya dinikmati. Menyerah diri. Pasrah dalam kehangatan.

Aku memotong ucapan kakek lagi. “Sudah selesai?”

“Ini pasti ceritanya fiksi,” komentar pemuda di sebelahku.

“Belum selesai dan ini bukan cerita fiksi.” Suara kakek itu konstan, pelan penuh teka-teki. “Bisa kulanjutkan?”

Aku dan pemuda sebelahku serempak mengangguk.

Karena sudah hampir satu jam berlalu, Ve akhirnya bersuara lemas, “Ayah, kapan ini selesai?”

Ayahnya tidak kunjung menjawab. Dia terlalu sibuk memuaskan birahi dengan gaya berpangku. Ve sangat layu sambil seerat mungkin memeluk sang ayah. Beberapa menit kemudian, klimaks itu terjadi. Di dalam.

Akibat kejadian itu, Ve sering terlihat murung di sekolah. Setiap Rabu malam pun Ve selalu berdiri di beranda rumah menanti kepulangan adik pertamanya. Namun, asa itu hanya impian yang mustahil terwujudkan.

Semakin hari kesehatan Ve semakin memburuk. Ve dilarikan ke rumah sakit dan didiagnosa mengidap HIV. Sang ibu sangat tidak percaya penyakit itu menimpa anaknya, sebab dia yakin Ve sudah dibentengi aturan keluarga yang ketat serta pengetahuan agama yang cukup. Apa daya, Ve meninggal dua hari kemudian.

Aku terus mendengarkan cerita si kakek sampai tidak terasa waktu sudah hampir pukul dua belas malam. Bila sudah begini, aku pasti dimarahi suami karena pulang telat.

“Maaf, aku harus kembali ke rumah. Aku hanya takut suamiku marah, sudah jam segini tapi aku belum pulang.”

Kakek yang belum kuketahui namanya itu tersenyum. “Kau pasti tahu apa yang seharusnya kaulakukan.”

***

Cerita kakek di warung tadi terus terngiang. Aku jadi semakin sayang dengan anakku. Maka, kukecup kening dan kupeluk anakku sebelum tidur malam ini. Mungkin, karena kelelahan berlari sejauh tiga ratus meter, aku seakan dininabobokan oleh hawa dingin hujan yang baru saja turun.

“Kejadian keji itu selalu berulang di setiap Rabu pukul dua belas malam. Ve menderita, kesakitan, dan tidak berdaya. Kalau tidak salah, aku punya foto Ve dengan dua adiknya di dalam tas kecilku. Nah, ini dia.”

Tiba-tiba aku mengalami hypnagonoic jerk[1]. Napasku terengah. Pintu kamar terdengar diketuk tiga kali. Berulang. Mataku bugar menyadari anakku tiba-tiba bergerak ingin melepaskan pelukanku. Tapi, aku berhasil membuatnya tetap diam di tempat tanpa bersuara.

“Sayang?” ucap suamiku.

“Hani sudah tidur,” balasku lembut meski jantung ini berdebar keras.

“Serius? Tapi katanya dia ingin melihat hujan di luar.”

“Hani tidak boleh bangun malam ini.”

*End*


[1] Fenomena saat tidur, lalu tiba-tiba terbangun karena perasaan kaget seperti mau terjatuh. Ini dapat disebabkan karena kondisi tubuh yang terlalu lelah, kurang tidur, maupun stress.

Dialog Dua Bulan

Ilustrasi: mavostudio.com



Januari
Des, kenapa ya sampai saat ini kita belum dipersatukan?

Desember
Memangnya kamu sudah berusaha mendapatkan aku?

Januari
Tentu. Aku sudah menjawab berbagai pertanyaan Februari agar dia yakin bahwa kamu pantas untukku. Sudah pula melewati rayuan Maret dan April yang maut itu.

Desember
Bagaimana dengan Mei, Juni, dan Juli yang memiliki badan super kekar?

Januari
Mei, Juni dan Juli kukalahkan dengan otak, bukan dengan fisik.

Desember
Agustus dan September?

Januari
Mereka sangat cantik dan seksi. Namun, aku menutup mata saat menghindarinya.

Desember
Bila berhasil menghindari mereka, itu artinya kamu bertemu Oktober dan November yang memiliki tubuh lebih menggoda. Benar kan?

Januari
Iya, tapi aku tidak tertarik. Aku dihadang oleh mereka, tidak boleh lewat untuk menemuimu. Padahal tinggal satu langkah lagi. Kemudian, aku bertanya saja pada mereka, bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan hati Desember.

Desember
Mereka menjawab apa?

Januari
Mereka malah menghina aku! Katanya, aku ini tidak memiliki banyak harta untuk merawat tubuh kamu yang lebih menggoda dari mereka! Katanya, aku ini tidak tampan! Katanya, mereka berani bersumpah bahwa aku tidak akan mendapatkan kamu sampai kapanpun!

Desember
Lalu apa yang kamu lakukan?

Januari
Berbalik. Aku harus kembali melewati godaan September dan Agustus. Melewati si badan kekar Juli, Juni, dan Mei. Melewati rayuan maut April dan Maret. Melewati si otak cerdas Februari. Capek!

Desember
Bodoh. Itu terlalu mempersulit dirimu sendiri. 

Januari
Kenapa kamu jadi menghinaku juga?

Desember
Kamu ingin tahu bagaimana caranya mendapatkan aku?

Januari
Iya. Bagaimana caranya?

Desember
Sebenarnya, kita ini dekat sekali. Sangat dekat. Sayangnya, kamu tidak pernah menyadari itu. Kamu tidak perlu bersusah payah melewati Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, dan November. Yang perlu kamu lakukan untuk mendapatkan aku hanyalah mundur satu langkah. Mundurlah, maka aku selalu ada di sampingmu.

Melukis Wajah Dara

Ilustrasi: wolipop.detik.com
Cerpen ini ditulis untuk mengikuti tantangan menulis #KataNada dari @KampusFiksi

Sore ini waktu yang tepat untuk bersenja gurau bersama Dara. Langit jingga sudah tampak merona lengkap dengan gulungan awan bak kapas yang berterbangan di atas sana. Indah dan memesona, tapi tidak untuk suasana kami berdua.

"Kamu apa kabar?" itulah pertanyaan pertama Dara. Untuk mendapatkan pertanyaan itu, aku harus bersusah payah terdiam, memejamkan mata, dan melacak kembali kenangan mana yang harus kubawa saat ini.

"Baik, setelah kamu menanyakan itu kepadaku," jawabku tersenyum. Aku menghela napas sedalam mungkin. "Udah lama banget ya kita nggak pernah ketemu."

Dara mengangguk seraya tersenyum. Telah lama tidak bertemu membuat Dara sedikit tampak asing di mataku. Kini, Dara bagai langit senja yang sempurna dengan goresan pelangi, serta beraura embusan angin yang mengelus manja kedua pipiku.

"Pacarmu baik-baik saja?"

Seketika senyumnya luruh. "Sepertinya aku salah memilih."

"Lalu kenapa tetap memilih dia waktu itu? Padahal aku sudah berusaha menjadi seperti yang kau minta."

Dara seakan bergumam, tepat saat angin tiba-tiba berembus kencang. "Kamu itu mantan terindah aku."

Apa aku salah dengar? "Memang ada yang salah dengan kata mantan itu?"

"Iya. Bahkan, salah besar." Aku menunggu Dara berjeda. "Aku salah sudah membuat kamu menjadi mantanku."

Nyaris saja aku tergelak. "Tapi kapan ya kita akan bertemu lagi?"

"Memang kenapa? Harusnya kamu beryukur dengan kehidupanmu yang sekarang, tidak seperti kehidupanku yang sudah berbeda."

"Aku tidak peduli," gumamku. "Rasanya aku rindu momen-momen itu. Kita duduk bersama, tertawa, bercanda, dan segalanya tercipta untuk mendekatkan kita."

Langit mulai menggelap. Aku menilik jam tangan. Ternyata, sudah pukul lima lewat dua puluh menit. Langit yang mulai gelap itu seakan mewakili wajah Dara yang muram. 

"Maafin aku ya."

Jujur saja, aku tahu maksud permintaan maaf Dara yang tiba-tiba itu. "Seharusnya kamu beritahu aku di saat kamu sakit waktu itu."

"Aku cuma nggak tega."

"Kamu lebih memilih tega meninggalkan aku tiba-tiba?"

Saat melihat tanaman yang bergoyang, itu cukup mewakili wajah Dara yang menggeleng. "Bukan begitu. Aku nggak tega pada diriku sendiri yang tersiksa."

"Kalau tahu keadaanmu waktu itu, aku pasti menjenguk. Kamu sama sekali tidak memberi ruang. Bahkan, teman dekatku saja tidak memberi tahuku."

"Aku hanya tidak ingin merepotkan kamu."

"Tapi aku lebih tidak ingin melihat kamu berjuang sendirian, Dar."

Saat beberapa burung mungil melintas sambil mengepakkan sayap, seolah Dara kembali menyimpulkan senyuman. "Sudah. Nggak perlu diperdebatkan lagi. Aku sudah bahagia. Yang perlu kamu lakukan di sana adalah mendoakanku agar aku tetap baik-baik saja di sini."

"Itu pasti, Dar." Aku ikut tersenyum. "Kamu ingat nggak di saat temen-temen kamu bilang, ternyata ada ya cowok yang mau sama cewek gila kayak kamu."

"Cowok itu pasti lebih gila dari aku." Aku sangat hapal tawa Dara ketika itu hingga kembali membekas dalam ilusi. Membuatku tertawa sendiri.

"Kamu itu aneh ya. Di saat aku tidak memikirkan kamu, eh kamu malah datang di mimpiku semalam."

"Aku datang ke mimpimu untuk mengingatkanmu."

Dahiku mengerut, berpikir. "Mengingatkan apa?"

"Coba kamu lihat sekarang tanggal berapa."

Aku bergumam.

"HEH!" Mama menepuk pundak kananku, membuatku terperanjat. Semua ilusi itu lebur seketika. "Dari tadi kamu melamun terus." Mama celingak-celinguk. "Kamu lagi ngapain sih di sini?"

Melukis wajah Dara, jawabku dalam hati. "Lagi mau lihat kalender, Ma."

Aku berlari ke dalam, kemudian turun ke lantai satu menuju ruang keluarga. Aku sigap mengambil kalender yang menggantung di tembok.

"Sekarang tanggal berapa?" tanyaku pada adikku yang tengah asyik bermain PS.

"Dua puluh tujuh."

Jariku langsung menyentuh tanggal yang disebutkan. Aku melihat ada catatan kecil yang tertera. Ternyata, hari ini tepat di saat Dara meninggalkanku. Meninggalkan dunia. 

"Semoga kamu tenang di sana. Dara."



**
Terinspirasi dari lagu Chrisye - Seperti Yang Kau Minta.

Wanita Musim Panas

Ilustrasi: skimbacolifestyle.com
Cerpen ini untuk mengikuti tantangan #FragmenKemarau dari @KampusFiksi


Setiap pagi Luna menjelma menjadi jam beker yang berdering “bip-bip!”, selalu membangunkan aku pukul enam lewat dua menit. Katanya, enam adalah urutan bulan lahir, sedangkan dua merupakan waktu dini hari Luna dilahirkan. Filosofi yang sedikit rumit bagiku.

“Bangun kebo!” Suara nyaring Luna bak menyentuh digit hertz[1] tertinggi. Gendang telingaku rasanya mau meledak. 

[1] Satuan getaran. Frekuensi suara yang dapat didengar manusia adalah sekitar 20 Hz sampai 20.000 Hz

“Bisa nggak sih jangan teriak?” tanyaku menelan emosi.

"Iya, maaf. Udah kebiasaan sih." Luna terkekeh di sana seakan tidak ada rasa bersalah.

“Lain kali suaranya yang romantis dong. Kan lebih enak didengar.”

“Lho, memang aku siapa kamu? Pacar saja bukan, malah minta dibangunin dengan suara yang romantis.”

“Oke, fine!” aku menyeringai. Bila sudah begini, rasanya ingin segera mencari alasan agar aku dapat menyudahi percakapan konyol ini. “Sana mandi, bau tau!”

“Eh, Yan tunggu sebentar,” embusan kencang dan suara benturan sendok dengan cangkir berkali-kali terdengar di telingaku. “Mau kopi nggak?”

“Enggak ah, takut sakit perut. Udah sana mandi, bau tau!”

“Sok tahu ih. Kopi tuh bisa meningkatkan performa tubuh. Kamu nggak tahu kan?” Luna diam sejenak, mungkin sedang menyesap kopi. “Aku udah mandi sejak subuh. Udah wangi dan cantik. Kamu sana yang mandi, bau tau!

Tuut... Tuut... Tuut...

Kenapa jadi dia yang menutup teleponnya? Sialan.

***

Seperti biasa, setiap seminggu empat kali Luna mengajak aku main ke rumahnya. Seperti biasa pula kami mengobrol, bercanda, dan tertawa bersama. Seakan dunia ini asyik untuk kami nikmati berdua.

“Gimana kalau kita nonton film yang ini?” melalui ponsel, aku menunjuk ke salah satu judul film yang tengah menjadi buah bibir banyak orang.

“Nggak mau. Aku kan sukanya film horror.”

Ingin sekali rasanya aku mengambil ranting untuk mengancam sekaligus menyadari otaknya bahwa perempuan secantik dia kurang pantas mencintai film horror. Bahkan, bila menjadi ibu kandungnya, aku bersumpah tidak akan memberikannya uang untuk menonton film favoritnya itu.

“Kalau begitu kita nongkrong di kafe.” Sengaja tidak kuakhiri dengan tanda tanya agar Luna tidak dapat menolak keinginanku.

“Kamu mengidap amnesia?” Bak seorang dokter anak, Luna menempelkan punggung telapak tangannya ke keningku. “Kamu udah gila ya? Aku tidak akan melangkah keluar rumah. Apapun alasannya, aku tidak suka dengan sengat panas matahari.”

Spontan tawaku menyembur. “Kita jadi teman dekat sudah tiga tahun lho, tapi kenapa ya aku susah sekali mengajak kamu keluar rumah di bulan April, Mei, Juni…”

“Juli, Agustus dan September,” Luna menimpal santai. “Memang kamu mau punya pacar berkulit kusam tidak terawat?"

Bodoh, aku nyaris mengangguk. 

Hening.

Selagi tidak ada bahan obrolan, kupandangi wajah Luna yang sedang diolesi krim khusus kecantikan. Krim branded yang hanya dimiliki orang-orang berdompet tebal. Luna menatapku heran. “Kenapa?” Sekarang wajah Luna sudah terbalut krim berwarna putih susu. “Aku jelek ya?

“Kamu itu cantik, tapi jutek, galak, dan nggak romantis," gumamku sembari menahan tawa. "Pantesan aja nggak punya pacar.”

Aku tak kuasa menahan tawa hingga terbahak, sedangkan Luna beranjak dari sofa kemudian menaiki anak tangga tanpa melepaskan satu pandangan ke arahku. “Nggak lucu. Udah ah, aku mau tidur! Aku nggak napsu lagi ngobrol sama kamu.”

Hingga dua jam kutunggu, Luna tak kunjung keluar dari kamarnya.

***

Minggu demi minggu berlalu. Bulan demi bulan pula aku dan Luna tetap tidak pernah main ke mall, bioskop, bahkan kafe. Yang paling menyakitkan, semenjak kejadian Luna marah padaku, aku hilang kontak dengan Luna. Apapun itu, kontak fisik maupun komunikasi.

Kedua mataku seakan telah berganti fungsi, yang tadinya selalu melihat wajah Luna menjadi rajin menatap layar komputer. Jari jemariku pun begitu, yang sebelumnya rajin mengetik kalimat demi kalimat untuk Luna, kini berubah dipenuhi SMS dari atasan.

Semenjak menjadi karyawan swasta, aku jadi sibuk di kantor hingga tidak ada waktu bertemu dengan Luna. Beberapa kali aku hanya dapat melihat Luna melalui akun Path miliknya. Kali ini, aku kembali mengulangi hal yang sama. Baru saja melihat beberapa status, betapa terkejut ketika aku melihat banyaknya status Luna berdua bersama lelaki bernama Angga di rumahnya.

Di saat sedang getolnya mencari tahu tentang Luna, tiba-tiba ponselku didatangkan panggilan darinya. Panggilan pertama tidak kuangkat. Kedua pun begitu. Akhirnya, matahari dalam mataku padam, aku mengangkat panggilan yang kelima.

“Heh kebo!" Momen itu terulang. Luna belum berubah, sahutannya kali ini berhasil membuat gendang telingaku terhantam resonansi[2]. "Ke mana aja sih? Kita sama-sama tinggal di Bogor, tapi nggak pernah ketemu!”

[2] Peristiwa ikut bergetarnya suatu benda karena ada benda lain yang bergetar dan memiliki frekuensi yang sama

“Hei, seharusnya aku yang bertanya seperti itu,” keluhku sambil menggaruk telinga.

Doni, rekan kerja di sebelahku menatapku memberi isyarat melalui wajahnya, seakan berkata: kalau mau teleponan di luar aja! Tanpa basa-basi aku segera keluar dari ruangan. "Sorry ya," kataku kepadanya.

Setibanya di ruang istirahat, aku melanjutkan, “kenapa chat Line aku cuma kamu read?”

“Aku nggak mau ngebahas itu,” Luna memelas.

“Lalu apa?” aku mulai muak mendengar ucapannya. “Kamu mau cerita tentang bahagianya jatuh cinta sama Angga? Aku sudah tahu, jadi kamu nggak perlu cerita lagi.”

“Kok kamu gitu sama aku?”

Retina mataku terpedaya fatamorgana[3], seolah wajah Luna membayang di kaca. Seakan aku dapat mengikhlaskannya. “Apapun itu, selamat ya. Semoga semua baik-baik saja.”

[3] Fenomena optik yang terjadi karena pembiasan cahaya melalui kepadatan udara yang berbeda, sehingga membuat sesuatu yang tidak ada menjadi (seolah) ada

Tuut… tuut… tuut… 

"Halo?" 

Selalu saja sesuka hati menutup telepon. Kebiasaan.

***

Dua minggu kemudian, pukul satu siang aku memanjakan diri ke bioskop untuk menonton film ber-genre romance. Lima bulan tidak menonton film yang romantis rasanya hidupku tawar, tidak ada manis-manisnya.

Aku duduk di kursi B6, kursi yang selalu kupilih setiap kali menonton film di bioskop. Semoga film ini dapat meleburkan bayang-bayang Luna dari pikiranku, meski hanya ditemani camilan pop corn.

Tidak terasa waktu berjalan dengan begitu cepat. Film sudah selesai dan aku menjadi orang terakhir yang keluar dari studio empat. Ternyata, nonton film romantis sendirian itu tidak seru. 

Belum sampai di ambang pintu keluar, aku melihat seorang perempuan yang kukenal. Perempuan itu mengenakkan baju hitam dibaluti kardigan merah jambu dan celana jeans pendek sepaha. Rambutnya yang hitam kecoklatan sepunggung, berkulit putih bersih, dan berbadan langsing, cukup membuatnya semakin bersinar dari apapun yang mengelilinginya. Perempuan itu adalah Luna.

Bertemu kembali dengan seseorang yang sempat disukai sungguh menyuguhkan tantangan: aku harus berkata apa dan melakukan apa?

“Kamu ngapain di sini?” itulah pertanyaan pertamaku. "Ini kan masih musim panas, mustahil banget kamu keluar rumah."

Luna mengacuhkan ucapanku, kemudian meraih tanganku. “Enggak enak ngobrol di sini. Kita ke kafe aja yuk di lantai dua.”

Asap dan aroma memikat dari hot coffee latte dan hot chocolate menyembul mesra mengelus hidungku. Obrolan kami jadi hangat dan bersahabat. Ternyata, Luna tidak menerima cinta Angga hanya demi menjaga perasaanku. 

"Aku tadi naik ojeg pakai jaket, masker, dan kaca mata." Luna memperlihatkan isi ranselnya. "Ini pertama kalinya aku keluar rumah di musim panas. Demi bertemu cowok gila kayak kamu."

Aku beranjak dari tempat duduk lalu merangkul Luna dari belakang. Aku berusaha tetap membuatnya nyaman meski dia sempat meronta dan meminta dilepaskan. Luna memilih menyerah.

"Kamu tahu nggak, ternyata ada sesuatu yang lebih penting dari cinta?”

Luna menggeleng pelan, “apa itu?”

“Hujan. Aku ingin menjadi kota hujan yang selalu merindukan hujan,” bisikku lembut. "Janji ya padaku, jangan jadi kemarau yang berkepanjangan lagi?”

Luna mengangguk lembut. Ini pun pertama kalinya Luna memelukku. Erat dan hangat. Di antara kami, tidak akan ada lagi musim kemarau karena musim hujan segera datang.

Panggil Saya Es Krim - #2

Part 2 - Penulis atau Pebisnis

Ilustrasi - Sumber: google.com

Dua minggu belakangan ini aku bukan sengaja berevolusi menjadi seseorang yang autothaumaturgist[8]. Hanya saja semua yang tengah terjadi pada diriku benar-benar membuatku kurang nyaman. Aku bimbang. Aku butuh waktu untuk sendiri. Butuh oksigen yang lebih bebas singgah di paru-paruku tanpa bisa merisak pikiranku.

[8] Sebutan untuk orang yang berlagak misterius

Kucoba menimbun punggung di muka sofa kulit ini. Buku kecil kubuka berharap jemari ini tergerak menuliskan sesuatu. Mungkin, ini waktu yang tepat untuk mengeluarkan segala resahku melalui tulisan. Berharap keamburadulan pikiranku ini dapat mengondensasi menjadi pemikiran yang lebih padat, serta positif. Aku hanya sedang tidak ingin memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak kupikirkan.

Wahai matahari...
Sejujurnya, aku sedang tidak butuh pencahayaanmu atau segala apapun tentangmu
Aku tidak butuh senyummu saat engkau pertama kali menarik garis lurus mengenyahkan kegelapan
Apalagi sinar senjamu yang dirindukan banyak orang
Aku hanya butuh "sesuatu" seperti engkau yang setia menyinari bumi tanpa satu detikpun tertidur

Wahai bintang...
Aku tahu, engkau kini belum berbinar
Kecil ukuranmu membuatmu tenggelam dimakan sinar terang
Aku tahu, engkau selalu ada di atas langit sana
Hanya saja kau butuh kegelapan untuk bersinar indah

Wahai cinta...
Yang kini belum juga hadir untukku
Ke mana engkau sebenarnya?
Apakah perlu ada hujan air mata lalu engkau datang bak malaikat dari surga?
Di mana cerita manis yang kau sembunyikan?
Aku sedang tidak ingin merasakan takdir

Tuntun aku, untuk segera menemukan cinta sejatiku

"Permisi, dengan Mas Doy? Ini dark chocolate latte-nya." Seorang waitress datang dengan hati-hati menaruh secangkir pesananku ke atas meja.

"Makasih ya," ucapku.

Aku menutup buku, melepas kaca mata, dan refleks mengacak-acak rambutku. Kuaduk minuman yang tengah menyembulkan asap hangat ke udara. Aromanya sungguh menggelora di hidungku. Kuseruput perlahan melalui sedotan mungil berwarna hitam. Hangatnya seketika melegakkan kerongkonganku dan harum cokelatnya membekas di hidungku.

Dari balik jendela kaca transparan aku menyaksikan beberapa orang sedang asyik dengan kegiatannya masing-masing. Yang paling disorot mataku adalah dua orang yang tengah duduk berdua di bawah pohon rindang. Keduanya mengobrol dan tertawa bersama. Tidak ada sekat yang memisahkan keduanya. Bahkan, daun kering yang jatuh ke kepala si perempuan membuat sang lelaki mengusap rambut dia penuh kemesraan.

Bibir si perempuan berbaju abu-abu lengan panjang bergerak seolah berkata, "terima kasih sayang." Si lelaki hanya membalas dengan tertawa kecil. Mereka lalu lanjut bersenda gurau.

Hidup ini terlalu sempit bila hanya mengapung di atas permukaan cinta. Juga terlalu sesak jika hanya mengejar harta. Sebentar lagi aku akan diwisuda. Rasanya, gelar bukanlah sesuatu yang kuagungkan. Apalagi kemewahan dunia yang menyilaukan banyak pasang mata manusia ini hanya terhias sekilas saja.

Aku kembali menyeruput minumanku. Pikiranku mulai tenang. Inilah efek dari minuman yang kusuka. Aku jadi sadar, bahwa hidup bukan hanya bicara tentang tanah, air, udara, atau sebagainya, tapi bagaimana agar hidup bahagia tanpa harus selalu mengaitkan cinta. Namun, aku kembali berpikir, bukankah untuk bahagia kita membutuhkan cinta? Karena cinta yang membuat kita tersenyum, tertawa, dan bersedih. Bukankah itu yang membuat hidup jadi berwarna? Sekarang, aku hanya dapat berdoa, semoga siapapun orang yang mencintai aku dapat jatuh seperti hujan yang tidak memilih tempat di mana dia akan bertepi. Aku hanya rindu cinta pertamaku yang seperti itu.

***
Saat di perjalanan menuju rumah, aku ditemani lagu-lagu hits dunia dari salah satu radio ternama. Mungkin, radio itu memiliki kekuatan indra keenam yang dapat membaca suasana hatiku yang tengah berkabut. Mereka menyalakan lagu Someone Like You milik Adele. Dentingan lembut piano pada lagu itu seakan memancarkan appoggiaturas[9], hingga mampu menelusuk sampai ke hati dan mataku

[9] Istilah teknis untuk not dalam lagu yang menyebabkan orang menangis.

Mungkin, otakku enggan ingin terlalu lama tenggelam dalam ingatan masa lalu, tiba-tiba saja aku teringat dengan kartu nama yang diberikan Mas Brian. Dengan cepat aku merogoh kartu nama itu yang kusandingkan di sebelah kotak KTP. Sembari fokus menyetir, aku berusaha untuk tidak membuang waktu menelepon Mas Brian. Kusempilkan headset di telingaku agar tidak repot memegang ponsel sambil menyetir.

"Halo, selamat sore," sahut dari sana ketika teleponku diangkat.

"Sore, Mas. Ini saya, Doy yang beberapa minggu lalu ketemu Mas Brian di..."

"Oh, Mas Doy. Bagaimana kabarnya? Sudah membuat keputusan?" dia menyetop ucapanku.

"Saya baik, Mas. Jadi begini..." kuberikan jeda sebentar. "Sepertinya saya belum bisa menerima tawaran Mas Brian."

"Lho kenapa? Apa ada tawaran yang lebih menarik dari saya?"

Dengan bertanya seperti itu, sebenarnya aku sudah hilang napsu untuk berbicara lebih lanjut. Kuhela napas dalam-dalam. Bersabar. "Bukan begitu Mas. Sebenarnya, Mas Brian itu orang keempat belas yang menawari saya kerja sama bisnis."

"Memang kenapa kalau saya yang keempat belas?"

"Yaa sepertinya saya belum siap menerima tawaran Mas. Saya ini hanya ice cream enthusiast, bukan peracik es krim. Aku bekerja dengan lidah, bukan tangan."

"Mengapa tidak bekerja dengan keduanya?" Terdengar suara gumamman di sana. "Kamu punya teman yang bisa meracik es krim?"

Seketika kepalaku seperti terbentur dinding sebesar pohon Redwood. Nama Ryan langsung tercetus di bibirku. "Ada, Mas. Namanya Ryan."

"Nah, itu kuncinya!" Mas Brian tertawa kecil. "Kamu bisa kerja sama dengan dia. Biar si Ryan itu yang membuat es krim dan kamu yang jadi CEO-nya."

Aku termangu. Refleks aku membanting ponsel ke kursi sebelah. Kutengok kaca spion kanan. Selagi tidak ada kendaraan di belakang dan depanku, dengan cepat aku memutar kemudi. Berbalik arah.

"Halo? Mas Doy?" Kubiarkan ponsel itu terus berkicau.

***
Aku memilih Starbuck sebagai gerai terakhir yang kusinggahi. Selagi menunggu Ryan datang, aku meluangkan waktu bercengkrama dengan jutaan followers Panggil Saya Es Krim. 

Selamat malam, aku lagi mau malem mingguan nih, tapi bukan sama pacar, hehe. Ada yang mau bertanya nggak? Yuk :)

Tidak butuh waktu lama, sudah banyak mention yang masuk. Aku menyaring pertanyaan dari mereka untuk kujawab.

Dari @Sxxxxxx: Hai, min. Aku mau ketemu mimin dong. Mimin lagi di mana? hehe"

Panggil Saya Es Krim: Hai, Shena. Aku lagi di Botani nih. Kalau mau ketemu, bawa es krim cokelat dulu ya :)

Seusai menjawab berbagai macam pertanyaan, mataku terpaku kepada salah satu mention yang baru masuk. Melihat pertanyaannya pun sempat membuat aku agak bergetar.

Dari @Axxxxxx: Min, bikin toko es krim dong. Kapan nih? Aku bakal jadi pelanggan pertama deh! Seriusan min.

Panggil Saya Es Krim: Wah, keren! Semoga bisa jadi kenyataan ya. Doain dulu aja, thaks Asyila :)


"Tumben ngajak ketemuan malem minggu, Doy. Ada apa?" tanya Ryan penasaran. Raut wajahnya seakan mewakili persepsi yang bermunculan di kepalanya.

"Kalau kamu diajak bisnis mau nggak?"

Ryan bergumam sebentar. "Boleh aja. Bisnis apa? Es krim?"

Aku mengangguk mantap. "Ada investor yang mau membiayai semua modalnya."

"Serius?" nada suara Ryan naik satu oktaf.

"Iya," jawabku singkat sembari mengetuk-ngetuk meja menggunakan jari telunjuk, lalu menenggak coffee latte. "Awalnya,aku menolak, tapi setelah dipikir-pikir ini peluang kita."

Dengan ekspresi penuh keyakinan, Ryan membalas, "bagaimana kita eksekusi rencana bisnis ini setelah kita wisuda?"

"Kita harus bikin proposal bisnis dulu, Yan," aku mengingatkan.

"Oh begitu?" Dua alisnya sontak menaik. "Ya sudah, aku yang bikin. Kamu fokus pada branding, promosi, dan strategi marketing aja. Kamu kan anak komunikasi, pasti ngerti itu. Biar aku yang membuat pemetaan finance."

"Bagus." Aku menyetujui.

"Selagi muda kita sebaiknya berbisnis. Laki-laki zaman sekarang kalau cuma duduk di kantor kayaknya nggak keren."

Aku terbahak mendengar gurauan Ryan. Ketika dia beranjak dari tempat duduk untuk memesan minuman, aku meraih ponsel yang kutaruh di saku celana.

"Halo, Mas," sahutku.

"Tadi kamu kok nggak ada suaranya ya? Apa ponsel saya yang rusak?" nada suara Mas Brian terdengar bingung.

"Nggak kok, Mas. Maaf tadi saya lagi menyetir terus ada polisi, jadi takut ditilang."

"Oh, kenapa tidak pakai headset saja, Mas?"

Aku menelan ludah sekeras mungkin. "Begini, Mas." Aku mulai mengalihkan topik. "Saya sudah bertemu Ryan. Aku setuju bekerja sama dengan Mas."

"Alhamdulillah, syukur kalau begitu. Ini memang peluang kita. Apalagi kamu anak muda, otaknya pasti kreatif. Blog dan twitter kamu saja terkenal di mana-mana. Bahkan, sampai di Singapura dan Amerika lho. Teman saya tahu ada Panggil Saya Es Krim."

"Bisa aja Mas, hehe," aku menahan nada suara agar tidak melayang dengan pujiannya. "Jadi, nanti saya kabari ya Mas akan bertemu kapan untuk bahas rencana bisnis ini."

"Oke, saya siap. Tolong diatur jadwalnya. Saya ikut jadwal Mas Doy saja."

"Sip, Mas."

"Eh, tapi saya ingin tahu apa yang membuat kamu berubah pikiran?"

"Setelah dipikir-pikir, saya ingin menantang diri saya untuk menjadi penulis dan pebisnis, Mas."

"Keren!" ucap Mas Brian bersemangat. "Hidup memang harus memiliki tantangan."

"Setuju, Mas! Ya sudah kalau begitu, terima kasih ya Mas."

"Ya, nanti kabari saya ya."

"Oke, Mas nanti saya kabari. Malam," tutupku.

Beberapa detik kemudian, Ryan datang namun tidak langsung duduk. "Tadi ada telepon?"

"Iya, aku udah bilang setuju sama Mas Brian."

"Yeah!" teriak Ryan dengan tangan mengepal. Sepertinya dia lupa di tangan kirinya ada segelas caramel macchiato, hingga membuat minuman itu terbanting ke atas meja. Beruntung, minuman itu tidak tumpah karena aku berhasil menangkapnya.

- Lanjut ke Part 3 (coming soon)