Kepada Yang Tak Lagi Kusebut Namamu

Ilusttrasi - Sumber: google.com

Setelah perpisahan ini, di lubuk hati paling dalam, aku ingin mengenangmu dengan cara yang elegan. Tanpa tangis, sedih, atau merengek memohon kembali padamu. Maka, di bawah langit biru ini, aku ingin meluruhkanmu. Cahaya matahari cukup terang menyorot secarik kertas putih yang ada di pangkuanku. Pena sudah siap berdansa di atasnya menaburkan tinta-tinta hitam.

Aku menghela napas dalam-dalam. Kemudian, kusinggungkan bibirku di kedua sudutnya agar engkau tahu bahwa kehilanganmu bukanlah bagian dari kehilanganku.

Dear yang tak akan pernah kusebut lagi namamu

Aku ingin menyampaikan sesuatu padamu. Kuharap kau masih ingat dengan suaraku. Jadi ketika kau membacanya berdengunglah alunan pita suaraku di gendang telingamu. Begini bunyinya..

Kepada yang tak lagi kusebut namamu ...

Jujur, jatuh cinta itu menyenangkan bagai menuang minuman soda yang busanya terangkat ke atas dan meluber jatuh ke permukaan tangan. Apalagi dapat jatuh di pelukanmu. Terjatuh yang sama sekali tak terasa sakit, karena aku tahu, kau pasti menangkap dan merangkulku.

Aku masih ingat bagaimana frekuensi cintamu menyerang pikiranku. Suaramu terngiang setiap malam. Kamu tahu? Itu membuatku candu dan sulit untuk tidur. Di setiap malam, nyanyian jangkrik kalah dengan alunan nada rindu yang kamu ucap di telepon. Kedipan bintang yang berbinar pun takluk dengan satu garis lengkung senyuman kecilmu. Kamu tahu itu? Aku jatuh cinta padamu.

Kepada yang tak lagi kusebut namamu ...

Rasanya aku terpenjara ketika berada di sisimu. Kamu itu seperti kapuk putih suci yang menjadi tempat terakhirku, kala lelah. Wangimu bagai hempasan samudra yang menabrak karang. Pesonamu layaknya langit senja yang tak pernah padam dalam ingatan walau selalu pudar diganti langit malam.

Semua kenangan tentang kita sudah kusimpan rapi di dalam hati. Semuanya, tentang makan bersama, menonton bioskop bersama, tertawa bersama, dan kekonyolan yang kamu buat hanya untuk melihat senyumku. Semuanya, tentang keceriaan, kesedihan, dan kebersamaan yang kita ciptakan. Semuanya, tentang penembakan, penerimaan, dan perpisahan.

Kepada yang tak lagi kusebut namamu ...

Masih kuingat, kau menyukai black coffee. Tegukkannya hangat saat meluncur di tenggorokan. Namun, saat ditegukkan terakhir, kamu berkeluh padaku 'Ah, pahit!'. Mungkin, begitulah rasanya saat komitmenmu kau hancurkan sendiri. Kau seperti ampas. Kuulangi, kau seperti ampas!

Kamu tahu? Teman-temanku menyemangatiku untuk terus menulis. Aku menghabiskan waktu untuk mencurahkan segalanya tentang sakit, pilu, rindu, dan cinta. Sungguh, itu membuatku lega. Begitulah kira-kira cara sederhanaku untuk melepas ikatan batinmu.

Kepergianmu mirip matahari yang bersinar. Jangan senang dahulu, artinya bukan indah atau memesona. Melainkan engkau karam ke tempat persembunyian. Kemudian, diganti oleh bulan dan jutaan bintang. Ya, mereka adalah teman-temanku yang dapat membuatku tersenyum. Merekalah yang menyimpul sinyuman di bibirku. Merekalah yang mampu memancarkan sinar saat aku meredup. Terlebih, saat kau pergi.

Kepada yang tak lagi kusebut namamu ...

Aku dapat hidup tanpamu. Saat kau pergi, bunga-bunga tak layu, bumi tak berhenti berotasi, dan petikan gitar tetap terdengar mengalun mesra di telinga ini. Kamu lihat? Tidak ada ceceran air mata di atas kertas ini 'kan? Kau percaya itu? Penggantiku dalam hatimu tak akan membuatku bersedih. Kuulangi, tak akan membuatku bersedih!

Kepada yang tak lagi kusebut namamu ...

Sesampainya aku menulis di koma ini, aku masih tersenyum lapang. Silakan engkau pergi, melupakanku, kemudian menemukan sosok yang baru. Kepakkan sayapmu sekeras mungkin, terbanglah bebas mengudara, dan jangan kembali ke sangkarmu yang lama. Carilah duniamu yang fana, penuh kekayaan, kepalsuan dan kebebasan. 

Pernah kau dengar tangis bayi di malam hari? Pasti kau tahu siapa kali pertama yang merangkulnya. Betul, seorang pahlawan yang melahirkanmu. Engkau seperti bayi yang merengek pada siang hari. Terlambat, aku sudah melupakanmu dan tak ingin menjadi pahlawanmu.

Maaf, aku sedang menikmati senyumanku sekarang ini, bahkan seterusnya. Senyuman yang akan kubawa sampai hati yang baru membelengguku untuk meluruhkanmu. Memang sih, perpisahan itu menyakitkan. Perpisahan itu menyedihkan. Namun, perpisahan adalah proses penguatan.

Sudah ya.

Terima kasih .... Ah, aku tak perlu menyebut namamu.

0 komentar: