Lelaki Saturnus

Ilustrasi - Sumber: http://themoonofsimplicity.tumblr.com/post/98584199852/when-you-are-my-other-universe
Untuk mengikuti #RabuMenulis dari editor-editor GagasMedia. Ditulis dalam waktu 15 menit.

Aku seperti bicara dengan kunang-kunang. Xaturn, lelaki yang mengaku berasal dari planet Saturnus itu memiliki perawakan yang sangat berbeda. Tubuhnya bagai kanvas hitam yang ditaburi manik-manik putih. Yang paling mengesankan, ketika ia bicara, aroma mulutnya seperti desiran angin pagi yang tercampur embun pada daun-daun.

Kami bertemu layaknya adegan di sebuah film klasik. Aku menabraknya saat menyebrang jalan di samping bukit. Tubuhku seperti menabrak bayangan yang dianugerahi badan.

Sekarang, kami berada di atas bukit yang disesaki pohon-pohon besar. Rumput-rumput pun menjadi permadani sebagai tempat duduk kami. Sudah tiga puluh menit aku dan Xaturn menghabiskan waktu untuk bertukar pengalaman hidup. 

"Tubuhku memang aneh, tapi ada satu kesamaan antara aku dengan kamu" ucapnya. Sejauh ini, aku berusaha menatap wajahnya saat ia bicara, meskipun aku tak menemukan kedua mata, hidung, dan bibirnya.

"Apa?" tanyaku.

"Cinta". Kepalanya menoleh padaku. Aku mengkhayal, bola matanya menatap tajam ke arahku sembari tersenyum kecil. "Aku pernah sakit hati, kehilangan, dan dikecewakan".

Aku mengangguk. "Tapi, bagaimana caramu mencintai seseorang bila kamu tidak memiliki kedua mata untuk melihat?".

Ia malah tertawa.

"Mengapa tertawa? Ada yang lucu dariku?".

"Bukankah justru manusia di bumi banyak yang mengatakan bahwa cinta itu berasal dari hati?".

"Memang seharusnya begitu".

Ia terdengar bergumam. "Lalu mengapa banyak perpisahan di sini?".

"Entahlah" jawabku, malas berpikir. "Mungkin karena sudah tidak cinta lagi".

"Berarti cinta dari mata tak akan bertahan lama?".

"Mungkin". Kukibaskan rambut ke belakang, karena angin yang berhembus mengacak-acakan rambutku. Aku membenarkan poni yang sedikit menyentuh alis. "Bagaimana kamu meyakinkan hati tanpa dapat melihat seseorang yang kamu cintai?".

Tiba-tiba lelaki serba hitam layaknya langit malam itu menyuruhku berdiri. Kami jadi saling berhadapan. Tanpa kuduga, ia memelukku. Pelukannya erat dan terasa hangat. Udara malam yang mengelus mesra daguku pun lebur tak kuasa menembus kehangatan ini.

"Hei, kau memelukku" ucapku di samping telinga kirinya.

"Iya aku tahu". Aku merasa ia melonggarkan pelukan. "Kau percaya aku dapat melihatmu, Ciel?".

Dahiku seketika mengernyit, heran. Ratusan pertanyaan pun melayang-layang di kepalaku. "Darimana kau tahu namaku?".

Lelaki serba hitam itu meminta aku menutup mata. Ia menginstruksikan untuk tetap terpejam meski ada sentuhan apapun yang hinggap di tubuhku. Beberapa detik kemudian, tangan kananku terasa digenggamnya. Daguku diangkat sedikut oleh sentuhan jari telunjuk. Lalu, bibirku dikecup.

"Hei, kau menciumku!" kataku, agak kesal.

"Sekarang buka matamu".

Perlahan aku membuka mata. Lelaki hitam yang kulihat sebelum terpejam berubah menjadi seseorang yang tampan. Bola mata cokelatnya berbinar, rambutnya poni ke kanan menutup alis, dan senyumannya membuatku tenang seperti memandang lautan.  Rasa kesal tadi seketika runtuh.

"Bagaimana? Apa kamu terkejut?".

Bibirku tersimpul senyum. Seketika jadi terdiam seribu bahasa. 

Lelaki berbadan tegak itu memakai baju putih dan celana jeans biru. Di tangan kanannya terlihat menggenggam gulungan kertas. Ia tersenyum. Kemudian, membentangkan kertas. Aku mengeja tulisan yang tertera di sana, "Will you merry me?".

Aku memeluknya erat. Sangat erat, hingga air mata membasahi pipiku. "Terima kasih sayang" ucapku tersedu-sedu.

Lekaki itu adalah pacarku.

0 komentar: