Aku Tetap Bersamamu

Ilustrasi - Sumber: Facebook Nulis Buku
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Melihat wajahmu seperti menatap hamparan lautan luas bak kaca bening. Lautan yang memantulkan goresan awan dan matahari bulat utuh menggantung di langit biru. Melihat wajahmu pun entah mengapa dapat menenangkan hatiku. Kau membuatku candu, tapi kau bukan alkohol. Kau juga membuatku rindu, tapi kau bukan untukku lagi.

Masih ingat betul dalam benakku di saat awal kita bertemu, di sekolah bertaraf internasional di Jakarta yang tak pernah kulupa hingga berlanjut berkuliah di Adelaide University, Australia. Kemudian, di Great Barrier Island di New Zaeland inilah kau mengajaku bertunangan. Aku pun masih ingat terakhir kali kita menikmati acara FitzRoy Mussel Fest di pulau ini pada bulan lalu. Kau menyuapiku makan hidangan kerang yang menggugah selera sampai aku kekenyangan tidak dapat berjalan.

"Tenang, kau tidak akan gemuk," katamu sembari terkekeh meledekku.

Aku semakin tenggelam mengingatmu. Semakin jelas gambaran cerita yang pernah kita lalui bersama. Tiga bulan lalu dengan malu-malu kau menggenggam tanganku di tengah-tengah pantai nan rupawan ini. Melingkarkan cincin putih kemilau bak porselen di jari manis kananku. Lalu, kau ucapkan, "i love u," dengan kedua pipi yang tampak malu-malu bagai warna langit senja.

Desiran angin dan aroma pohon pinus mengelus hidungku. Rambutku melambai menari-nari menikmati hawa sejuk yang datang dari tengah lautan. Burung-burung berkicauan dan perahu-perahu melintas tenang di atas hamparan air biru. Detik demi detik seakan mengundangmu hadir dalam imajiku. Aku mulai melamun.

"Hai!" sahut seseorang dari belakang sembari memelukku.

Lantas aku menoleh dan terkejut. John, lelaki yang kucintai selama tujuh tahun lebih itu datang tanpa kuduga. Ia mengenakan syal cokelat yang menyelimuti leher dan sepatu merah khas kesukaannya.

"Kamu datang ke sini?" tanyaku masih dengan butir-butir senyum yang menghiasi sudut bibirku.

"Iya, Riena, aku datang untukmu," jawabnya. Ia terdengar menarik napas dalam-dalam dan bergumam. "Aku ingin ..."

Dahiku mengernyit. Kulihat ia merogoh kantong di jaket putih seperti sedang mengambil sesuatu.

"Maukah kau menikah denganku?" katanya sembari memerlihatkan cincin setengah lingkaran dalam kotak kecil berwarna merah.

Seketika aku meneteskan air mata dan tersenyum selebar-lebarnya. Kuraih kotak cincin itu, kemudian memeluknya erat-erat.

Tiba-tiba kilat berbentuk garis putih dari awan ke tengah lautan mengagetkanku dan memecahkan lamunanku. Kemudian diikuti suara gemuruh petir yang muncul tadi. Awan-awan putih telah berganti menjadi abu-hitam. Sudah ingin hujan. Aku berbalik badan sembari tertunduk.

"Aku bertahan karena ku yakin cintaku padamu. Sesering kau coba mematikan hatiku. Takkan terjadi karena kutahu kau hanya untukku," ucapku berdendang dalam hati dalam kesunyian pantai pinggir pulau terbesar di kawasan Auckland ini. 

Aku baru menyadari ada air mata yang turun berdiam diri di pipi kananku. Kuhapus dengan tisu meski sambil tersedu-sedu. Sembari berjalan di atas pasir putih keperakan ini aku terus bernyanyi. Semakin melangkah menjauh meninggalkan pantai aku seperti melihat sosok lelaki merentangkan tangan berlari ke arahku. Kulihat lelaki itu membawa kotak merah kecil di tangan kanannya. Ia berteriak hingga menciptakan suara lantang menggaung di pantai, "Riena!"

Aku mengerjapkan kedua mata. Lelaki itu semakin jelas di pandanganku. Ternyata dia Ayahku berlari membawa smartphone merah milikku. "Nak, ada misscall dua puluh satu dari John," ucapnya sembari memberikan smartphone itu padaku.

Aku jadi tertawa geli dalam hati melihat tingkahku yang masih mengharapkan John.

3 komentar:

  1. Kasian Riena.. Well, meskipun ini fiksi, aku harap Riena bisa mendapatkan pria lain yang lebih baik dari John :D

    BalasHapus
  2. Ya begitulah laki-laki. Makanya gue gak suka sama laki

    BalasHapus